Chereads / Drugs + Love = Addicted / Chapter 3 - A Rendezvous

Chapter 3 - A Rendezvous

Bayangan yang terpantul di cermin terlihat sudah sesuai. Dengan cocktail dress berlengan asimetris berwarna nude, berhiaskan taburan swarovsky yang melekat pas di tubuhku yang jenjang nan ramping. Aku mematut diriku dengan dandanan yang sedemikian rupa, membiarkan Clara yang sudah menunggu di ruang tamu.

Malam ini kami akan pergi ke kelab untuk bersenang-senang. Rasanya sudah lama tidak melakukan ritual bersama. Minum, berdansa, dan ... kau pasti sudah tahu.

Sejak masuk jurusan ini aku terlalu tegang dan menjalani perkuliahan dengan serius. Itu justru membuatku tidak fokus dan mudah lelah. Berbeda dengan Clara yang tetap menikmati hidup meski berada di kubangan yang sama denganku. Tentu saja, ia mahasiswa yang cerdas.

Namun, ia kemudian memberi tahu sebuah rahasia, tidak bersenang-senang justru adalah ide yang buruk. Dan kini aku mulai mengikuti ritualnya.

"Sudah siap?" tanya gadis itu kemudian. Aku mengangguk lalu berangkat bersamanya menuju kelab.

***

Glory Club, letaknya tak jauh dari kawasan elite di Easton City, kota luas dengan penduduk sekitar 2 juta jiwa. Cukup luas dan diisi oleh penduduk yang rata-rata mengendarai mobil mewah. Sangat berbanding terbalik dengan kondisi Westmont City—tempat tinggalku dan Clara, yang dikelilingi kawasan kumuh. Padahal dua kota itu hanya terpisah lebarnya jalan beraspal.

Namun itu tak penting, karena di daerah tempat tinggalku suasananya aman dan damai. Penduduknya juga ramah dan saling membantu. Kawasan kumuh pun perlahan mulai dipugar menjadi daerah yang jauh lebih bersih dan asri. Hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadikannya sebagus Easton City.

Aku mengekor langkah Clara memasuki kelab dengan VIP pass miliknya. Pria botak berbadan gempal mempersilahkan kami masuk dan disambut dentuman musik elektrik dan lampu sorot berwarna-warni. Clara memilih tempat di sebelah pojok yang tak jauh dari Bar.  Memudahkannya memilih pria yang kebetulan mampir ke bar untuk memesan minuman.

"Kau tidak akan bisa memastikan pria itu single atau sudah beristri jika memilih random seperti ini, Clara." Aku menyesap vodka tonic di tanganku. Ia menggoyangkan telunjuknya.

"Watch me!" Ia bangkit dari kursinya kemudian mendekat pada seorang pria bertubuh tegap yang kebetulan baru meletakkan bokongnya pada dudukan kursi yang terbuat dari kulit.

Aku memperhatikan bagaimana Clara menarik perhatian pria itu yang berakhir dengan minuman gratis. Pria itu mengekor langkah Clara menuju ke tempat kami. Mulut Clara terbuka lebar, tertawa girang tapi tak terdengar olehku karena bersaing dengan suara musik yang memekakkan telinga.

Pria itu duduk di samping Clara setelah menyalamiku. Tak berapa lama mereka sudah saling memagut satu sama lain. Thanks to you, Clara. Kau membuatku terlihat mengenaskan saat ini. Karena hanya menjadi penonton adegan dewasa yang kau mainkan. Aku bangkit dan memutuskan untuk ke toilet. Tempat yang lebih baik daripada duduk di bawah lampu temaram diiringi musik yang membuatku sakit kepala. Ditambah, sepasang insan yang sedang dipenuhi hasrat.

Aku memulas bibirku dengan lipgloss yang kubawa ke mana pun. Mematut wajah di cermin dan membenarkan tatanan rambut. Menghela nafas, menghirup udara sebanyak yang kubutuhkan karena setelah ini harus kembali ke tempatku sebelum Clara kebingungan mencari sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Kembali dengan kebisingan dan lautan manusia.

Tak berapa lama ponselku berdering. Seperti biasa Ayah akan memantau bagaimana kondisi putri semata wayangnya ini. Mungkin cemas jika anak gadisnya keluyuran malam-malam, seperti yang aku lakukan saat ini. Aku mematikan ponsel sembari berjalan ke luar. Tak sengaja menabrak seseorang yang hendak masuk ke toilet.

Tubuhku nyaris limbung jika saja lengan kokoh itu tidak menangkapku.

"Oh, maafkan aku," ucapnya sembari membantuku berdiri tegak. Ia kemudian mengambil ponselku yang terhempas jauh. Menyerahkannya padaku. "Apa kau baik-baik saja?"

Aku mengangkat wajah demi melihat siapa pria yang baru saja membuatku hampir terjerembap. Tunggu, aku seperti mengenal pria di hadapanku ini. Rahang tegas yang dihiasi bulu halus dengan tatapan mata tajam. Belum lagi kemeja putih yang dikenakannya, membalut kulit tubuhnya yang sedikit kecokelatan. Wajah itu ... Blake? Apakah benar ini Blake Gillian, my boy crush at High School?

"Jenna?" Pria itu menelisik wajah kemudian menyebutkan namaku dengan tepat. Berarti benar ia Blake. "Sedang apa kau di sini?"

"What? Pertanyaan macam apa itu, Blake?" jawabku, yang membuatnya tertawa malu. Sementara aku masih memperhatikan wajahnya yang bersemu merah.

"Ternyata masih tak berubah, aku masih saja gugup dan mendadak tolol di hadapanmu," ujarnya tersenyum kecut.

Oh, baiklah, aku ingat diriku juga girl crush-nya saat di Senior High School. Namun tak banyak yang kami lakukan bersama. Hanya berciuman. He also my first kiss. Sempurna, bukan?!

"Apakah kau sendirian?" tanya Blake, terlihat penuh harap. Aku menggeleng dan kemudian ia terlihat kecewa. Ia sepertinya tahu dengan siapa aku datang ke tempat ini. Dan Blake sangat menghindari berurusan dengan Clara.

Dulu Clara sangat tidak menyukai pria ini, aku tak pernah tahu alasannya hingga kini.

"Maaf membuatmu kecewa," sesalku. Ia tertawa lagi, menggaruk tengkuknya.

"Tak apa. Jika boleh aku ingin bergabung dengan kalian."

Tentu saja, Blake. Tentu aku tak akan menolak. "Y-ya ... tentu saja kau boleh bergabung. Ayo! Aku khawatir jika kita terlalu lama di sini Clara akan mencariku." Blake mengangguk kemudian mengekor langkahku menuju tempat Clara.

Ia tak di sana. Ke mana gadis itu? Apakah pria itu membawanya ke suatu tempat? Biarlah, mungkin mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Mereka bukan anak kecil lagi. Aku pun tak pernah mencampuri urusan Clara.

Aku kembali fokus pada pria yang kini bersamaku. Mempersilahkannya duduk dan memesan minuman.

"Biar aku yang traktir." Ia memanggil barista dan memesan minuman untuk kami berdua.

Berdua dengannya seperti ini membuatku mengingat saat kebersamaan singkat kami dulu. Manis seperti dirinya yang dulu masih polos. Kami sama-sama polos dan tidak mengerti apa pun sampai kemudian berciuman dengannya terasa ... entahlah. Aku tak mampu menjelaskannya.

Apakah ia masih Blake yang sama? Apakah rasa itu masih ada untukku? Ah, tentu tak mungkin. Ia sudah sukses dan matang sekarang. Pasti sudah ada seorang gadis yang mengisi hatinya. Ya, pasti. Berapa usianya sekarang? Mungkin tak jauh selisih denganku. Tapi sungguh, ia terlihat lebih dewasa dan seksi. Bolehkah aku menyebutnya seperti itu?

Lama sekali kami tak bertemu. Sejak kelulusan, ia seperti ditelan bumi. Terlebih hubungan kami yang tak berjalan semestinya, hanya karena ke tidak sukaan Clara yang tak beralasan. Dan kini ia kembali. Bukan, bukan. Ini hanya kebetulan saja. Nasib yang mempertemukan kami.

Aku hanya memandangi wajahnya di bawah cahaya temaram. Aku sempat tak percaya Blake sedang duduk di dekatku saat ini. Cara berpakaiannya sudah berbeda. Tentu saja. Dengan statusnya sekarang, sudah seharusnya ia berpenampilan bagus. Ia seorang pengusaha yang sukses, pemilik Restaurant dan gerai makan yang sudah tersebar di berbagai daerah. Begitu yang ia ceritakan padaku.

Ia bercerita, setelah lulus memutuskan untuk mengambil kursus memasak. Dan saat ini ia sedang menempuh jurusan manajemen sembari menjalankan bisnisnya.

"Maaf saat itu aku tak sempat berpamitan denganmu." Ia menunduk, menautkan jemari di kedua tangannya.

"Oh, ya, tak apa. Lagi pula hubungan kita sepertinya tidak berjalan lancar. Aku tak ingat apa yang terjadi hingga kita harus ...."

"Clara. Uhm, tapi itu masa lalu. Aku tidak ingin membahasnya."

"Ya, kau benar." Entahlah mengapa ia menyebut Clara. Apakah Clara yang menyebabkan ia menghilang secara tiba-tiba seolah sengaja menjauh dariku? Ah, sudahlah ...

Kami terdiam sejenak. Saling menatap manik mata masing-masing. Berusaha mencari sesuatu yang mungkin akan membuat kami tak perlu berkata-kata. Namun tentu saja, tak ada apa pun di sana. Tak mungkin aku mampu membaca isi hatinya hanya karena pertemuan yang baru sekian menit yang lalu.

"Lalu ... Apakah kau ...."

Ya? Katakan saja, Blake. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan padaku.

"Ya ...?"

"Apakah kau dengan seseorang?"

"Ya. Aku bersama Clara. Sudah kukatakan tadi, kan?!"

"Bukan. Maksudku apakah kau sudah memiliki kekasih?"

Aku membulatkan mata mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Kenapa setiap lelaki selalu bertanya tentang hal semacam itu pada gadis yang ditemuinya, apakah ia sudah punya kekasih atau belum? Tidak bisakah kita menjalani hubungan hanya semalam saja?

'Jenna, ayolah ... Apakah kau yakin akan melakukan itu dengan Blake? Dia sangat berpotensi untuk menjadi pasangan selamanya. Lagi pula jika menjalin hubungan dengannya, kau akan punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kalian yang sempat retak karena sesuatu yang tidak jelas.'

"Oh ... Maaf, Kupikir ... Tidak! Aku sendiri untuk saat ini. Belum ada seorang pun."

Senyumnya terkembang mendengar jawabanku. Ia mengangguk mengerti.

"Baguslah ..." lirihnya. Aku tak merespons apa yang kudengar.

Aku mendengar itu, Blake. Aku hanya berpura-pura tidak mendengarnya agar kau tidak malu.

Kami bercerita banyak hal. Dan selama kami bersama, hingga saatnya pulang, tak juga kulihat batang hidung Clara. Baru kali ini ia tak memberi kabar ke mana ia pergi. Apakah ia baik-baik saja?

Aku dan Blake sudah berada di luar kelab. Aku memandang matanya, menantinya mengucapkan sesuatu untuk berpamitan. Atau apa pun untuk mencegahku pulang. Ia tak mengatakan apa pun. Hanya maju beberapa langkah mendekat padaku.

"Terima kasih untuk malam ini, Jenna. Aku sangat senang bisa bertemu denganmu."

Aku hendak mengucapkan sesuatu, tetapi urung karena sedetik kemudian ia telah mengecup bibirku dan memagutnya. Aku yang awalnya mematung pada akhirnya bergerak semakin dekat. Ia menangkupkan tangan di pipiku sebelum melepaskan kecupannya. Ia mengusap sudut bibirku dengan ibu jarinya.

"Kau ke arah mana? Aku akan mengantarmu." Aku mengangguk, dan berjalan beriringan dengannya, membiarkan jemarinya bertaut dengan milikku.

***