Chereads / Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran / Chapter 3 - Rasa Yang Kembali

Chapter 3 - Rasa Yang Kembali

Ren menatap Sonia. Dia menunggu jawaban. Sonia menggeleng keras. "Tidak! Aku hanya ingin jalan-jalan saja," jawabnya. Ren masih menatapnya tajam. "Ayolah, Ren. Memangnya aku seperti maling?"

Sonia bermaksud bercanda, tapi suaranya terdengar terlalu keras hingga dia menutupinya dengan tertawa. Ren menarik napas. Kakinya perlahan mendekati Sonia. "Aku tidak akan pernah melihat ini. Untuk kedua kalinya, aku tidak akan membiarkan Anda, Nona."

"Ada apa ini?" Suara berat mendadak membuat mereka yang masih saling menatap terperanjat. "Bukankah kau seharusnya masih berada di ruanganku, Sonia?" Tatapan tegas membuat hati Sonia menderu. Satu kesalahan pertama akan sangat memberatkan dirinya. Sonia mengedihkan bahu. "Kau meragukanku? Aku hanya bosan berada di dalam. Baiklah, aku akan pergi."

"Tunggu," sergah Erick.

Sonia menghentikan langkah. Wajahnya kaku. Kedua tangannya mengepal. Ekspresi spontan saat Pangeran semakin mendekat. "Hadap sini!"

Sonia mengangkat wajahnya sebelum kini dia berhadapan dengan sang penguasa negeri. "Jika aku mengetahui kau melanggar aturanku sekali lagi, hukumannnya menyerahkan dirimu dengan sendirinya. Itulah yang harus kau lakukan."

Kedua mata tajam saling bertumbukan. Sonia hanya bisa diam dengan semua aturan untuknya. Menjadi kekasih Pangeran Erick hanya bisa membuat dia diam tanpa berkutik. Peraturan itu semua adalah perintahnya. Sonia membungkukkan tubuh perlahan hingga akhirnya dia meninggalkan calon suaminya begitu saja.

"Apakah dia mengetahui sesuatu, Ren?" Perasaan itu kembali bergetar. Sebuah rahasia yang dimiliki selama beratus-ratus tahun tidak boleh terbongkar dengan sia-sia.

"Semua masih dalam pengawasan, Tuan. Namun saya pastikan Nona tidak mengetahui apapun."

Erick hanya diam. Dalam pikirannya terus berkecamuk. Sesuatu yang berada di dalam dirinya bisa membuat sebuah kerajaan kokoh akan hancur seketika. Selama ini Erick selalu saja membawa beban berat itu seorang diri. Permainan sudah dia lakukan hingga abad silih berganti. Dia hanya berharap, apa yang sudah berdiri bisa terkendali dengan baik.

"Ren, aku mau sendirian. Siapapun juga termasuk dirimu, tidak bisa mengikutiku." Erick berjalan menyusuri halaman istana. Sepatunya bergesekan dengan rerumputan yang licin karena air hujan yang sebelumnya membasahi bumi. Bulan masih setengah menampakkan dirinya. Pemandangan pergantian siang malam memanjakan kedua mata Erick. Seutas senyuman kembali terbit seiring matahari yang mulai meninggalkan tugasnya.

"Sonia?"

Sorotannya semakin tajam ketika melihat seseorang yang sedang meliuk indah di sebelah kolam ikan. Gerakannya seirama seolah-olah semilir angin ikut menikmatinya. "Tarian itu?" Erick berjalan mendekati tubuh pohon yang bisa menutup dirinya. "Sangat indah. Dia melakukannya dengan sempurna. Hatiku tenang melihatnya. Dia sangat mirip dengan …"

Kaki jenjang melompat tinggi. Dengan gemulai, tangan ramping berkulit putih mengayun indah. Tumit itu terus berjinjit. Senyuman lesung pipi terlihat dari balik kain tipis yang menutupinya. Kupu-kupu dengan sejuta warna memutari tubuh yang masih bergerak seirama.

"Apakah ini cinta? Hatiku bergetar. Wanita itu seperti bidadari. Menari dengan sempurna. Cinta tidak pernah aku temukan selama aku menjalani kehidupan berat ini hingga 100 tahun. Kenapa dia? Siapa dia?" batin sang Pangeran masih saja tidak melepas pandangan kepada Sonia. Tarian ballerina Sonia sudah menghipnotisnya.

Sonia masih memutar dengan senyuman manisnya yang terpancar dari kedua mata secerah berlian. Suara kecil sedikit melengking kembali membuat Erick terpaku. "Sonia!" teriaknya pelan. Dia mendadak berlari melihat Sonia terjatuh. Kakinya masuk ke dalam lobang pinggir kolam. Dia terus memaksa kakinya untuk terbebas. "Kakiku …," lirih Sonia.

Sonia masih saja kebingungan. Dia menyerah dan akhirnya diam. "Haduh!" pekiknya pelan sambil mengelus atas tumit karena semakin terasa nyeri. Kesadarannya langsung penuh ketika dia merasakan ada yang berjongkok di hadapannya. Rasa sakitnya berganti jadi rasa malu ketika Erick menatapnya lembut. Sebuah batu yang membuat kaki Sonia terjepit Erick angkat. Telapak tangan Pangeran menjadi kotor untuk pertama kalinya setelah sekian lama karena wanita. Erick memegang tumit Sonia, mengangkatnya perlahan. Jantung Sonia berpacu dengan cepat membuatnya mematung beberapa saat.

"Kau sudah terbebas." Suara itu seketika membuat Sonia terkesiap mendongak ke atas. Tampak jelas wajah Erick yang berjongkok di hadapannya.

"Terima kasih, Pangeran." Secepat kilat Sonia menyingkirkan kaki kanannya yang semula masih berada digenggaman Erick.

"Kau yakin tidak apa-apa? Aku lihat pergelangan kaki itu sangat merah. Kau pasti tidak akan bisa berjalan." Erick akhirnya ikut berdiri dan tersenyum tipis. Dengan jelas senyum itu terlukis di wajahnya yang dingin. Sekarang terlihat kehangatan tersendiri yang melelehkan hati. Memberikan cahaya walau hanya terlihat setitik di tengah pekatnya gulita.

"Eh-iya. Saya baik-baik saja, Pangeran," jawab Sonia salah tingkah. Dia berusaha berjalan. Namun penumpu kakinya semakin terasa nyeri.

Sonia kembali termangu. Tubuhnya terangkat tiba-tiba. Kini wajah Erick sangat dekat dengannya. Di dalam gendongan sang Pangeran, Sonia terus berusaha mengatur hatinya yang tidak menentu. Pandangan dingin kembali terlihat dari pria yang membawanya. Tanpa ekspresi apapun. Bayangan senyuman spontan yang terlihat sebelumnya, seakan sirna. Sonia hanya diam tanpa berucap hingga mereka sampai di depan kamar calon ratu baru.

"Ini kamarmu." Erick menurunkan tubuh Sonia. Dirinya masih diam kebingungan berkata apa. "Besok kita akan berkuda. Persiapkan dirimu," kata Erick singkat kemudian berlalu. Sonia menganggukkan kepala. Dia segera membuka pintu kamar meninggalkan lelaki yang membuat perasaannya berkecamuk. Dia langsung menutup pintu dan menguncinya.

"Dia yang berhati dingin itu memberikanku senyuman. Tubuhnya dengan kuat membawaku, seakan aku se-ringan kapas. Senyuman itu jelas terlihat. Kenapa aku resah? Apakah ini cinta?" Sonia melangkah cepat menuju ranjangnya. Dia duduk mencengkeram dadanya. "Kenapa bayangannya selalu saja terbenak di kepalaku. Padahal dia berengsek," batinnya.

Sonia berdiri melangkah perlahan menuju cermin. Dia terus menatap bayangan dirinya yang terpantul di depan cermin. Kedua matanya memejam untuk menenangkan hatinya.

"Hatiku bergetar. Apakah rasa itu … kenapa ini bisa terjadi?"

***

"Dia … wanita itu?" Erick berlari keluar dari lorong rahasia. Dia terus melangkah cepat menuju ruangan pengawal setia dan tidak menemukannya. "Ren, kau di mana?!" bentaknya mengamati semua arah. "Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak mau terjebak lagi dengan situasi seratus tahun lalu."

Erick kembali melangkah keluar. Dia berjalan tanpa pengawalan menuju ruangan Raja. "Brak!" Sekali hentakan membuat dia dengan mudah membuka pintu kokoh yang semula tertutup rapat.

"Erick. Bukankah itu tidak sopan?"

Erick mendekati Raja. Ren yang ternyata berada di dalam, hanya membungkukkan wajahnya tanpa berbicara. Erick sedikit meliriknya. Ren tetap saja bergeming.

"Ayah, kau sengaja melakukan ini. Kenapa? Aku tidak bisa menerimanya. Ini akan membuatku sakit!"

"Selama sepuluh tahun Ayah mencarinya. Ternyata dia sangat dekat dengan kita. Cinta itu harus kau raih kembali. Ayah melihatmu sangat menderita. Ayah hanya ingin menjadi orang tuamu yang sesungguhnya seperti seratus tahun lalu."

"Tapi … kau tahu sendiri statusmu!" bentak Erick membuat sang Raja diam menegang. Amarah terpancar seketika.

"Aku memerintahkanmu untuk melakukan itu. Keputusan Raja adalah mutlak!"

"Akulah Raja sesungguhnya!" Erick menarik kerah jubah penguasa negeri. "Kau hanya bisa melakukannya hingga 1000 tahun lamanya. Setelah itu, tugasmu selesai. Selama itu kau hanya seorang Pangeran. Seperti itu seterusnya." Perkataan pelan namun tegas membuat Erick masih diam terpaku. "Jadikan dia kekasihmu. Kau akan sedikit bisa membahagiakan hidupmu sampai saatnya tiba."

Erick memejamkan sejenak kedua matanya sebelum dia melepaskan cengkeraman yang sedikit menyiksa Raja. Tangan kuat itu kini terlepas. Raja bisa bernapas lega. Erick menunduk lemas.

"Wanita itu sama dengan dia. Kau bisa meraih cintanya kembali. Seratus tahun lalu, akan terulang dengan indah." Raja kembali menegaskan maksud dan tujuannya.

100 tahun telah berlalu dengan cepat. Cinta abadi sudah lama sirna. Pertemuan Erick dengan bayangannya kini kembali terulang. Setiap malam pikiran itu terusik. Kepuasan hasrat penyebab dia melakukan untuk pelampiasan penderitaan luka.

Tanpa berbicara Erick keluar dari ruangan. Raja hanya memandang dalam diam. Erick terus berjalan menuju taman istana. "Kondisi langit berbintang yang sama dengan tema langit 100 tahun lalu saat dia menatapku. Aku berusaha melupakannya. Kini dia ada di hadapanku kembali. Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya sembari menatap langit dengan sendu.

"Pangeran?"

"Kau …"