Sonia mengkerutkan kedua alisnya. Mengambil hati Pangeran? Sonia merasakan sesuatu yang menarik dari ucapan Ren. Sesuatu yang akan membuatnya puas.
"Mengambil hatinya, lalu mencampakkannya," batinnya dengan seutas senyuman yang semakin terbit di wajahnya. Ren menatapnya serius. Dia sangat tahu jika Sonia memasang senyuman walaupun hanya terlihat kedua matanya yang berwarna biru.
"Nona, apa Anda merencanakan sesuatu?" tanya Ren tidak segan terus menatap Sonia yang sebenarnya dilarang. Seoarang pelayan atau pengawal tidak bisa sejajar dengan keluarga istana. Memandang, pun, akan dikenakan hukuman.
Ren segera melonggarkan kerah kemejanya. Dia sejenak menarik napas, dan kembali menundukkan kepalanya. Ren masih merasa penasaran dengan hati Sonia, hingga Ratu datang tiba-tiba mengejutkan mereka.
"Ratu," ucap Sonia menundukkan kepalanya.
"Sonia, aku harus membicarakan sesuatu kepadamu. Kita menuju ke dalam kamarmu," pinta Ratu membuat Sonia spontan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua memasuki kamar Sonia tanpa pelayan. Kini mereka hanya berdua di dalam.
Ratu tidak berhenti memandangi Sonia. Bahkan setelah tatapan mereka tidak lagi bersinggungan. Sonia berusaha menyikapi semua keadaan yang membuatnya sangat tidak nyaman, apalagi sifatnya yang tidak menyukai segalanya bersikap formal.
"Sonia, aku hanya ingin mengatakan jika pernikahan yang akan berlangsung dua hari ini, bisa kau atasi dengan baik." Ratu berjalan mendekati kursi di sebelah ranjang dan mendudukinya. Sonia mendekatinya setelah Ratu menepukkan tangan bangku kosong di sebelahnya.
Ratu menyentuh pundak kanan Sonia hingga akhirnya berkata, "Aku saat itu bersama Raja mengetahui jika kau menutup sebagian wajahmu, dan itu sebenarnya sangat salah. Namun aku mencegah Raja melarangmu. Mungkin dengan seperti itu, Erick bisa memahami wanita dan berhenti memainkan perasaan."
Ratu semakin menyorotkan kedua matanya. Dia seakan menerawang pikiran Sonia dengan saksama. "Sonia, kau hanya perlu meluluhkan hatinya. Itu saja. Jika kau melakukannya, maka dia menjadi milikmu. Permusuhan akan merugikanmu. Kau tidak akan pernah menyangka, jika sesuatu yang hebat dari Pangeran, akan datang dalam kehidupanmu, Sonia. Percayalah kepadaku." Ratu berdiri dari duduknya, memberikan senyuman. Sonia membalasnya dengan kedua mata yang memancarkan senyuman.
"Kau sangat cantik. Aku dan Raja sudah mengetahui wajahmu. Pangeran tidak akan pernah melepaskanmu, jika kau memberikan kehangatanmu."
Sonia menundukkan kepalanya saat Ratu sudah keluar dari kamarnya. Dia menarik napas, berusaha menenangkan hatinya. Dia tidak menyangka jika Ren dan Ratu akan memintanya melakukan hal yang sama, yaitu mendekati Pangeran dan menaruh hati untuknya.
"Rencanaku pasti akan berhasil. Aku akan berusaha menarik perhatiannya, lalu aku … hahaha. Huss! Hempaskan dia dengan sangat memalukan," teriaknya keras di dalam kamar sembari melepas penutup wajahnya di atas ranjang. Sonia melangkah menuju balkon kamarnya. Dia memutar tubuhnya menikmati semilir angin.
"Aku akan membuatnya terpana, mulai besok," gumamnya tersenyum.
***
Hari berganti dengan cepat. Sonia mempersiapkan diri untuk memulai rencananya. Pelayan dengan cekatan membantunya berdandan. Kedua mata birunya semakin memancar saat goresan warna soft menghiasi bagian kelopak matanya. Baju biru langit secerah awan membuatnya semakin cantik.
"Baiklah, Sonia. Ini adalah kesempatanmu," gumamnya keluar kamar dengan penuh percaya diri. Ratu dari kejauhan, tersenyum melihat Sonia. "Aku berharap dia akan berhasil," batinnya masih menatap hingga Sonia berlalu.
***
Erick yang berada di halaman istana untuk menikmati udara pagi yang segar, kembali terkejut melihat sosok di tengah taman menari tarian ballerina.
"Dia, kembali melakukan itu. Tarian itu sama dengannya saat seratus tahun lalu. Semua gerakan yang membuatku tertawa. Namun dia telah tiada. Pisau itu menusuknya dari belakang. Dia, laki-laki itu yang melakukannya. Aku tidak akan memaafkannya!" teriak Erick mendadak membuat Ren yang berada di sebelahnya terperanjat. "Pangeran," ucap Ren yang tidak dihiraukan Erick. Dia berjalan cepat mendekati Sonia dan menarik tubuhnya.
"Hentikan! Aku tidak mau kau menari lagi. Jika kau melakukannya, aku akan membuatmu sengsara. Kau bukan dirinya. Jadi, kau tidak perlu membuat dirimu seolah-olah dirinya!" bentak Erick membuat Sonia tercengang.
"Aku tidak mengerti. Dia? Siapa yang kau maksudkan, Pangeran?" Sonia semakin menatap Erick yang masih memasang tatapan dinginnya. Rasa dendam ada di sana. Wajah kawatir masih tercetak jelas di kedua mata Sonia.
"Pangeran, aku tidak akan menari lagi," ucap Sonia mengejutkan Erick. Dia tidak percaya sikap pembangkang Sonia hilang begitu saja. Tanpa berbicara, Erick melepaskan cengkeramannya, berjalan meninggalkannya begitu saja. Ren yang masih diam, menyusul Erick setelah sedikit melirik Sonia yang masih bergeming.
Erick terus berjalan melewati semua pelayan yang menundukkan kepala seketika. Dia memasuki kamarnya dan menguncinya dengan rapat. Erick masuk ke dalam ruangan rahasianya menatap sebuah lukisan sosok yang sangat dicintainya seratus tahun lalu.
Linangan air mata membuatnya terisak. Sikap arogan dan angkuh yang sebenarnya menyimpan penderitaan menghilang tertutup kesedihan. Itulah yang sebenarnya dia alami selama ini.
"Argh!" teriaknya keras.
"Kenapa kau meninggalkanku? Aku sangat mencintaimu, Elisabeth. Kau selalu membuatku tertawa," ucapnya masih terisak. Erick memejamkan kedua matanya mengingat kejadian seratus tahun lalu saat dia menghadiri acara istana.
Erick duduk di singasana dengan kedua orang tua yang sebenarnya. Suasana bersuka cita saat kerajaan memenangkan pertempuran. Semua saling menarik dan berdansa. Sikap Erick yang selalu bosan dengan keadaan, membuat dia keluar dari istana. Erick saat itu berumur dua puluh tahun.
"Sangat membosankan berada di sana," gumamnya menuju halaman istana yang masih sedikit gersang. Namun, sesuatu sangat indah ada di hadapannya. "Siapa dia?" Erick mengembangkan senyuman melihat sosok wanita menari dengan indah di bawah sinar bulan purnama.
"Elisabeth …," ucapnya lirih saat kembali mengingatnya.
"Pengeran Erick, apa Anda berada di dalam?" teriak Ren tiba-tiba membuyarkan lamunan kesedihannya di masa lalu. Bergegas Erick mengusap kedua matanya yang sembab. Dia merapikan rambutnya yang sangat berantakan, dan jubahnya. Dengan cepat Erick menutup pintu rahasia yang terhubung dengan almarinya. Sejenak dia berdiri di depan cermin oval sebesar dirinya, menatap pantulan cahaya yang dengan jelas memperlihatkan wajah sembabnya.
"Tidak mungkin aku memperlihatkan wajah ini kepada Ren. Aku tidak akan pernah memperlihatkan kelemahanku." Erick berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya. Dia menarik napas, kembali menenangkan dirinya.
"Elisabeth, apakah kau berada di tubuh Sonia? Tunjukkan jika kau memang berada di sana," batinnya masih memejamkan kedua matanya.
"Pangeran, apa Anda baik-baik saja?" Suara Ren kembali membuat Erick melangkah cepat untuk keluar dari kamar.
"Aku baik-baik saja," ucapnya pelan. Ren sedikit melirik wajah Erick saat menundukkan kepalanya. Dia merasakan jika memang ada sesuatu yang tidak beres dengan Erick.
"Pangeran, apakah Anda akan berlatih panah?"
Erick menganggukkan kepala tanpa menjawab Ren. Dia berjalan cepat menuju halaman yang sudah disiapkan.
Erick berdiri tegak kembali menarik napas. "Aku tidak boleh terlihat lemah," batinnya.
Tangannya meraih alat panah yang biasa dia gunakan. Kedua matanya menatap tajam sasaran yang jaraknya sangat jauh. Erick selama ini selalu saja berhasil menembusnya. Dia tidak pernah gagal.
Jemarinya sudah siap untuk melesatkan anak panah saat dirinya yakin bisa menembus bulatan merah di papan sasaran. Namun, "Jreng!"
"Apa ini?"
"Zab!"
"Tidak mungkin!" ucap Pangeran kesal.
"Aku tidak akan berbaik hati dengannya. Jika aku membuatnya kesal, dia semakin tertarik kepadaku. Rasakan ini!" batin Sonia tersenyum puas.