Chereads / Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran / Chapter 9 - Bayangan Yang kembali

Chapter 9 - Bayangan Yang kembali

Erick tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Setiap kali dia akan melesatkan panahnya, suara piano yang dimainkan Sonia semakin kencang terdengar. Erick menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menenangkan hatinya. Dia sama sekali tidak berkonsentrasi saat akan memanah, apalagi Sonia terus membuat suara itu semakin keras.

"Ren. Apakah kau akan diam saja?" Erick melotot ke arah Ren sambil mengangkat kedua tangannya. Ren sigap menundukkan kepalanya.

Tanpa berbicara lagi, Ren berjalan menuju halaman ruangan santai istana yang memang menjurus ke lapangan panah. Sonia memicingkan matanya. Ren kembali menundukkan kepalanya, setelah sesaat menatap Sonia untuk memastikan apa yang dia lakukan.

Ren mendekati Sonia. "Nona--." Namun perkataannya terhenti saat Sonia lebih dahulu berkata kepadanya.

"Aku mau memainkan piano ini, dan Pangeran itu tidak bisa melarangku. Jika dia ingin memintaku berhenti, aku tidak bisa! Bilang kepadanya!" Dengan santai, Sonia masih memainkan jarinya, menekan semua nada yang sangat berantakan.

Ren menarik napas panjang, segera membalikkan tubuhnya tanpa berbicara. Sontak langkahnya terhenti saat melihat Erick diam menatap Sonia dengan tajam. Erick sama sekali tidak menyangka akan melihat sebuah bayangan yang sama sekali tidak dia sangka.

"Elisabeth?" batin Erick merasa keinginannya tadi pagi telah terjawab. Bayangan sosok wanita yang sangat dia rindukan terlihat tersenyum ke arahnya di dalam tubuh Sonia. Erick mulai mengingat saat Elisabeth memainkan piano dengan sangat berantakan. Dia berjalan dan memeluknya dari belakang. Erick menyentuh jemari Elisabeth dan menuntunnya. Mereka tertawa bahagia, berakhir dengan ciuman.

"Dia, wajah itu sangat jelas terlihat. Bahkan sosok itu melambai ke arahku. Dia memang Elisabeth," batin Erick melempar panah yang masih digenggamnya hingga terlempar ke tanah. Dia perlahan melangkah mendekati Sonia yang masih saja memainkan piano dengan nada berantakan.

"Dia sudah mulai datang. Pasti dia akan memarahiku. Akhirnya aku mendapatkan perhatiannya," batin Sonia terus menekan semua nada.

Saat dirinya semakin membuat suasana ruangan menjadi sangat berisik, Sonia terkesiap melihat Erick merapatkan punggungnya. Perlahan jemari sepuluh sang Pangeran bertautan dengan jemari Sonia.

"Apa ini?" batin Sonia mendongakkan kepalanya menatap wajah Pangeran dengan serius menatap dirinya. Sonia sontak memalingkan wajah saat kedua matanya bertumbukan dengan tatapan Pangeran. Dia menelan saliva, merasa gemetaran.

Erick perlahan menuntun jemari Sonia menekan nada yang benar, hingga menghasilkan sebuah alunan musik yang indah. Erick masih diam tidak berucap. Sonia dengan gemetar mengukuti ke mana Erick menata jemarinya.

"Dia, aku pikir akan memberikan kemarahannya. Namun … apa ini? Kenapa dia berwajah sendu?" Kedua mata Sonia semakin terbelalak saat melihat air mata Pengeran menetes di jemarinya. Dia tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Sang Pangeran arogan, berkuasa, mendominasi keadaan, ternyata memiliki hati yang sakit.

"Sakit, dia merasakan rasa sakit. Kepada siapa?"

Alunan terarah dengan sangat merdu. Hati yang dipenuhi kerinduan semakin terlihat. Tetes demi tetes linangan itu menghiasi wajah angker sang Pangeran. Hatinya tertusuk, mengingat kejadian lampau yang sangat lama. Dalam benak Pangeran, apakah dia bisa melalui ini semua?

Pangeran menutup alunan dengan sempurna. Sonia masih bergeming. Dalam dirinya menyimpan setumpuk tanya. Kenapa dengan Pangeran? Siapa yang berada di dalam hatinya hingga membuatnya seperti itu?

"Aku akan menikahinya. Namun, aku akan mencari tahu … siapa calon suamiku ini," batin Sonia masih terduduk dalam diam. Sementara Erick membalikkan tubuhnya pergi begitu saja setelah selesai memainkan lagu.

Sonia terpaku. Dia berjalan pelan mengikuti Pangeran yang masih melangkah semakin cepat menuju kamarnya. Sonia berlari, hingga, "Hap!" Dia menahan kakinya di tengah pintu agar Erick tidak menutupnya. Sontak Pangeran mengernyit menatapnya.

"Kau …"

Sonia melewati Erick, masuk ke dalam kamar Pangeran. Erick sedikit menggeleng, kemudian menutup rapat pintu kamarnya.

"Hmm, kau mau mengejarku? Atau …" Erick menghentikan ucapannya. Dia melangkah mendekati Sonia yang segera menghindar. Erick terkekeh, tidak melanjutkan perkataannya.

"Kau … meneteskan air mata. Untukku?" tanya Sonia menatap Erick yang memasang wajah kaku seketika. Dia tidak menyangka jika Sonia menanyakan hal yang menjadi kelemahan tersembunyinya selama ini. Erick menarik napas, kemudian berjalan menuju balkon kamar. Sonia seketika mengikutinya.

"Apa yang kau inginkan, Sonia?" Erick menutup kedua matanya, menikmati rintikan hujan yang sudah berdatangan dari langit.

"Aku tidak menginginkan apapun. Bagaimana perasaanmu? Besok kita menikah." Sonia ikut mendekati Erick dan merentangkan kedua tangannya.

"Kau tahu, Pangeran. Satu hal yang membuatku bahagia adalah …" Sonia kali ini menatap Erick dengan tersenyum. "Menikmati hujan deras yang menderu bumi. Aku seperti bebas." Dia mengulurkan kedua tangannya. Erick sejenak memandang Sonia, hingga akhirnya menerimanya setelah waktu berjalan tiga detik.

Sonia tertawa, kemudian memutar tubuhnya. Erick mengikuti gerakannya. Napas mereka menderu saat menghentikan putaran sebanyak lima kali. Hujan semakin mengguyur tubuh mereka, namun tidak mereka hiraukan. Kain tipis penutup wajah Sonia, sangat basah, memperlihatkan isi dibaliknya.

"Elisabeth …"

Perlahan Erick mengangkat jemari kanannya, menyentuh pipi Sonia. Senyuman hangat kembali hadir di wajah tampannya. Ada rasa cinta mendalam di sana. Hati bahagia menatap sosok Hawa dengan paras indahnya. Wajah secerah awan, semerbak bunga mawar dengan bibirnya semerah darah, membuat Erick semakin tersenyum dengan linangan air mata. Kini dia melihat jelas jika Sonia memang jelmaan Elisabeth.

Reinkarnasi, itulah yang terjadi. "Elisabeth, aku tahu kau berada di dalam." Perkataan Erick membuat kedua mata Sonia melotot. Dia menggeleng, menepis apa yang dikatakan sang Pangeran.

"Aku bukan Elisabeth. Aku, bukan dia!" tegasnya.

Erick tidak menghiraukan perkataannya. Dia perlahan semakin mendekatkan wajahnya. Dahi mereka kini bersentuhan. Erick memeluk erat Sonia, tidak peduli hujan semakin menerbas tubuh mereka.

Erick tidak hentinya melinangkan air matanya. Rasa kerinduannya yang teramat sangat dalam, membuat dia meluapkan semua kerinduannya.

"Aku mencintaimu, Elisabeth."

Erick mendaratkan bibirnya. Kain penutup wajah tidak menghalangi dia melakukannya. Sonia seketika bergeming.

"Rasa itu. Tubuhku bergetar, merasakan dinginnnya bibir ini. Aku … aku menikmatinya. Kenapa?" batin Sonia terus mengikuti permainan bibir Erick yang semakin dalam.

Waktu satu menit, merupakan penyatuan indah yang mereka rasakan. Sonia sedikit mendorong tubuh Erick, kemudian tanpa berucap meninggalkannya. Erick masih terdiam di balkon dengan air hujan yang masih menderas. Tatapan tajamnya kembali hadir, membuat dirinya bernapas dengan cepat.

Kepalanya menggeleng keras, kedua tangannya mengepal. "Tidak …Tidak!" teriaknya keras, berjalan cepat keluar dari kamarnya. Erick berlari kencang, membuat Sonia yang masih berdiri di depan pintu kamar sang Pangeran terkejut. Ren yang mengetahuinya, ikut berlari untuk mengejar Pangeran.

"Kenapa dia? Aku harus mencari tahu," gumam Sonia berlari dalam keadaan basah terus mengikuti Pangeran diam-diam. Dia menerjang halaman yang sangat becek akibat air hujan. Bahkan tubuhnya dipenuhi lumpur. Sonia terus berlari, hingga tidak percaya melihat ada sebuah goa di dalam istana.

"Di mana ini?" Dalam pikirannya, Sonia terus bertanya-tanya. Kakinya melambat untuk terus berjalan melewati sebuah goa dipenuhi batu hitam pekat di sana. Pencahayaan bokor di setiap arah, membuatnya merasa tenang.

Sonia terus mengenduskan hidungnya, karena aroma yang sangat harum di sana. "Sangat harum. Aku di mana?"

Dia terus melangkah, hingga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Pangeran? Kau …"