Chereads / Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran / Chapter 5 - Sikap Pangeran

Chapter 5 - Sikap Pangeran

Erick menatap Roberth yang masih saja memasang senyuman. "Kebenaran apa yang kamu maksud?" tanya Erick. Kedua matanya memerah. Roberth mengernyit melihatnya. Dia sedikit menggelengkan kepalanya, mengatur napasnya yang tidak beraturan. Sekilas cahaya merah dari mata sang Pangeran membuatnya diam seketika.

"Aku tidak akan mengatakan apapun. Mungkin aku salah memberikan persepsi kepada Pangeran." Roberth kini mengarahkan pandangannya menuju Sonia yang masih bergeming. Dia sama sekali tidak mengerti dengan kondisi saat ini.

"Jangan memandangnya. Aku tidak akan mengatakannya lagi." Erick membalikkan tubuhnya, menatap tajam Roberth yang sontak menahan telapak tangannya saat akan menyentuh lengan Sonia. Senyuman kaku Roberth perlihatkan. Dia menurunkan telapak itu kemudian sedikit mengepal. Hatinya kembali bergejolak menerima ancaman Erick.

"Baiklah, aku akan kembali. Aku tadi hanya tersesat dan tidak sengaja menemukan kalian. Sonia, aku kembali dulu. Jagalah dirimu. Sampai ketemu nanti," ucap Roberth masih saja memperlihatkan gigi ratanya. Sonia menganggukkan kepala membalas Roberth yang kembali menaiki kudanya kemudian berlalu.

Erick masih saja berusaha menguasai dirinya. Dia menarik napas panjang. Lalu dia melangkah menuju kudanya. Sejenak dia melirik Sonia yang masih saja termangu di tempat. "Langit sudah semakin panas. Kita akan kembali," ucap singkat Erick membuat kaki Sonia kini bergerak mendekatinya.

Sonia menerima uluran tangan Erick hingga menduduki punggung kuda. "Apa kau sudah nyaman?" tanya Erick mendadak. Sonia menganggukkan kepalanya, masih saja tidak berucap.

Kuda berlari kencang saat Erick menaikinya dan menghentakkan kakinya di tubuh kuda. Sonia menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang kering. Dia bergetar saat punggungnya rapat oleh dada kekar Erick.

"Hatiku terpana olehnya. Diriku bergetar. Apa ini? Dia laki-laki yang sangat arogan dan menakutkan. Kekuasaannya dan aturan itu membuatku takut. Namun, aku merasakan kehangatan di sana. Kenapa aku seperti ini?" batin Sonia berusaha menekan hatinya. Dia sedikit melirik Erick, menatap mata cokelat yang terlihat kelam di sana. Kedua mata itu seolah-olah telah menjawab semua misteri yang dia tidak ketahui. "Kenapa dia?" batin Sonia sekali lagi.

Sorotan Erick masih saja tidak berubah. Dia hanya diam dengan wajah dinginnya hingga sampai di istana. Ren dengan tegak berdiri di gerbang menunggu mereka. "Pangeran, Raja memerintahkan Anda dan Nona Sonia menuju aula istana," kata Ren tidak mendapat jawaban dari mulut Erick.

"Terima kasih, Ren," sahut Sonia.

Erick kembali mengulurkan tangannya agar Sonia bisa menuruni kuda. Tangan Erick mendadak menepis daun yang berada di pundak kanan Sonia saat kakinya menyentuh tanah. Kedua alisnya mengkerut, masih saja tidak berucap. Sonia memutuskan diam. Karena itu adalah yang terbaik. Kemarahan Pangeran akan membuatnya celaka.

Mereka berjalan berdampingan hingga menuju aula istana yang megah. Sonia mengembangkan senyuman terpana melihat semua keindahan di dalamnya. "Indah sekali," batinnya.

"Selamat datang anakku," ucap Raja membuat Erick dan Sonia menundukkan kepalanya.

"Kau tidak menemui rakyat. Tapi aku memaafkannya, karena Roberth mengatakan kalian berdua menikmati keindahan hutan."

Erick sempat tersentak mendengar Raja menyebut nama Roberth seakan menjadi pahlawan dengan mengatakan pembelaan buatnya.

"Pernikahan sebentar lagi akan terlaksana. Aku akan menyiapkan sebuah istana khusus untuk kalian tinggali berdua. Sebuah kamar yang luas, membuat kalian bisa menghasilkan ahli waris kerajaan."

Sonia spontan melotot tegang mendengar pernyataan Raja. "Tidak! Aku tidak siap! Tolong! Batal saja! Aku, tidak mau dengannya!" batinnya terus bergejolak. Erick sejenak melirik ke arahnya. "Aku akan menjaga istriku dengan sangat baik, Raja. Bisakah kita mempercepat pernikahannya? Bagaimana jika besok lusa," ucapan Erick membuat Sonia sontak mengangkat wajahnya. Kedua alisnya mengkerut. Di dalam benaknya, dia tidak mengerti dengan permintaan Erick.

"Kenapa dia melakukan ini? Apa yang dia inginkan?" tanyanya dalam batin.

"Kau memang sudah berubah, anakku. Ibu sangat menyetujuinya." Ratu berdiri dari singasananya, melangkah mendekati Sonia yang masih bergeming. "Kau sangat beruntung, Sonia," ucap Ratu memeluknya.

"Tapi …," kata Sonia.

"Sonia calon istriku. Kita sebaiknya membicarakan masalah ini secara pribadi."

Erick menundukkan kepalanya, mendekati Sonia dan menarik lengannya. Dia tersenyum sembari menundukkan kepalanya kepada Raja dan Ratu. Sementara Sonia masih tegang dengan semua ini. Dia berjalan saat Erick mencengkeram lengannya, kemudian menarik keras untuk berjalan keluar dari aula.

"Kenapa?" tanya Sonia menghentikan langkah dan menepis jemari Erick. Tanpa berbicara, Erick kembali menariknya berjalan cepat menuju ruangan yang sama sekali tidak dia ketahui.

Sonia terbelalak melihat sebuah ruangan luas dengan meja tertata rapi semua jenis makanan dan teh hangat di atasnya. Apa lagi bunga mawar menghiasi seluruh ruangan. "Makanlah!" Erick menarik kursi sambil mengulurkan tangan kanannya. Sonia yang semula terpaku, kini melangkah dan mendudukinya.

"Pangeran. Apakah ini sesuatu untuk merayuku agar kau mendapatkan persetujuanku karena tinggal bersamamu?"

Erick menghedikkan bahu. Mulutnya masih terdiam, kemudian duduk di hadapan Sonia. Meja bulat dengan hiasan berbagai macam bunga, masih membuat Sonia termangu.

"Makanlah. Setelah ini aku harus bekerja. Jangan membuang waktuku."

Sonia mulai meraih sendok. Dia semakin bergetar. Tatapan tampan sosok di hadapannya masih saja memandangnya dengan tajam. "Wajahnya sama. Dia … sangat aku rindukan. Namun, aku paham jika itu bukan dia. Hatiku hanya untuknya. Wanita itu bukan dia," batin Erick terus menyangkal sesuatu yang tidak di mengertinya.

"Pangeran, jangan menatapku seperti hantu." Sendok yang Sonia gunakan untuk mengaduk teh manisnya jatuh, berdenting saat menyentuh pisin. Tangan kirinya memegang cangkir putih berisi teh rempah bergetar hebat. "Pangeran, kau …" Tidak satu pun tubuhnya bersedia mempercayai apa yang dilakukan Erick kepadanya.

Tangan kuat Pangeran membelai pipinya. Sorotan tegang itu sangat lembut seketika. "Kau, sangat mirip dengannya," gumam Erick membuat Sonia berusaha menguasai dirinya. Dia menarik napas panjang, lalu meletakkan cangkir pada pisin di meja, berhati-hati karena tangannya bergetar. Sonia berusaha membuat cangkir itu tidak tumpah.

"Pangeran, apa maksudmu?"

Erick melepaskan tangannya, mengepal. Dia mendadak berubah menjadi sangat marah. "Argh!"

Sonia terperanjat saat tangan sang Pangeran menyambar semua barang di atas meja. "Prang!"

"Pangeran! Apa yang kau lakukan?" teriak Sonia berjalan mundur saat Erick memperlihatkan wajahnya yang garang seakan ingin memangsanya.

"Kau bukan dia!" teriak Erick berlari keluar ruangan begitu saja.

Sonia mengatur jantungnya yang berdetak kencang. Dia mencengkeram dadanya. Linangan air mata mulai menetes. Ren berlari masuk ke dalam menghampirinya. Hatinya sedikit lega melihat pengawal yang berusaha menenangkan dirinya.

"Nona, apakah Anda baik-baik saja? Sebaiknya aku akan mengantar Anda menuju ke kamar," ucap Ren mendapat balasan anggukan dari Sonia. Mereka segera berjalan dengan cepat. Sonia hanya ingin sampai di kamarnya dan menyendiri, berusaha mengatasi masalah ini. Namun, langkahnya terhenti saat melihat wanita dalam pelukan Erick masuk ke dalam kamar Pangeran yang terletak di depan kamarnya.

"Apakah dia memiliki banyak sekali wanita?" tanya Sonia dengan wajah kekecewaan. Pandangan itu semakin sendu menatap calon suami yang sesaat memberikan kehangatan, namun kini sirna.

"Dia adalah sahabat Pangeran. Anda tidak perlu mengkawatirkan itu, Nona," jawab Ren sama sekali tidak membuat Sonia puas.

Dia mengangkat wajahnya, berusaha membuat dirinya berdiri tegak dengan tegap. "Aku tidak akan membiarkannya berduaan dengan wanita manapun," ungkapnya membuat Ren melebarkan kedua matanya. Ren tidak menyangka jika Sonia tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan. Ren tersenyum lega mendengarnya.

"Ren, jangan pisahkan aku jika menjambaknya rambut Pangeran itu," ucap Sonia tegas mengarahkan pandangan kepada Ren.

"Aku berjanji, Nona."

"Baiklah. Aku akan menjambaknya!"

"Brak!"