Chereads / Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran / Chapter 2 - Terkejut

Chapter 2 - Terkejut

Mereka saling memandang satu sama lain. Suatu hal yang sama sekali tidak diduga oleh Erick adalah, seorang wanita telah berani membentak dirinya. Tentu saja itu tidak akan pernah Pangeran biarkan. Menjadi penguasa dan mendominasi semuanya, itu yang harus dia lakukan.

"Jadi, aku akan menikahi wanita berwajah buruk?" Erick kini melangkah perlahan untuk mendekati Sonia yang berjalan mundur menghindari calon suaminya. Tubuhnya menempel di tembok. Menghadapi kedua mata tegas yang menyerang, membuat hati Sonia sedikit bergetar.

Tidak dia pungkiri. Kini di hadapannya adalah laki-laki tertampan yang memang tidak pernah dia lihat. Rahangnya tegas. Alisnya tebal. Bulu hitam tipis yang terlihat di dadanya, menggambarkan kehangatan jika berada dalam dekapannya.

"Semua aturan adalah milikku." Erick mulai mendominasi keadaan. Sonia seakan memang terhipnotis dengan wajah bak dewa itu. "Kau sengaja melakukannya?" Suara barito berat, serak, gagah, seakan membuat kening Sonia berkerut-kerut, mulai kebingungan mencari kata-kata.

Lama tidak ada suara dari Sonia. Ia sedang memikirkan cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Erick kembali terkekeh. Dia berdeham, melepaskan kedua tangan yang semula mengunci tubuh Sonia. Perasaan lega menghampiri Sonia yang kini bisa bernapas lega terlepas dari tekanan.

"Buka, penutup itu!"

Sonia bungkam dengan rahang mengencang. Ia akan tetap bertahan dengan tujuan semula. Membuat perjanjian dengan Pangeran untuk sedikit membuatnya marah. Walaupun sebenarnya itu adalah hal mustahil yang harus dia lakukan.

"Bagaimana jika kita membuat perjanjian."

Kalimat menjebak membuat Erick sedikit menahan rasa terkejutnya. Dia merasa dijebak dengan sesuatu yang mustahil dia lakukan. Menuruti seorang wanita? Sama sekali tidak pernah terbenak dalam pikirannya.

"Perjanjian tidak membuka penutup itu? Sepertinya itulah yang harus kita lakukan." Sonia sedikit terkesiap mendengar perintah Erick yang sebenarnya akan dia katakan.

"Kenapa dia mendahuluinya?" batinnya sembari merapikan beberapa helai rambut yang menutupi kedua mata birunya.

Erick menggeser gelas menjulang tinggi yang kini telah terisi anggur. Aromanya menusuk ke arah Sonia. Dia sedikit mengusap hidungnya yang tertutup kain hingga sedikit tergeser. Tanpa sadar Sonia tidak segera membenarkannya.

Jari jemari bergerak-gerak seirama mengetuk atas meja. Ekspresi spontan yang Pangeran lakukan. Hatinya sedikit merasakan tusukan saat bibir semerah darah dengan gigi putih terlihat memukaunya. Kulit bersih secerah awan dengan lobang lesung pipi, terlihat luar biasa.

Seutas senyum kecil terbit di wajah sang Pangeran. Rautnya yang semula angker, mulai melunak. "Sejak kapan aku bisa … begitu?" Seraya menyentuh ujung hidungnya sendiri, Erick membuat suara dengusan.

Pandangan yang semula menyorot, berusaha mengalihkan perhatian ke botol minuman kesukaan Erick yang selalu diteguknya. Dia tidak akan pernah menganggap semua hubungan adalah serius, dan itu adalah aturan mutlak baginya.

"Baiklah, kita akan melakukan perjanjian itu. Semua harus kita resmikan dengan stempel kerajaan. Melanggar, berarti akan kalah. Hukuman bagi yang kalah, akan menjadi bonekaku seumur hidupnya."

Kedua alis yang terangkat dengan senyuman sinis Erick, membuat detakan kencang muncul tiba-tiba. Sonia berusaha memalingkan wajahnya. Ketampanan Erick masih saja membuat dia seketika bisa kalah jika bibir seksi impian semua wanita itu menyentuhnya.

"Kenapa aku yang menurutinya? Dia sudah mendominasi keadaan. Berengsek," batinnya bergejolak. Gelengan kepala keras terus dia lakukan. Sementara Erick masih saja berusaha mengatur tubuhnya di kursi kerja mewah terbuat dari emas.

"Sebentar lagi kita akan bertunangan. Aku tidak menyukai cincin emas. Jangan pernah memakainya." Sontak Sonia kembali meletakkan tas yang semula akan dia bawa keluar. Kini dia berdiri tegak mengamati Erick yang sudah menghempaskan punggungnya di sandaran kursi.

"Aku mau memakai cincin emas," jawab Sonia santai.

"Jika kau melanggar, hukuman pasti diberikan. Apakah kau mengerti jika melanggar aturan Pangeran hukumannya adalah penjara?" Erick kini mengangkat tubuhnya dan kembali mengamati Sonia.

Sonia kembali menggenggam tali yang terikat di tas hitamnya. Dia melangkah mendekati Erick yang masih diam belum berkata. Pandangan meremehkan, itulah yang Sonia rasakan. Kini hatinya menyerah. Dia memutuskan untuk meninggalkan ruangan.

"Pangeran, aku harus kembali ke kamar. Aku membutuhkan privasi." Erick tidak segera menjawab. Sonia sudah sangat peka ketika intuisinya menggelitikkan sesuatu dengan tatapan calon suaminya itu. Kejutan akan dia terima.

"Yang menentukan kamu duduk, berdiri, keluar, adalah aku. Jadi, sebelum aku mengijinkannya, kau harus diam di sini." Kejutan pernyataan yang kini menyeruak pendengarannya. Sonia hanya bisa diam menerima. Permintaan penguasa, itulah segalanya.

"Tuan, Ayah Anda ingin bertemu." Suara Ren terdengar dari luar. Tanpa berkata Erick berdiri dari duduknya. Sonia masih diam melakukan perintah yang entah kenapa dia lakukan begitu saja. Sifat pembantahnya seolah hilang saat mendengar calon suaminya itu memerintah.

"Diam di sini, sampai aku kembali." Lirikan tajam menusuk hati, membuat Sonia menelan saliva. Dia menarik napas panjang. Kini tubuhnya terhempas menuju sandaran kursi saat Erick sudah meninggalkan ruangan.

"Kenapa aku serasa lemah saat dia memerintah? Ini tidak bisa aku biarkan. Tapi … wajahnya sangat tampan. Pikiranku rasanya terbayang." Sonia terus menata hatinya.

Waktu berjalan cukup cepat. Sonia terus melirik jam yang masih diam berdetak di atas meja. Selama satu jam cukup lama baginya untuk merasa bosan dan mengantuk.

"Aku akan keluar untuk mencari sesuatu. Sangat bosan di sini."

Sonia perlahan membuka gagang pintu. Dia sedikit mengeluarkan kepalanya. Suasana sunyi membuatnya berani melangkah keluar. "Melanggar peraturannya? Biarlah, dasar berengsek!" Kini kaki kurus dengan sepatu heels lima senti itu melangkah pelan. Kedua matanya kembali mengamati keindahan istana yang dipenuhi bunga segar menyeruakkan aroma wewangian luar biasa.

Senyuman semakin menghiasi wajah dibalik kain penutup yang dipakainya. Tubuhnya terus berputar. Nuansa klasik setiap sudut ruangan dengan lukisan macam-macam keindahan alam, semakin memanjakan kedua matanya. Hingga dia menghentikan langkah mendengar keributan di salah satu ruangan.

"Suara apa itu?" Sonia mendekati pintu di salah satu lorong. Dia memasang tajam pengamatannya dari celah pintu yang sedikit terbuka. Suara beberapa orang di dalam, sangat jelas dia dengar.

"Ibu, aku tidak mau meminumnya lagi. Semua sia-sia. Biarkan saja aku hidup dengan cara seperti ini." Erick berdiri tegak, dengan tatapan dingin. Tangan lentik dengan jemari yang berhiaskan cat kuku merah, terus membelai rambut sang Pangeran.

Lelaki gagah dengan jenggot tipisnya yang mulai bewarna putih, duduk di singasana dengan tatapan sayu. Mahkota yang semula bertengger di kepalanya, dia turunkan dan meletakkan di atas meja begitu saja.

"Bagaimana jika semua orang mengetahuinya. Dunia akan bergejolak!" Suara tegas dari seorang Ratu membuat Pangeran kini mengarahkan tatapannya. "Ibu, saat itu, aku akan menghadapinya."

"Cinta, carilah itu, anakku. Mungkin dengan itu, hidupmu akan lebih berarti. Keabadian, akan sirna dengan cinta." Raja penguasa negeri menepukkan tangan gagahnya di pundak kekar ahli warisnya yang masih saja diam tidak berekspresi.

"Abadi? Siapa? Kenapa?"

"Nona Sonia, apa yang Anda lakukan?"