Gwentama Tbk
Kinara sampai di depan sebuah gedung besar, dengan papan nama Gwentama tercetak besar. Ia menghela napas dalam, baru kemudian melangkah dengan pasti memasuki lobby perusahaan dengan tujuan meja informasi.
Sesampainya di depan meja informasi, Kinara segera bertanya tentang ruangan tempat ia akan melaksanakan interview lanjutan.
"Selamat siang, permisi, ruang untuk interview ke-dua, di mana ya?" tanya Kinara sopan kemudian tersenyum ramah, membuat seorang petugas resepsionis balas dengan senyum tak kalah ramah.
"Interview ke-dua yah, dengan Nona siapa?" tanya si petugas, dengan name tag Dini.
"Nama saya Kinara Mariska," jawabnya lugas.
"Baiklah Nona Kinara, saya cek sebentar list-nya," timpal Dini sambil mengetik sesuatu di keyboard komputernya.
Setelah beberapa menit, Kinara pun akhirnya bisa mengetahui ruangan, karena ternyata hanya beberapa yang diterima, itu juga dengan interview di ruangan berbeda pula.
"Terima kasih,em...." Kinara bergumam, saat ia bingung untuk melakukan menyebut nama, sedangkan ia sendiri belum berkenalan.
Si petugas tersenyum kecil, saat merasa jika calon karyawan di perusahaannya bekerja sedang kebingungan. Ia pun mengulurkan tangannya, kemudian menyebutkan nama dengan ramah.
"Dini Ariani. Panggil saja, Dini," ujar Dini memperkenalkan diri.
Kinara tentu saja ikut tersenyum, kemudian dengan semangat mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan di depannya. "Kinara. Panggil aku Nara saja, salam kenal Dini," balasnya dengan senyum lebar.
"Nara ya, salam kenal juga. Semoga betah di sini yah, selamat berjuang bersama kami," timpal Dini dengan nada senang yang kentara.
"Tentu saja, aku akan senang dan betah bekerja di sini, Dini. Terima kasih, yah!" seru Kinara masih dengan semangat.
"Tentu saja, semangat Nara!"
"Semangat, Dini," balas Kinara ceria kemudian bergegas pergi dari meja informasi, menuju lift dan menekan tombol tiga belas, lantai tempatnya akan melaksanakan interview ke-dua.
Ting!
Pintu lift pun terbuka, di lantai yang adalah tempat dirinya melakukan interview lanjutan. Seperti apa yang di katakan oleh Dini di bawah tadi, Kinara pun berjalan menuju ruangan yang berada di ujung koridor sana.
Bunyi hak sepatu yang beradu dengan lantai, terdengar saat koridor yang ia lalui sepi dari hiruk-pikuk kegiatan, para karyawan yang seharusnya mondar-mandir dengan pekerjaannya. Hingga akhirnya ia pun sampai di depan pintu ruangan, dengan pintu yang terbuat dari kayu jati kualitas tinggi, berwarna coklat kehitam yang terlihat kokoh.
Sebelum mengetuk pintu di depannya, ia menghela napas sejenak guna menetralkan rasa gugupnya. "Huft ... Kamu bisa, Nara," bisiknnya, kemudian tersenyum kecil sebagai penyemangat.
Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan ketukan sedikit keras sebanyak tiga kali. Kemudian menunggu dengan sabar ketika ketukan akhirnya disahuti oleh si empu ruangan.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Mendengar seruan memerintah dari dalam sana, Kinara pun dengan segera membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kakinya memasuki ruangan dengan langkah perlahan.
Tap! Tap! Tap!
Dari sini ia bisa melihat, seorang pria muda sedang fokus menatap ke arah layar laptopnya. Pria muda dengan kulit putih, hidung mancung, serta bibir tipis. Cukup tampan, tapi tidak serta merta membuat Kinara terpesona akan parasnya.
Sedangkan si pria yang merasa jika si pengetuk pintu sudah berdiri di hadapannya, menyimpan laporannya terlebih dahulu, baru kemudian mengangkat pandangannya dan seketika terpesona, saat melihat penampakan wanita di depannya.
Cantiknya, batin si pria melihat Kinara dengan detak jantung tidak normal.
"Selamat siang, Pak. Saya mendapat pesan untuk melakukan interview lanjutan," ujar Kinara menjelaskan, saat melihat tatapan tidak berkedip dari pria di depannya.
Dan Kinara yang tidak pernah terang-terangan ditatap demikian salah paham akan tatapan si pria, mengira si pria bertanya kepadanya, padahal sih terpesona.
"Interview lanjutan yah. Baiklah dan silakan duduk, saya akan cek berkasnya dulu," sahut si pria yang belum di ketahui namanya.
"Baik, terima kasih, Pak."
Mengikuti apa yang di katakan oleh si pria, Kinara pun duduk dengan segera di hadapan si pria yang memasang senyum ramah, senyum yang biasanya langsung membuat lawan jenisnya terpikat. Tapi sayang sekali, itu tidak berlaku untuk Kinara yang menganggapnya biasa.
"Saya cek sebentar berkas kamu, kamu tunggu sebentar. Mengerti?" tutur si pria menjelaskan dengan nada ramah, beda sekali jika ia menghadapi yang lainnya.
"Mengerti, Pak," balas Kinara dengan anggukan kepala mengerti.
Kemudian suasana menjadi hening, saat si pria fokus dengan berkas berisi informasi milik Kinara, sedangkan si empu berkas sendiri diam dengan segala kekhawatirannya.
Setelah beberapa menit kemudian, si pria pun berdehem, meminta perhatian Kinara yang menatap ke arahnya dengan ekspresi serius. Ekspresi yang membuatnya si pria tersenyum dalam hati.
"Nama Kinara Mariska, benar?" tanya si pria memastikan yang di angguki kepala mantap oleh si empunya nama.
"Benar, Pak!" sahut Kinara semangat, membuatnya si pria hampir saja terkekeh.
"Hum ... Baiklah, langsung intinya saja. Perusahaan kami memberikan anda kesempatan untuk gabung dengan kami, dengan ketentuan yang sudah tertera di dalam berkas kerja sama di depan anda," jelas si pria dengan nada tegas
"Baik."
"Kalau begitu, silakan baca dengan teliti. Baru kemudian putuskan, menerima atau tidak. Bisa dimengerti?" lanjut si pria dengan nada senang.
"Baik." Kinara hanya menjawab singkat, dengan mata fokus membaca rangkaian kata yang tertera di kertas.
Banyaknya jumlah persyaratan dan itu membuatnya sedikit bingung. Tapi, ia berusaha fokus dengan mengambil inti dari masing-masing ketentuan.
Agak lama Kinara mempelajari berkas kontak kerja sama, tanpa tahu jika ia di jadikan objek cuci mata oleh pria di depannya. Si kepercayaan direktur utama yang tersenyum kecil, saat melihat kerutan di dahi Kinara saat berpikir.
Kinara yang menemukan ketentuan yang entah mengapa membuatnya dilema, segera mengangkat wajahnya. Membuat si pria bergerak salah tingkah, berpura-pura melihat ke segala arah, menghindari tatapan mata si wanita muda yang sebenarnya tidak memperdulikan.
"Maaf Pak," ucap Kinara dengan nada ragu.
"Iya?"
"Begini, saya menemukan poin penting. Tentang pernikahan, maksudnya bagaimana ya Pak?" tanya Kinara dengan perasaan was-was.
Bukan masalah kalau saja ia tidak ada perintah pernikahan dari sang papa. Tapi seperti yang sudah diketahui, jika bulan depan adalah bulan ia melepas statusnya sebagai anggota keluarga Winandar.
Itu artinya, ia tidak bisa masuk perusahaan ini, kecuali jika tidak ada yang tahu tentang pernikahannya. Tapi, keluarga yang akan menikah dengannya adalah keluarga terkenal, jadi mana mungkin pernikahannya akan diam-diam. Iya kan?
"Penikahan?" tanya si pria memastikan, menuai anggukan kepala dari Kinara yang membuat si pria ikut mengangguk.
"Boleh menikah, jika sudah melewati masa magang selama setengah tahun. Itu saja," jelas si pria dengan nada santai.
"Harus setengah tahun, Pak?" tanya Kinara memastikan.
"Benar, apa kamu ada rencana menikah bulan ini?" tanya si pria dengan nada penasaran di dalamnya. Kalau sampai terjadi, sayang sekali baginya karena tidak bisa pendekatan.
"Ah! Tidak, tentu saja tidak," elak Kinara cepat sambil menggelengkan kepala, tanpa tahu kalau diam-diam pria di depannya menghela napas lega.
Syukurlah, batin si pria dengan perasaan aneh.
"Kalau begitu, apa lagi yang membuatmu ragu dalam menerima kerja sama ini?" tanya si pria dengan alis terangkat penasaran.
"Em.... Tidak ada," sahut Kinara berbohong.
"Semua ada di tanganmu, Nona Kinara. Jika kamu menerima, silakan tanda tangan. Tapi, jika menolak, ya ... Saya tidak bisa memaksa."
Kinara hanya mengangguk kemudian menghela napas, sebelum menandatangani berkas kontrak kerja.
Aku harap, calon suamiku mau menyembunyikan pernikahan ini, batinnya berharap.
"Selamat bergabung, Nona Kinara Mariska."
"Terima kasih, em...."
"Sage Ferdiansyah, panggil saja Sage. Nona Kinara," timpal si pria yang mengenalkan diri dengan nama Sage Ferdiansyah ini.
"Terima kasih, Pak Sage."
"Sama-sama dan panggil saja dengan Sage tanpa Pak, oke?"
"Eh…. Iy-iya pa- Sage," sahut Kinara dengan senyum canggung, apalagi ketika si asisten direktur masih tersenyum kepadanya.
Dia orang baik, sepertinya, lanjutnya dalam hati.
Bersambung.