Chereads / Kinara: Love Me Please, Jayden. / Chapter 7 - Baju Pengantin Untuk Kinara

Chapter 7 - Baju Pengantin Untuk Kinara

Kediamanan Winandar

Masih di kediaman Winandar, yang saat ini sedang melakukan ritual makan pagi bersama, makanan yang setiap harinya di masak oleh bi Yati dan Kinara.

Tidak ada obrolan, saat mereka menjunjung tinggi tata krama di meja makan. Membuat suasana menjadi sunyi meski dentingan sendok-garpu beradu dengan piring yang di pakainya.

Kinara lebih dulu menyelasaikan acara sarapannya, ia menyeka sudut bibirnya menggunakan serbet dengan anggun lalu setelah meminum air putihnya hingga tandas. Ia hampir saja berdiri dari duduknya, jika tidak ditahan saat kepala rumah tangga atau juga sang papa menegurnya, memerintahkannya untuk menemuinya di ruang keluarga setelah makan ini.

"Nara," panggil Randra, kepada Kinara yang segera menatap ke arahnya.

"Iya, Pah?"

"Setelah ini kamu temui Papa di ruang keluarga," perintah Randra tanpa melihat ke arah sang anak, yang hanya mampu mengangguk dengan gumaman kecil.

"Baik, Pah."

Kinara pun kembali dengan tujuannya. Ia berdiri dari duduknya, berjalan menuju pintu dapur dan menaiki tangga kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya.

Hari ini ia ada interview lanjutan, untuk pembahasan kontrak kerja dengan perusahaan yang kemarin, merespon surat lamarannya. Ia masih punya waktu hingga siang hari, jadi ia berharap pembahasan kali ini tidak memakan banyak waktu, yang membuatnya datang terlambat di acara interview lanjutannya.

Kemeja dengan warna putih, rok spam sebatas lutut adalah pilihan Kinara pada kesempatan kali ini. Ia hanya ingin tampil sopan dan sederhana, untuk membangun citra positif di kali kedua pertemuannya dengan supervisor, perusahaan yang menerima lamaran pekerjaannya.

Ia menyisir rambut panjang lurus sepunggunya, kemudian mengikatnya menjadi ekor kuda, lalu merapihkan poni dengan belah pinggir sebagai pemanis tampilannya.

Di depan cermin ia tersenyum tipis, berharap apa yang akan di sampaikan oleh sang papa, bukanlah hal yang akan membuatnya patah semangat menjalani aktivitasnya hari ini.

"Baiklah, Nara. Kamu harus semangat dan jangan kalah apalagi meneyrah hanya karena permasalahan ini," gumamnya meyakinkan diri.

Kemudian setelah merasa persiapannya selesai, ia pun mengambil tas tangannya untuk ia sampirkan ke bahunya. Kemudian berjalan ke arah pintu, keluar kamar dan menuju ruang keluarga sebagai tujuan selanjutnya.

Kinara pun menuruni satu per satu anak tangga, dengan hati-hati saat ia memakai sepatu dengan heels tujuh centi. Dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa melihat papa dan mama Tari, sedang duduk dengan ekspresi yang lagi-lagi membuatnya tidak enak.

"Sepertinya Tuhan belum mendengar doaku," gumam Kinara pelan, sehingga hanya dirinya sendiri yang bisa mendengarnya.

Dengan helaan napas dalam, ia pun melanjutkan langkah kakinya, menghampiri kedua orang tuanya dan berdiri di hadapan keduanya.

"Papa, Mama."

Randra dan Tari pun kompak menatap Kinara, dengan sang mama yang memasang wajah tidak Ikhlasnya.

Kenapa Tari tidak ikhlas, terang saja itu semua karena anak kandungnya sudah menyia-nyiakan kesempatan emas, untuk menjadi menantu di keluarga kaya sekelas Gwentama.

"Duduk," perintah Randra dengan nada datar, menyembunyikan rasa bersalahnya.

Kinara yang mendengar perintah itu hanya mengangguk, kemudian duduk di single sofa sesuai perintah sang papa. Ia menunggu dengan sabar saat kedua orang tuanya, hanya diam dan melihat ke arahnya tanpa kata.

Deheman dari Tari adalah yang pertama ia dengar, saat sang papa hanya diam tanpa sedikit pun melihat ke arahnya. Dalam hati ia berpikir dan bertanya-tanya, apakah papanya membencinya, hingga melihatnya pun sekarang seakan enggan?

Tidak, aku tidak boleh berpikiran seperti ini. oh! Atau papa masih mengira aku tidak menerima perintah pernikahan ini? Maka itu Papa marah? Bisa saja, batin Kinara menebak.

"Ehem.... Kinara. Seperti yang sudah kamu dengar dari Papa. jika bulan depan adalah bulan pernikahanmu, jadi Mama minta kamu untuk tidak berbuat aneh-aneh, saat kamu nanti sudah menikah dengan calon suamimu. Juga jangan membuat keluarga Winandar malu di hadapan calon keluarga suamimu kelak. Paham!?"

Kinara hanya diam, saat sang mama mewantinya agar menjaga sikapnya. Suatu hal yang ia sendiri sadar, akan kenyataan sebenarnya yang memang menjadi tanggung jawabnya.

Tentu saja menantu dari keluarga kaya haruslah wanita yang anggun dan berkelas, tidak mungkin mereka mengambil wanita tidak sesuai dengan kriteria.

Pantas saja, kak Liana yang dilamar. Karena Kak Liana adalah wanita sempurna dengan kecantikannya. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa menjadi terbaik, jika aku hanya istri pengganti? batin Kinara sedih, memikirkan akan perkataan sang mama.

"Aku mengerti," gumam Kinara pelan, menjawab dengan disertai anggukan kepala perkataan sang mama.

"Hari terakhir dari bulan ini, kamu akan mama ajak untuk fitting baju pengantinmu, dengan Aliana sebagai ukurannya. Karena kamu tahu sendiri, jika sebenarnya yang pantas menjadi istri dar-

"Cukup Tari! Hentikan omongan tidak penting yang lain, cukup beritahu Kinara seperti apa dan harus bagaimana. Bukan kah ini keinginan anak kesayanganmu itu, huh!?"

Randra yang mendengar perkataan dengan nada sarkas dari sang istri kepada anaknya dengan cepat menyela, sebelum istrinya merambat ke hal dan akan semakin membuat anak dari mendiang istri keduanya lebih sakit.

Cukup dirinya yang tidak bisa melindungi Kinara dari pernikahan yang seharusnya ditanggung anak dari istri pertamanyalah yang lakukan. Ia merasa berdosa tidak bisa membahagiakan anaknya, seperti janjinya kepada mendiang istri keduanya yang sangat ia cintai.

"Apa maksudnya Pah, kenapa Pap-

"Maaf Mama Tari, Nara harus pergi. Jika ada hal lainnya, Nara minta segera beritahu saat ini juga agar Nara bisa segera mendengar dan pergi untuk kerja."

Kinara segera menyela ucapan dari istri pertama sang papa yang membahas masalah pernikahan, gaun atau apapun itu dengan merambat ke hal yang membuatnya merasa kesal seketika.

Bukan maunya menikah dengan seseorang itu. Iya kan? Ini adalah keinginan mereka untuknya menerima pernikahan ini dan ia hanya mengikuti apa yang diperintah, itu saja .

Pasangan Winandar pun segera melihat ke arah Kinara, yang menatap mereka dengan pandangan hampa, kosong dengan air wajah yang tak lagi tampak keceriaannya.

Tentu saja akan seperti itu, bodoh yang masih bahagia dengan pernikahan sebagai pengganti. Siapa orang yang akan bahagia jika dipaksa untuk menerima pernikahan, yang sama sekali tidak diinginkannya.

"Mau kemana kamu?" tanya Randra, saat ia baru menyadari penampilan putrinya yang sudah rapih dengan setelan kemeja dan rok, seperti akan bekerja. "Kamu bekerja?" lanjutnya dengan nada senang.

"Belum bekerja Papa, tapi baru interview lanjutan," jawab Kinara, berusaha untuk tetap semangat dengan mengulas senyum kecil.

"Alah! Ngapain bekerja, lebih baik kamu urus suami kamu saja. Jadi ibu rumah tangga," seloroh Tari dengan nada tidak suka. "Suami kamu tuh sudah kaya, bersyukur dong," lanjutnya mencemooh.

"Yang menentukan Nara boleh bekerja atau tidak itu hanya suaminya. Mama jangan ikut campur," sahut Randra dengan nada tenang. Entah dapat keberanian dari mana, yang jelas saat ini ia seperti tidak bisa, untuk menjaga lidahnya membalas setiap perkataan sang istri, saat sedang menindas putrinya, putri kandungan kesayanganya.

"Papa kok jadi belain dia!" tukas Tari tidak suka, ia menatap suaminya tidak percaya saat perkataannya, selalu di sela oleh suaminya, padahal dulu sang suami selalu di pihaknya.

"Bukan membela, Papa hanya memberi pendapat," elak Randra masih dengan nada tenangnya.

"Tida-

"Papa, Mama. Sebaiknya Nara sekarang berangkat, Nara tidak ingin terlambat."

Tidak ingin melihat kedua orang tuanya bertengkar, Nara pun lagi-lagi menyela kalimat yang akan Tari ucapkan.

"Iya. Kamu berangkat lah," sahut Randra tidak peduli saat istrinya masih saja protes dengan segala macam gerutuan di sampingnya.

"Baik. Assalamualaikum, Papa, Mama!"

"Waalaikum salam!"

Dengan begitu, Kinara pun pergi meninggalkan kedua orang tuanya, dengan sang mama yang melihat papanya protes.

"Apa mau kamu, Pah? Kenapa kamu jadi membelanya!?"

"Jangan bebankan Kinara lebih dari ini, Mama."

Bersambung.