Chereads / Kinara: Love Me Please, Jayden. / Chapter 6 - Kenapa Harus Aku?

Chapter 6 - Kenapa Harus Aku?

Kediamanan Winandar

Di kamar lantai dua kediamanan Winandar. Ada seorang wanita muda yang sedang melihat langit malam di atas sana dengan pandangan kosong, saat ia ingat akan nasib kehidupannya di kemudian hari.

Kinara tepatnya, ia diam melamun merenungi perkataan sang papa, yang menginginkan ia menikah dengan calon suami sang kakak. Menggantikan posisi kakak perempuannya sebagai pengantin wanita, disaat sang kakak menolak lamaran pernikahan dengan seenaknya.

Ia berpikir, kenapa papanya tega sekali dengan mengorbankan dirinya sebagai pengganti, saat kakaknya tidak menginginkan pernikahan ini.

Kenapa harus dirinya?

Kenapa tidak dibatalkan saja, agar pernikahan yang tidak diinginkan sang kakak, tidak terjadi dan tidak dilimpahkan kepadanya.

Ia ingin sekali protes dan bilang seperti itu, tapi saat mendengar dengan telinganya sendiri, akan permintaan sang ayah. Ia diam dan hanya bisa merenungi nasib tanpa bisa melawan sedikitpun keinginan sang ayah.

Permintaan terakhir di kehidupan sang papa.

Bagaimana bisa ia menolaknya? Sedangkan ia berjanji kepada ibunya, untuk selalu menuruti dan melaksanakan, apapun yang di perintahkan papanya.

"Ya Tuhan.... Kenapa nasibku seperti ini, sudah kehilangan Ibu. Aku juga harus kehilangan hak akan kebebasan diriku dalam hal memilih suamiku kelak. Apakah aku akan bahagia nanti bersamanya?"

Ia hanya bisa mengadu kepada Tuhan, akan nasib buruk yang selalu menimpanya.

Cukup lama ia berpikir, namun tidak sedikit pun ia mendapatkan titik terang. Tapi tidak ada satu jawaban pun yang di dapatkannya, yang ada hanya bertambah beban pikiran saat lagi-lagi pertanyaan sama muncul di benaknya.

Kenapa harus sebagai pengganti.

Hari sudah malam, saat jam dinding menunjukan waktu sebelas malam. Namun dirinya masih belum merasakan kantuk, saat dirinya larut dalam nostalgia ketika ada sang ibu di sampingnya.

"Ibu.... Apakah ini jalanku? Jalan hidupku yang sudah Tuhan gariskan untukku. Jika memang ini adalah jalan dari-Nya, maka aku akan menerimanya. Ibu, aku mohon jagalah aku di setiap langkahku."

Dengan doa terakhirnya, ia pun menutup jendela kamarnya, berjalan ke arah ranjangnya, untuk menyambut dunia mimpi indah miliknya.

"Selamat tidur, Ibu," bisiknya kemudian menutup mata.

Skip

Pagi datang dengan cepat, saat Kinara terbangun dari tidurnya. Hari ini matahari tidak bersinar dengan cerah, hanya mengintip malu dan masih tersembunyi dalam singgahsananyaserta digantikan oleh awan kelabu di atas sana.

"Sepertinya akan hujan," gumam Kinara pelan, saat ia membuka jendela seperti biasa melakukan rutinitas paginya. Apalagi kalau bukan memberi salam, melalui udara untuk sang ibu yang ada di surga sana.

"Selamat pagi, ibu. Hari ini mendung, tapi aku harap hariku tidak semendung awan di atas sana," pintanya, setelah memberi salam rutin untuk sang ibu di tiap pagi harinya.

Dengan senyum kecil, Kinara melangkahkan kakinya, menuju kamar mandi untuk mencuci muka sebelum ia turun ke bawah, membantu bi Yati untuk menyiapkan sarapan hari ini.

Beberapa saat kemudian

Setelah mencuci mukanya, Kinara turun menuju dapur dan menemukan bi Yati seperti biasa, tepatnya sedang berurusan dengan masakan di hadapannya.

"Selamat pagi, Bu!" sapa Kinara kepada Yati yang hanya menoleh sekilas, sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah penggorengan dan sibuk dengan masakan yang hampir jadi.

"Pagi Nara, bagaimana tidurmu?" tanya Yati di sela-sela kegiatannya.

"Tidurku? Seperti biasa nyenyak, Bu," balas Kinara, berjalan menghampiri Yati yang saat ini sedang memindahkan nasi goreng di mangkuk besar.

"Yakin? Kamu tidak berbohong?" tanya Yati, menatap manik coklat anak majikannya yang sudah ia anggap sebagai anak dengan tatapan menyelidik.

Ia tahu jika saat ini Kinara sedang mengalami dilemma karena perintah pernikahan, yang ia curi dengar sendiri ketika sedang membersihkan rumah.

Kinara tidak menjawab, hanya balas menatap Yati dengan tatapan mata sendu dan redup. Binar semangat yang biasa dilihat oleh Yati kini digantikan dengan tatapan tidak semangat.

Huft ...

Helaan napas dari Kinara adalah yang terdengar, saat merasa jika percuma menyimpan hal yang jelas ia sendiri yakin bi Yati tahu akan masalahnya.

Tentu saja ia yakin bi Yati tahu, karena jika tidak tahu bagaimana bi Yati mengucapkan kata sabar, saat dirinya belum mendengar perintah pernikahan itu.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku yakin, aku bisa melewatinya. Aku akan berusaha ikhlas menerima perintah ini, karena aku yakin, apapun yang di perintahkan ayah adalah sesuatu yang baik. Jadi, sebisa mungkin, aku akan menjalaninya dengan tabah dan ikhlas."

Bola mata Yati berkaca-kaca melihat anak majikannya haru, saat mendengar kalimat dengan nada tulus dari lisan seorang Kinara. Gadis muda berhati lembut dan tidak membedakan siapapun itu, termasuk dirinya yang hanya seorang pembantu.

Ia berpikir bagaimana bisa majikannya yang kejam memiliki anak baik seperti Kinara, bukankah Kinara adalah sosok anak yang seharusnya diberikan orang tua yang baik pula?

Aku rasa ini adalah sifat yang diturunkan ibunya. Pantas saja, Kinara pun demikian, batin Yati menatap gadis malang di hadapannya dengan sayang.

"Tentu, Kinara. Kamu harus sabar, ikhlas dalam menerima cobaan. Mungkin calon suami kamu adalah jodohmu, yang dikirim Tuhan melalui cara seperti ini. Kamu juga harus tahu, jika Tuhan tidak tidur, Ibu yakin kamu akan selalu ada dalam perlindungan-Nya. Jadi kami jangan khawatir, kamu pasti akan bahagia," tukas Yati sambil mengusap lembut pipi Kinara lembut.

Kinara mengangguk dan memberikan senyum terbaiknya, ia juga memegang tangan milik Yati untuk di genggamnya dan diremasnya lembut, menyalurkan rasa gundahnya diam-diam meski tetap menampilkan keceriannya seperti biasa.

"Terima kasih, ibu. Aku yakin, jika itu doa darimu pasti dikabulkan oleh Tuhan. Nara akan melakukan yang terbaik dan tetap bahagia bagaimanapun keadaanya," gumam Kinara dengan senyum tulus.

Di balik dinding dekat dapur, ada seseorang yang ikut mendengar percakapan keduanya. Dalam hati ia pun merasa tidak ikhlas, saat putri dari mendiang istri keduanya diperlakukan tidak adil seperti ini.

Namun sayangnya..., ia juga tidak bisa berbuat sesuatu, untuk menyelamatkan putrinya dari tangan istri dan mertuanya.

Permintaan anak dari istri sahnya adalah mutlak, yang harus ia laksanakan jika ingin kehidupan anak satunya terjamin.

Lagian, ia berani mengambil keputusan ini bukan hanya karena dorongan sang istri. Tetapi juga karena ia tahu, jika keturunan dari Gwentama adalah pria terhormat, yang jarang kena skandal dengan segala tingkahnya.

Ia tahu, bahkan keturunan Gwentama nyaris tidak pernah memiliki masalah, apalagi dengan mahluk hidup bergender wanita di luar sana.

Itu sebabnya ia yakin, jika pria keturunan Gwentama kelak nanti akan menjadi suami yang sempurna untuk putrinya.

Maafkan Papa, Nara. Papa tahu ini salah, tapi Papa tidak mau kehilangan kamu Nak, batinnya, sebelum meninggalkan tempat di mana ia mendengar sendiri curhatan sang putri, kepada asisten rumah tangganya.

Hatinya terlalu sakit, saat tidak bisa menjadi sandaran tempat putrinya mengadu.

Tuhan, sedang apapun dan di mana pun putriku berada, tolong lindungilah dia, lanjutnya masih dalam hati meminta sungguh-sungguh.

Kembali kepada Kinara dan Yati, yang kini sudah kembali melanjutkan acara masak mereka. Kini tidak ada lagi adegan haru-biru, yang ada adalah Kinara yang mencuci peralatan masak, dengan Yati yang sesekali menasihatinya.

Isi nasihatnya tidak jauh-jauh, dari hal yang berbau kehidupan rumah tangga nanti.

"Bu! Hentikan, Nara merasa geli ketika mendengarnya," rengek Kinara saat Yati membahas masalah pribadi ketika ia sudah menikah nanti.

"Geli bagaimana? Ini wajib kamu ketahui loh," sahut Yati menyembunyikan kekehan gelinya, saat anak majikannya menatapnya dengan rona malu di pipinya. "Ini penting untuk masa depan keharmonisan rumah tanggamu," lanjutnya semakin menggoda.

"Tidak! Terima kasih, Bu. Biarkan aku tahu dengan sendirinya, aku tidak ingin belajar terlalu dini," tandas Kinara tegas, menatap Yati masih dengan wajah meronanya.

Yati terkekeh saat melihat ekspresi malu Kinara, dengan gelengan kepala ia pun menyudahi acara menggodanya. "Baiklah, ibu berhenti. Tapi kal-

"Tidak dan tidak, Bu. Cukup jangan dibahas!"

Seruan gemas dari Kinara membuat Yati tergelak, membuat si calon pengantin pengganti itupun melengoskan wajahnya, malu melihat sang ibu yang senang sekali menggodanya.

Sedangkan Yati, ia tersenyum kecil saat melihat tingkah malu anak majikannya.

Yah…. Semoga kamu bahagia, dengan pernikahanmu nanti, Kinara, batin Yati meminta kepada Tuhan atas kebahagiaan dari anak majikannya, si gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

Bersambung.