Dari jauh, nampakku lihat mobil gus Zein terparkir di halaman rumah ndalem. Dia lagi dia lagi mau apa sih dia ke sini. Tak tahu apa Aku ingin sekali bebas dari permasalahan perjodohan ini. Aku melihatnya menuju rumah dalem.
Aku pun juga mengerti apa tujuannya datang yang Pesantren ini. Kulihat Mas Syarif menyambutnya dengan ramah tamah mempersilahkan Gus Zain untuk masuk ke dalam. Di sisi lain aku melihat kang Ali melihat kedatangan Sang putra Kyai tersebut.
Entah apa yang ada dipikirannya Akupun tak mengerti tentang rencananya untuk hubungan ini. Kulihat Mbak Azizah menuju ke pesantren dan menghampiriku. Aku pun mencoba menghindar, " Kay, kamu dipanggil Bude ada Gus Zein di dalem," ya, aku mengerti itu pasti akan terjadi, aku pun menolak untuk pergi ke dalam dan Mencari Alasan agar Mbak Azizah tidak mengajakku kesana.
Dari jauh kulihat kang Ali melihat ke arah kami, pasti dia berpikir aku akan menemui Gus Zen.
"Kayla nggak bisa ke situ mbak, Kayla mau ngajarin teman-teman santri untuk menghafal Alquran."
"Loh Terus gimana sama Gus Zain?" "Alah Biarin aja wes, lagian ngapain sih dia kemari? Risih tahu Kayla."
"Kan dia calon suamimu Kay."
"Males, lamaran aja belum udah main kemari terus. Udah ah Mbak, Kayla mau ngajarin santri-santri dulu. untuk Gus Zain Mbak Azizah aja yang nemenin dia."
"Loh, enggak bisa gitu Kay, kamu itu harus baikindia, dia itu calon suamimu."
"Nggak Mbak males ya udah wes Mbak kembali ke rumah Kayla mau disini saja."
Mbak Azizah pun kembali ke rumah. Akupun kembali ngejar santri-santri untuk menghafal Alquran. Beberapa menit kemudian, Umi menghampiriku dan mengajakku ke dalam. "Umi, umi pasti mengerti perasaan Keyla, Kayla ndak mau berfikir tentang Perjodohan ini dulu pikiran Kayla ingin bebas tidak memikirkan apapun. Mulai sekarang yang Kayla akan mengajar di pesantren ini."
"Tapi Nduk."
"Sudah Mi suruh aja Gus Zein kembali ke rumahnya Kayla lagi nggak mau diganggu sama urusan Perjodohan yang rumit ini."
Umi pun kembali ke rumah tak dapat membujukku. Setelah mengajari santri-santri aku pun beristirahat menuju ke sawah tepat di gubuk masa kecilku bersama Kang Ali. Fabiayyi ala irobbikuma tukazziban Alhamdulillah ya Allah udara Disini sangat sejuk sekali kulihat pemandangan hijau yang indah terpapar di depan kelopak mataku.
Aku pun teringat masa lalu saat bermain bersama dengan kang Ali dan memaknai isi syair lagu Jawa yang menjadi keahliannya nya. Tiba-tiba ponselku berdering nampak tulisan Amel cerewet di ponselku Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Bagaimana ya cuman keadaannya? Aku pun mengangkat telepon dari Amel.
"Hai Kayla."
"Salam dulu jangan Hai kau Islam kan?"
"Oh oke Assalam mualaikum Ustazah ah Kayla?
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebentar lagi musabaqah kita, kamu tak mau kembali ke pesantren?"
"Aku males. Males kenapa?"
"Iya tanya aja sama Gus mu itu yang selalu tak bisa membebaskan otakku untuk tenang."
"Ya Allah Kayla masih tentang Gus Zain."
"Siapa lagi kalau bukan dia muak tahu aku sama dia lamaran aja belum udah kaya aku istrinya ke rumah mulu jadi nggak bisa bebas aku." Amel hanya tertawa mendengar penjelasanku. "Nyebelin banget sih Mel cuman ketawa."
"Kamu itu Harusnya bersyukur dapat Gus Zein sendiri bukan malah kayak gini banyak yang mau sama Gus Zain tapi kamu malah nggak suka."
"Cinta itu nggak bisa dipaksa Mel.
"Iya ya ya ya aku lupa Kayla aku ini sukanya sama Abdi dalemnya sendiri."
"Ah kamu ini ini ya sudah Sebentar Yo aku dipanggil Wassalamualaikum."
Akupun menutup telepon Amel dan menuju Ndalem karena Gus Zein sudah tidak ada ada disana. Namun jalanku terhalangi oleh kang Ali yang melangkah ke arahku. Mau apa lagi dia? Belum puaskah dengan mengorbankan perasaanku!
Aku pun melewatinya, namun tangannya menarikku. "Aku tak akan diam Ning." ucapnya. "Lepas!" Aku pun tak peduli kata-katanya dan menuju rumah ndalem. Nampak Mbah Uti marah besar padaku, namun aku hanya melewatinya dan menuju ke kamar. "Kamu kok gak bisa di atur to Kay!!" teriaknya.
Yah, aku biarkan suara fals tersebut dan kubaca buku novel karya penulis favoritku. Tiba-tiba Ummi menghampiriku dan berkata, "Nduk, ayo makan dulu. Kamu belum makan lo dari tadi." Aku pun menuruti perintah beliau menuju meja makan.
Nampak lirikan semua mata menujuku. Dimana kang Ali?" dia selalu saja menghilang dan muncul tiba-tiba. Pucuk dicinta ulampun tiba, baru saja di omongin, Ia datang menuju meja makan. Selama ini tak ada yang membedakan seorang abdi ndalem dengan keluarga Kyai. Karena Abah pun juga menganggap Kang Ali. Keluarganya sendiri.
"Al, lebih baik kamu serahkan saja Pesantren ini padaku." ucap Mas Syarif. Deh, mau jadi apa Al-Fatah kalo di pimpin Mas Syarif. "Iya bener iku Al. Syarif lebih berhak atas pesantren iki, ben di kelola karo Azizah." (biar di kelola sama Azizah) timpa Mbah Uti. Selalu saja Mbah Uti membela Mas Syarif dan Mbak Azizah.
"Tidak! Kang Ali lebih berhak dari pada Mas Syarif."
"Aku ini kakakmu Kay, kok kamu malah belain dia yang cuma abdi ndalem disini."
"Kata siapa Kang Ali cuma abdi Ndalem disini? Kang Ali pimpinan Pesantren ini! Calon suami Kayla!" nampak Mas Syarif dan lainnya tertawa.
"Heh Kay! Kamu itu sudah dijodohkan dengn Gus Zein."
"Perjodohan itu batal karena wasiat Abah, hanya menyuruhku untuk menikah dengan Kang Ali saja!"
Melihat ku beradu argumen dengan Mas Syarif Umi pun melerai kami dan memgingatkan kami agar rukun. Siapa sih mereka? Seenaknya aja disini! Udah di tolong mau ambil semuanya. Aku takkan biarkan itu terjadi! Pesantren ini adalah Pesantren Abah dan selamanya akan berada di garis keturunan Kyai Ja'far.
Aku pun menyelesaikan makan dan mencuci piring setelah itu menuju Pesantren melihat keadaan Pesantren. Tiba-tiba Kang Ali sudah berada di sampingku dan membuatku kaget. Ia hanya tersenyum dan memangdangku. Apa yang dipikirkannya?
"Ning Kayla, memang Ning mau sama saya yang cuma Abdi ndalem??" Dasar Kang Ali tak peka! Aku pun melewatinya dan lagi-lagi Ia menarik. tanganku. Apa sih maumu Kang? Membela hubungan ini saja tidak bisa? "Lebih baik Ustadz Ali memantau para santri, Saya memantau santriwati disini."ucapku entah bahasa saya, tak pernah aku. Gunakan untuk mengobrol dengannya.
Namun, sekatang Ia adalah seorang Ustadz dan aku harus lebih sopan dengannya. Kang Ali pun menuju pesantren putra dan aku ke Pesantren putri. Saling bertolak belakang dan pura-pura tak peduli namun langkah demi langkah kami sama-sama mencuri kesempatan untuk saling memandang. Ah, apa yang aku pikirkan? Hanya capek dan lelah dengan hubunganku dengannya yang tak jelas ini.