"Jadi ... kamu suka pedas? Kenapa tidak bilang?" Seketika Citra keceplosan dan langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.
"Ohhh jadi kamu berniat mengerjaiku tadi? Ohhh kini aku tau, tapi meskipun begitu terimakasih sudah memperhatikanku."
Kali ini Citra tidak marah atau kesal kepada Chandra, yang ada dia terpukau karena melihat sisi baik Chandra yang tidak dingin itu, malahan Chandra tak marah padanya yang sudah mengerjainya, dia malah berterimakasih dan tersenyum. Membuat Citra berdesir nyeri di hatinya.
'Ehhhh kenapa hatiku ini? Apa aku gila? Atau aku sedang ... ehhhh tidak mungkin, pokoknya jangan! Aku kan mau memprotes Papa dengan kebutaan dia, masak tidak jadi, huh pokoknya jangan! Lagian aku ingin sedikit mengerjainya, kenapa jadi seperti ini sihhh, lalu aku harus apa dong sekarang? Malunya aku karena ketahuan hmmmm. Ya sudah aku sekarang menjadi orang pendiam saja apa yaaa, mana bisa. Aaaaa aku bingung.' Batin Citra yang kini sudah memegangi gelasnya karena takut terlihat salah tingkah, kalau seperti itu pastinya tidak akan terlihat kalau tubuhnya sedikit gemetaran.
"Tumben kamu diam, Citra? Apa sudah selesai? Kalau sudah aku mau pulang, bye!" ucap Chandra yang sudah bangkit dari duduknya dan akan berjalan meninggalkan Citra.
Citra pun menoleh ke arah Chandra dan berteriak. "Heeeey jadi? Kita lanjut atau?" Tapi ucapan Citra tak dibalas oleh Chandra, malahan Chandra semakin mempercepat langkahnya dengan memeganginya tongkatnya.
"Hais! Dasar somboooong. Aaaaaaa, menyebalkan terus!"
Citra masih menatapi Chandra yang sudah pergi menjauh darinya. Dia galau, pikirannya kalut. Antara menerima perjodohan ini atau tidak. Memang Citra mengakui kalau Chandra tampan, tetapi kalau buta seperti ini ketampanan sudah tak menjadi nomer 1 lagi. Meskipun tampan, tapi buta rasanya sia-sia. Citra kini hanya bisa berfikir ulang dan benar-benar meyakinkan hatinya terlebih dahulu. Memikirkan bagaimana nanti kalau sudah menikah dengannya. Jelasnya akan sangat ribet dan harus mandiri untuk mengatasi kebutaannya, apalagi kalau dia hamil dan lain sebagainya, seperti tidak mempunyai suami dong, begitulah pikir Citra sekarang.
Namun, di sela-sela pemikirannya, dia teringat ucapan papanya yang harus menikah dengannya, itu yang membuat Citra tak akan bisa berbuat apa-apa. Rasanya untuk menghampiri papanya yang sekarang berada di dalam mobil. Citra menjadi malas, ia hanya bisa tersenyum kecut dan sesekali menggeram.
Ponsel Citra pun bergetar dengan sangat lantang, yang membuat Citra kini mau tidak mau harus mengangkatnya. Ia lalu merogoh ponselnya yang ada di dalam tasnya. Ternyata yang meneleponnya adalah papanya.
Dengan malas Citra menggeser tombol hijaunya. "Ya, Pa, ada apa? Mengganggu kencan butaku saja!" oceh Citra yang berpura-pura mengomeli papanya itu. Karena memang Citra ingin sendiri sekarang, tapi papanya yang melihat seorang pemuda keluar dan melewatinya menjadi penasaran, kalau itu Chandra dan putri si mata wayangnya sudah usai menemuinya, makanya dia menelepon Citra.
"Mengganggu? Bukankah kamu sudah usai? Memang mau pulang jam berapa? Apa kamu mau menginap? Kalau iya, ya sudah Papa pulang dulu saja kalau begitu," balas Cirul dengan menahan tawanya. Mencoba menggoda Citra.
"Ciiih, kalau tau lama kenapa masih menunggu tadi, Pa? Kenapa enggak langsung pulang saja tadi, menyebalkan! Dan Papa tau? Papa benar-benar orang tua yang buruk," protes Citra yang tak terima dengan kebutaan Chandra itu. Citra menjadi semakin lancang kepada papanya, bahkan suaranya terdengar sedikit meninggi.
"Apa maksudmu, Citra? Jaga ucapanmu kepada, Papa! Apa kamu mulai berani sekarang kepada, Papa? Hah! Ayo cepat keluar sekarang! Papa mau berbicara kepadamu! Papa tau kalau kamu sudah usai kencannya, karena sepertinya yang Papa lihat barusan di luar ini adalah Chandra," perintah Cirul dengan sedikit mengotot juga, mengimbangi Citra yang sedikit meninggikan suaranya, jadi seimbang sekarang, karena terbawa arus emosi juga.
"Baiklah, baiklah, iya memang dia adalah menantu Papa, si buta dari gua hantu!"
Tut, tut, tut ... Citra langsung saja mematikan teleponnya. Sementara Cirul yang masih di dalam mobil dan melihat teleponnya dimatikan. Dia menjadi geram dan mencoba mencerna ucapan anaknya itu. Tentang si buta dari gua hantu. Sampai-sampai Cirul berceloteh sendiri gara-gara ucapan Citra.
"Apa maksud Citra? Si buta dari gua hantu? Hmmm benar-benar tidak masuk akal."
Memang Cirul tidak tau kalau Chandra itu buta. Dia saja hanya mengenal papanya saja, bahkan wajah Chandra saja Cirul tidak tau, makanya dia kebingungan sekarang dengan ucapan Citra. Pastinya nanti Cirul akan meminta anaknya menjelaskan semuanya. Ia benar-benar penasaran, karena Citra berucap dengan sangat tegas. Tak ada candaan lagi, jadi itu berarti ucapan Citra benar-benar serius.
Cirul langsung membukakan pintu mobilnya. Ketika melihat Citra sudah mendekat ke arahnya. Terlihat wajah murung Citra dengan kekesalan yang luar biasa.
"Masuk!" perintah Cirul saat Citra sudah di luar pintu mobil yang sudah dibuka itu. Karena Citra benar-benar lemot. Tak kunjung masuk juga, makanya Cirul langsung memaksa saja biar cepat.
"Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, Putriku? Apa Chandra menolakmu? Atau dia tak membayar tagihan makanannya?"
Citra hanya bisa menggeleng. Mendengar ocehan papanya yang membuatnya semakin kesal itu. Juga dia mencoba membuyarkan pemikiran yang sungguh menyesakkan dadanya. Dengan nafas yang sudah usai dihembuskan kasar, akhirnya Citra mengeluarkan semua unek-uneknya. Dia tak perduli meskipun papanya mengamuk, atau membunuhnya sekalipun. Bagi Citra yang penting dia lega bisa mengeluarkan isi hati dan pemikirannya, dari pada menumpuk dan membuat dia sakit dikemudian hari nanti.
Namun, Citra hanya bisa menatap ke sembarang arah. Tak menatapi papanya, kalau dia menatapi papanya, bisa-bisa Citra tak akan bisa berbicara lagi karena takut. Jadi cara tak menatapi papanya itu adalah solusi yang terbaik.
"Pa, kenapa Papa begitu tega kepada, Citra? Apa salah Citra? Kenapa Papa sungguh kejam kepada, Citra? Apa Citra bukan anak kandung, Papa, jadi bisa disiksa seperti ini?" Lagi-lagi Citra memprotes papanya. Itu semakin membuat Cirul darahnya mendidih. Untungnya dia bisa menahan emosinya. Jadi hanya bisa mengepal dan menyergah anaknya itu.
"Apa maksudmu? Papa tega? Papa kejam? Dilihat dari segi mana itu semua? Apa karena perjodohan ini? Bukankah ini yang terbaik untukmu? Dia kaya dan sudah mapan, jadi apa menurutmu kurang? Bagi Papa itu sudah sangat sempurna, dan ini semua Papa lakukan untuk masa depanmu, karena Papa menyayangimu dan perduli padamu, jadi apa itu yang disebut tega dan kejam? Bukannya kamu sudah sepakat kepada, Papa untuk menerimanya? Lantas? Kenapa berubah pikiran sekarang?" jelas Cirul yang semakin kebingungan dengan sikap putrinya yang menurut dia sungguh plin-plan.
Aslinya Citra sungguh takut dengan sikap papanya yang kini suaranya sudah berubah tak seperti tadi. Tapi dia terus mengungkapkan apa yang menjadi kegundahan di hatinya. "Ini semua tidak akan merubah pemikiranku, kalau misal Chandra tak buta, Pa. Kalau tau Chandra buta kenapa masih menjodohkan dengan, Citra, apa itu yang dinamakan perduli dan menyayangiku?"