Hanya beberapa menit lamanya, sampailah Citra dan papanya di depan cafe itu. Papa Cirul langsung saja mendorong tubuh Citra sesekali, supaya Citra segera keluar dari mobilnya, karena dia terlihat ragu untuk keluar.
"Cepat keluar sana, Nak! Ditunggu Chandra itu!"
"Ayo, Pa!" ajak Citra yang tak ingin sendirian jadinya mengajak papanya. Bahkan tangan papanya itu sudah dipegangi olehnya.
"Heeeey enak saja! Mana bisa? Ya kamu sendiri dong. Citra sayangkuuuu, kan kamu yang mau kencan. Memangnya Papa yang kencan apa, yang benar saja kamu huhu, kalau kamu misalnya kencan mengajak orang lain itu bukan kencan namanya, tapi ajang perebutan," oceh Cirul yang membuat Citra semakin tak mengerti. Dia sekarang mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mencerna ucapan papanya, tapi ternyata papanya semakin mendorong tubuhnya untuk keluar. Sehingga Citra sekarang berada di luar mobilnya, setelah Cirul menutup mobil itu rapat-rapat.
"Ehhh Papa, Papaaaa, Citra belum paham tau ... maksud ucapan, Papa, Paaa jelaskan dulu dong, Paaaa," rengek Citra dengan terus mengetuk kaca mobilnya. Malahan papa Cirul membuka jendelanya sedikit dan menjulurkan lidahnya. Supaya bisa memberitahu Citra sedikit.
"Nanti saja, Papa kasih tau. Papa hanya bercanda tadi, ya sudah. Good luck, Sayang. Jangan lupa kamu harus memberi kabar buat Papa dan Mama nanti. Oke!" Cirul menutup rapat jendela mobilnya kembali, setelah itu dia sudah tak merespon Citra lagi. Meskipun Citra masih mengetuk jendelanya tak terima.
Citra yang sudah capek dengan ulahnya menjahili papanya itu, dia pun terus mengkomat-kamitkan bibirnya, mengomel dengan sangat jelas. Kalau dia sedang tak ikhlas melakukan ini semua. "Dasar, Papa. Huh, menyebalkan!"
Mau tidak mau, akhirnya Citra berjalan dengan langkah yang dipercepat, menurutnya bukan karena ia takut, melainkan agar segera sampai saja ke arah Chandra dan cepat pulang. Karena dia memang rasanya tidak betah berada lama-lama dalam kencan butanya itu.
Dia kebingungan untuk mencari keberadaan Chandra karena memang belum mengenalnya, tapi dia sangat ingat jelas ketika papa Cirul memberitahunya ketika di jalan tadi, kalau lelaki itu memakai jaket kulit buaya yang mengkilat, berwarna hijau dengan celana jeans hitamnya, rasanya sedari tadi Citra bulu kuduknya berdiri ketika membayangkan seperti apa sang pemakai jaket kulit buaya itu. Bayangan Citra sepertinya dia sangat seram melebihi apapun.
Matanya yang sedari tadi bergerak kian ke mari, akhirnya terhenti ke seseorang yang dituju dan yang dimaksud ayahnya itu. "Apakah benar dia? Sepertinya iya, aku harus menyapanya, gak apa-apa juga sih ... ini juga terpaksa, yang penting dia tidak GR saja nantinya," seru Citra yang semakin berjalan ke arah Chandra yang sudah menjadi sasaran matanya.
Kini Citra pun menepuk bahu Chandra dengan kasar. Namun, Chandra hanya menghembuskan nafas dengan kasar, tanpa menoleh atau bahkan menyapa Citra, membuat Citra pun kesal dibuatnya.
'Aduhhh dia sombong sekali sihhh. Bahkan tak mau menoleh ke arahku sama sekali, iya aku tau kalau kita hanya sebatas dijodohkan, aku juga dipaksa kali menikah denganmu, tapi gak sok juga seperti kamu, meskipun begitu aku menghargaimu menjadi seorang teman. Hmmm ya sudah terserah kamu saja lah.' Batin Citra dengan sangat gemas.
Dia lalu berjalan ke arah depan Chandra yang sudah duduk di kursi itu, lalu Citra juga langsung duduk di kursi saja tanpa persetujuan oleh Chandra terlebih dahulu. Citra hanya bisa sedikit menganga saat melihat Chandra terlihat sangat tampan, dengan memakai kaca mata besar pula, jadinya itu telihat kaca mata modern saja, buat gaya-gayaan, bukan kaca mata untuk mata yang terkena min ataupun plus.
Tangan Citra pun diulurkannya spontan, berusaha berkenalan dengan Chandra karena dia ingin sedikit akrab dengannya supaya tidak kaku dan malu bertemu dengannya.
"Chandra ya? Kenalkan saya Citra." Tapi ternyata tangan Citra tak dibalas olehnya, malahan Chandra hanya mengangguk saja. Melengos ke arah lain, menatap kosong ke sembarang arah.
Citra yang sudah tidak tahan lagi dengan keangkuhannya, dia semakin kesal, menurutnya orang yang seperti itu wajib ditegur supaya tidak sewenang-wenang lagi nantinya, mau dia anak konglomerat atau tampan sekalipun Citra tak perduli, yang penting dia lega bisa memakinya. Sungguh Citra menyesal karena tadi sempat mengagumi ketampanannya, dengan begitu dia tidak akan mengagumi ketampanannya lagi.
Usai Citra menurunkan tangannya, dia pun langsung menyemburkan larvanya. "Heeeeei kauuu! Sombong sekali sih kamu ini! Tidak menjabat tanganku atau membalas ucapanku, sok kecakepan sekali kamu ini! Huh! Menyesal aku menerima perjodohan ini dan kencan buta ini!"
Chandra hanya berdecak kesal, dia pun lalu membuka kaca matanya. Menatapi Citra seketika dengan mata yang tak menetap menatapinya karena mata itu memang tidak berfungsi dan buta, makanya pandangan itu tidak lurus dan hanya mengedipkan matanya sesekali.
"Kamu? Ka—Kamu buta?" tunjuk Citra tepat di depan mata Chandra. Dia menjadi sangat tegang dan benar-benar tak percaya dengan yang ia lihat saat ini.
"Dengan begini kamu tau, jadi tidak usah saya jelaskan lagi!" balas Chandra dengan sangat dinginnya. Ia memakai kaca matanya kembali dengan cepat, tanpa berucap apapun lagi.
Sementara Citra yang sungguh masih tak percaya, dia menggerutukkan giginya, dengan tangan yang dikepalkan dan sudah siap menjotos wajah Chandra, dia mengkomat-kamitkan bibirnya, menghina Chandra dengan bibir yang dimonyongkan, sungguh dia sangat kesal dengan Chandra, bahkan ingin rasanya menendang kakinya. Lagian Chandra tidak bisa melihat, jadi meskipun Citra menghinanya dia tak akan tahu. Bahkan sesekali Citra terkikik geli karena ulahnya itu. Benar-benar dia puas bisa menghina Chandra.
Chandra pun membatin ketika mendengar suara Citra yang sedikit tertawa seperti itu, dia tau kalau Citra sedang mengejeknya. 'Kenapa cewek itu? Dia agak gesrek kali yaaaa, hmmm apa benar dia yang dijodohkan olehku itu, kalau iya Papa benar-benar keterlaluan, nanti pokoknya aku harus memprotes Papa apapun yang terjadi, kenapa tidak Papa saja yang menikahinya, benar-benar menyebalkan!'
"Kamu sudah memesan makanan? Kok sedari tadi meja ini kosong, mana minuman atau makanannya?" tanya Citra yang seketika membuyarkan lamunan Chandra yang sedari tadi membatin itu. Dia tidak buru-buru pergi karena ingin tau seberapa dinginnya Chandra, apa benar dia sangat dingin seperti yang ia lihat. Karena biasanya tidak ada lelaki yang akan bisa dingin kepada Citra, karena kecantikannya itu, tapi mungkin sekarang berbeda karena Chandra tidak bisa melihat.
"Kamu pesan saja! Aku tidak haus atau tidak lapar, setelah itu to the poin saja!"
Bahkan sekarang, sekali Chandra berucap selalu Citra menggerakkan bibir imutnya itu, menghina Chandra karena memang dia tidak suka dengan sifat dingin Chandra. Tangannya dinaikkan ke udara, tanda memanggil pelayan.
Pelayan yang melihat tangan Citra seperti itu langsung mendekatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak? Mau pesan apa?" tanya pelayan perempuan dengan membawa buku catatan serta bolpoin. Bersiap untuk mencatat pesanan Citra.