Beni mulai membereskan segala sesuatu yang berurusan dengan studionya, mulai dari membatalkan semua jadwal pemotretan yang akan datang, sampai melelang semua barang-barangnya yang tersisa. Atau lebih tepatnya, barang-barang yang selamat dari amukan si jago merah, yaitu sebuah laptop, satu bodi kamera, beberapa lensa dan flash light lengkap beserta tas yang selalu dia bawa pulang.
Semuanya dia lelang untuk menutupi kerugian akibat musibah kebakaran waktu itu, walaupun tidak bisa untuk menutupi semuanya, minimal sebagian saja dulu, fikir Beni.
Hampir setiap menit dan setiap jam yang berlalu, Beni berkali-kali berusaha menghubungi Chacha melalui pesan singkat whatsapp ataupun panggilan telepon reguler. Tidak ada satupun yang tersambung atau mendapatkan balasan. Chat di aplikasi whatsapp selalu terlihat ceklis satu, yang artinya, aplikasi whatsapp Chacha tidak aktif, sehingga pesannya tidak terkirim.
Gelisah, bingung dan tidak menentu. Beni yang sedang berada di dalam studio recording milik temannya itu nampak berjalan mondar-mandir tidak jelas arah dan tujuan.
Setelah membereskan segala urusan, Beni memang sengaja mengunjungi Jodi, beemaksud untuk istirahat sejenak sekalian pamit juga, karena keadaan memaksanya untuk kembali ke Bandung.
"Kenapa sih lu Ben? Dari tadi mondar-mandir mulu?" Tanya Jodi, pemilik studio recording itu.
Tiba-tiba langkah Beni terhenti, terlintas dalam benaknya, jika ia mempunyai seorang kenalan yang satu kampung dengan Chacha.
"Eh iya Jod, si Anwar satu kampung kan ya sama Chacha?" Tanya Beni, terhenti sesaat, mengingat sesuatu.
"Ah iya! Si Anwar kan satu kampung dengan Icha, coba aku hubungi dia, mudah-mudahan Anwar tahu kabar tentang Chacha disana bagaimana." Lanjut Beni tanpa menunggu jawaban Jodi.
"Yeehh! Nanya sendiri jawab sendiri! stress! Hahhaa" ucap Jodi terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Bejo nampak terburu-buru menghubungi Anwar melalui Smartphonenya, kebetulan waktu itu ia sempat save no ponselnya Anwar.
"Hallooo."
Terdengar suara Anwar di sebrang sana, lega sekali rasanya mendengar suara Anwar. Tanpa basa-basi, Beni langsung menanyakan kabar Chacha disana.
"War, syukurlah kau bisa ku hubungi, aku mau minta tolong war, bisa kan? Tolong cari tau kabar Chacha disana ya? dari kemarin aku coba menghubunginya, tapi no nya udah gak aktif, aku takut dia kenapa-napa"
Ucap Beni kepada Anwar melalui sambungan telepon itu. Anwar baru kemarin mengetahui hubungan Beni dan Chacha dari linfkaran teman-temannya. Anwar lalu menyanggupi untuk mencari tahu kabar Icha ke rumahnya.
"Baik Ben, kamu tunggu ya, kalo sudah ada kabar, nanti aku telepon kamu." Kata Anwar.
"Ok War makasih ya, aku tunggu info nya."
Beni menutup teleponnya dengan perasaan gelisah, entah kenapa hatinya tidak tenang, fikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Chacha yang dibawa pulang ibunya secara paksa itu.
"Pasti Chacha sekarang lagi menangis, ahh kasihan sekali dia. Kenapa Orang tuanya itu tega sekali menjodohkan nya dengan lelaki tua yang sudah beristri?" Batin Beni terasa teriris perih.
Beni menarik nafasnya dalam-dalam, mengutuk dalam hati. Entah harus melampiaskan kemarahan kepada siapa, Bejo merasa semua yang menimpa dirinya sungguh diluar kemampuannya, tidak ada kekuatan sedikitpun dalam dirinya untuk melawan kehendak takdir yang menimpanya.
Beni lalu bersiap diri pulang ke kontrakannya.
"sembari menunggu kabar dari Anwar, sebaiknya aku beres-beres saja dulu dikontrakan." Fikir Beni, lalu berdiri dan menghampiri Jodi.
"Jod, aku pamit dulu, terima kasih buat semuanya, maaf jika ada salah ya Jod, sepertinya dalam waktu dekat ini aku akan segera pulang kembali ke kota asalku, Bandung." Ucap Beni, menyalami dan memeluk Jodi.
"Oke Ben, hati-hati. Jangan lupa nanti mampir-mapir lagi kesini." Kata Jodi membalas pelukan Beni.
Angin kencang menabrak wajah Beni yang nampak kusut diatas sepeda motornya yang berjalan pelan, lemas seperti hatinya yang gundah.
Beni memasuki ruangan dalam rumah kontrakannya itu tanpa semangat, berjalan gontai menuju pintu kamar.
Didalam kamarnya, Beni kembali menghela nafasnya dalam-dalam, kedua tangannya mulai merapihkan baju-bajunya ke dalam koper satu persatu dengan gelisah.
Ia sudah tak sabar menunggu kabar dari Anwar. Seandainya Chacha mau diajak pindah ke Bandung, saat itu juga Beni pasti akan langsung menjemputnya kesana. Sayang sekali situasi dan kondisi keluarganya tidak sesederhana itu.
"Kriiinnnngg!!"
Suara panggilan telepon berbunyi dengan sangat nyaring terdengar dari ponselnya. Karena Beni menyukai hal-hal yang berbau Oldies. Ringtonenya itu memang sengaja ia set menggunakan bunyi telepon lama,
"Nahh Anwar menelponku." Teriak Bejo dalam hati.
Tergesa-gesa Beni meraih Smarphone miliknya yang ia simoan didalam sakunya itu.
"Hallooo gimanaa war? ada Info? Ketemu gak sama Chacha? Gimana katanya?"
Bertubi-tubi Beni menanyai Anwar seolah sedang mengintrogasinya saja.
"Ben, aku barusan coba nanya ke tetangganya, ada info yang cukup mengagetkan, kamu siap mendengarnya?"
Kata Anwar memulai pembicaraannya, pertanyaan Anwar itu membuat Beni merasa was-was sekaligus penasaran.
"Duh, ada kabar apa ini?" Beni bertanya dalam hatinya sendiri, tegang.
"Gimana war? Ada info apa? jangan bikin aku penasaran.. Cepat Katakan!!"
Ucap Beni dengan tergesa-gesa.
"Ben, Chacha akan menikah bulan depan!" Ucap Anwar, Suaraya yang terdengar disebrang telepon itu sungguh bagaikan sambaran gelegek yang menggelegar bagi Beni.
"Haaaahh??" Beni melototkan matanya, seketika badannya terasa lemas, bumi seolah berputar dengan cepat, Beni menutup matanya kuat-kuat, seakan tidak ingin mempercayai pendengarannya.
Dengan perasaan hancur, Beni melempar tubuhnya keatas tempat tidur dengan keras, bahkan tanpa sadar, ponselnya telah dia lemparkan kesampingnya, sedang Anwar disebrang sana masih terdengar memanggil-mangil namanya. Beni menyudahi percakapannya tanpa pamit.
"Aaaaaarrrggghhh!!!!"
"Chachaaa!" Beni memanggil kekasihnya itu dengan lirih.
"Aku harus kesana, aku harus menemui Chacha!"
Tekad Beni sembari berguman dalam hatinya, niatnya sudah bulat, bagaimanapun nanti respon keluarga Chacha disana, dia sudah siap.