Saat malam tiba, langit dipenuhi awan mendung dan sesekali bisa terdengar suara gemuruh petir. Hujan deras membasahi seluruh kastil Kerajaan Argaint. Di antara suara hujan dan petir, terdengar suara rintihan kesakitan yang terasa sangat menyakitkan dari sebuah ruangan. Dan ruangan adalah kamar Putri Aishia.
Di dalam kamar tersebut hanya ada Putri Aishia dan pelayan setianya, Siesta. Dia 7 tahun lebih tua dari Putri Aishia. Tubuhnya lebih pendek dari Putri Aishia. Dengan rambut hitam pendek dia terlihat cantik dengan pakaian pelayannya.
"Putri, apakah kau yakin baik-baik saja? Kau terlihat sangat kesakitan kali ini. Pada saat seperti ini mengapa Raja dan Ratu harus pergi berkunjung ke Kerajaan Rubelia." Siesta khawatir dengan kondisi Putri Aishia.
"Aku baik-baik saja, kau tahu kan aku sudah terbiasa dengan sakit seperti ini. Ayah dan Ibu sedang melakukan hal penting untuk Kerajaan ini. Jadi tidak perlu mengganggu mereka dengan hal sepele seperti ini. " Putri Aishia menenangkannya dengan senyuman.
"Tapi putri, kondisimu saat ini..." Siesta masih terlihat cemas dengan kondisinya.
"Aku baik-baik saja. Jika aku terlihat kesakitan, dan dilihat oleh Elise. Dia akan sedih dan khawatir. Aku hanya harus menahannya seperti biasa." Dia meyakinkan Siesta dengan wajah sedih.
Suara Putri Aishia terdengar sangat lemah. Dia menggertakkan giginya menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Siesta yang melihatnya hanya bisa meneteskan air mata.
"Putri, kau harus kuat dan kau harus pulih secepat mungkin. Jadi kau tidak akan membuat Putri Elise sedih dan khawatir lagi." Siesta menyemangati Putri Aishia yang sedang kesakitan.
"Aku juga ingin seperti itu. Tapi kau tahu bahkan Royal Mage tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi tubuhku. Mereka berspekulasi ini ada hubungannya dengan konstitusi tubuhku. Mereka juga bilang bahwa mereka akan mengulur waktu agar penyakitku tidak semakin parah dan memukan solusi terbaik untuk mengobatinya. Sudah lima tahun sejak aku seperti ini. Dan mereka masih belum menemukan solusi apa pun." Putri Aishia berkata sambil menahan rasa sakitnya. Tanpa sadar air mata menetes dari matanya yang indah.
"Putri, kau tidak boleh pesimis! Aku yakin mereka akan menemukan solusinya. kau harus bertahan sampai saat itu. Dan mulai sekarang kau tidak boleh menggunakan sihir apa pun. Setiap kali kau menggunakan sihir, kondisimu akan semakin buruk..." Siesta berbicara panjang lebar menasehati Putri Aishia.
"Aku mengerti Siesta, meski begitu aku tetap ingin menjadi seorang penyihir yang hebat. Terima kasih telah menjagaku selama ini." Putri Aishia menjawab dengan senyum sedih.
"kau tidak perlu berterima kasih padaku Putri. Itu sudah menjadi tugasku." Siesta terisak dan menggenggam erat tangan Putri Aishia. Putri Aishia hanya tersenyum lembut saat mendengar apa yang dikatakan Siesta.
"Siesta, ini sudah tengah malam. Kembalilah ke kamarmu. kau juga perlu istirahat. kau terlihat sangat lelah." Putri Aishia cemas melihat wajah lelah Siesta.
"Tidak, aku akan menemanimu di sini sampai kau merasa lebih baik." Siesta dengan keras kepala menolaknya.
"Aku sudah merasa lebih baik, jadi kau bisa beristirahat. Aku sedang ingin sendiri saat ini dan mencoba tidur." Putri Aishia mencoba meyakinkan Siesta.
"Benarkah?" Siesta masih ragu pada kata-katanya.
"Tentu saja itu benar. Jadi sekarang kau bisa kembali ke kamarmu dan beristirahat." Putri Aishia kembali meyakinkan Siesta dengan wajah serius.
"Baiklah kalau begitu. Semoga kau cepat sembuh Putri, Selamat malam. Aku kembali ke kamarku dulu. Besok pagi aku akan segera kembali lagi kesini." Siesta hanya bisa menuruti kata kata Putri Aishia.
"Baiklah." Putri Aishia mengangguk pada kata-kata Siesta.
Siesta masih enggan meninggalkan Putri Aishia dengan kondisinya yang seperti itu. Tapi melihat senyum Putri Aishia. Dia hanya bisa mengikuti perintahnya dan meninggalkan kamar tersebut.
Setelah pintu kamar tertutup. Putri Aishia hanya bisa terus mengerang kesakitan. Dapat dibayangkan rasa sakit luar biasa yang dia rasakan dari suaranya. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang seharusnya tidak berada di kamar seorang perempuan saat tengah malam.
"Jika kau merasakan sakit seperti itu. Mengapa kau menyuruh pelayanmu untuk meninggalkanmu Putri Aishia?"
Tubuh Putri Aishia gemetar saat mendengar suara laki-laki itu. Dia tidak tahu bagaimana laki-laki itu bisa ada di kamarnya tanpa dia sadari.
"Ziel... Apakah itu kau? Apa yang kau lakukan di kamarku saat tengah malam? Bukankah tidak sopan memasuki kamar seorang wanita tanpa izin saat waktu tengah malam?" Putri Aishia bertanya dengan perasaan yang rumit.
Dari suara Putri Aishia, Ziel bisa merasakan perasaan bingung, takut dan marah padanya. Ziel hanya bisa menghela nafas berat mendengarnya. Princess Aishia bingung karena dia tidak tahu apa tujuan Ziel, takut karena Ziel masuk tanpa dia sadari, dan marah karena Ziel masuk ke kamarnya tanpa izin.
"Sebaiknya kau tidak banyak bicara dalam kondisimu seperti itu, Putri Aishia. Kau akan memperburuk kondisimu. Dan aku di sini bukan untuk berbuat jahat padamu. Jadi lebih baik kau tenangkan pikiranmu. Dan jika kau bertanya bagaimana aku masuk. Tentu saja melalui pintu. Aku hanya membuat diriku tidak terlihat. Dan memberikan sedikit ilusi kepada penjaga di depan kamarmu." Ziel menjelaskan kepadanya.
Putri Aishia melihat ke arah Ziel. Dia tidak tahu bagaimana ekspresinya karena dia memakai topeng. Mereka berdua terdiam cukup lama. Akhirnya Putri Aishia yang memecah keheningan diantara mereka.
"Haah... Jadi apa yang kau inginkan?" Putri Aishia menghela nafas mempertanyakan tujuan Ziel.
"Pertama-tama, aku memohon pengampunanmu karena memasuki kamarmu tanpa izin, Putri. Tapi jika aku tidak melakukannya secara diam-diam. aku akan dicurigai ketika datang ke kamarmu saat tengah malam." Ziel tidak langsung mengatakan tujuannya, tetapi meminta maaf kepada Putri Aishia atas tindakannya.
"Aku memaafkanmu. Jadi apa tujuanmu datang ke sini?" Putri Aishia segera memaafkannya dan kembali mengulang pertanyaannya.
"Putri Elise bertingkah aneh sepanjang hari. Dia menjadi lebih pendiam dan murung. Dia terlihat sedih. Itu sangat merepotkan untuk pekerjaanku. Dan aku tahu alasan mengapa dia seperti itu karena kondisimu, Putri Aishia." Dia menjelaskan tujuannya padanya.
"Jadi pada akhirnya aku masih membuatnya bersedih." Putri Aishia bergumam menyalahkan dirinya.
Ziel hanya diam melihat Putri Aishia menyalahkan dirinya sendiri. Dia melihat Putri Aishia mulai meneteskan air mata. Ziel tidak tahu dia menangis karena telah membuat sedih adik perempuannya atau karena rasa sakit yang dia rasakan.
"Menurutku wajar jika Putri Elise merasa sedih. Melihat kondisi kakaknya yang kesakitan. Dan juga...bisa mati kapan saja." Ziel mengatakannya dengan jujur.
Mendengar apa yang dikatakan Ziel, tubuh Putri Aishia gemetar. Ketakutan menghiasi wajahnya yang pucat tapi tetap cantik. Lalu dia menatap langsung ke arah wajah Ziel yang tertutup topeng.
"Apa maksudmu aku bisa mati kapan saja? Bahkan Royal Mage bilang aku masih punya waktu satu tahun. Bagaimana kau tahu tentang hal itu?" Putri Aishia tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan Ziel.
Ziel hanya bisa terdiam melihat wajah Putri Aishia dan menghela nafas berat.
"Jadi sepertinya kau tidak mengerti kondisi tubuhmu yang sebenarnya." Ziel menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kau bicarakan? Apakah kau tahu apa yang terjadi padaku? Tidak ... tidak mungkin. Bahkan Royal Mage tidak tahu kondisi tubuhku yang sebenarnya." Putri Aishia berkata dengan nada agak tinggi.
Putri Aishia awalnya melihat secercah harapan saat mendengar penjelasan Ziel. Tapi dia segera menghilangkan harapan itu. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang berusia sama dengannya lebih baik daripada penyihir kerajaan?
"Itu terserah padamu, apakah kau akan percaya atau tidak. Tapi bagaimana jika aku berkata bahwa aku bisa menyembuhkanmu?" Ziel tidak peduli apa yang dipikirkan Putri Aishia.
"Apa!?"
Putri Aishia tercengang mendengar apa yang dikatakan Ziel.