Alfa tidak nyaman kalau harus duduk di sisi Elion. Berdesakan dengan orang-orang asing yang baru pertama kali dia lihat sambil menerka apa yang tengah Elion rasakan saat memandang Nadia di depan sana. Itu mengusiknya. Dan dia memutuskan untuk membiarkan Elion tinggal di tempatnya, bergelut dengan perasaannya sendiri selama beberapa saat.
Alfa mengangkat kameranya, berdiri di sudut yang memungkinkannya membidik kedua mempelai sekaligus Elion. Tapi kemudian gadis itu berubah pikiran. Mengubah fokusnya pada Elion yang menatap lurus ke depan. Tanpa riak. Tatapannya sulit diartikan, sampai tanpa sadar Alfa mengernyit melihatnya.
"Saudaranya Mbak Nadia? Dari mana?" Logat Jawa kental itu membuat Alfa mengangkat wajahnya dari kamera. Menemukan seorang laki-laki yang terlihat 2-3 tahun lebih tua darinya memosisikan diri dengan kamera terkalung di leher.
Alfa tersenyum. Hanya sekadar untuk beramah-tamah. "Bukan. Cuma kenalan aja."
Laki-laki itu mengangguk. "Ke sini sendiri?"
Tanpa melunturkan senyumnya, Alfa kembali membidik. Dengan jangkauan lebih luas. "Nggak."
Dan Alfa membiarkan laki-laki itu menerka satu di antara beberapa laki-laki di ruangan itu. Sebab, jujur, Alfa tak begitu suka kalau harus berkenalan di acara seperti ini.
.... Terlebih acara sakral yang sama sekali berbeda dengan adatnya.
Seorang penghulu siap di tempatnya, mengecek sound dari mic yang akan dia gunakan. Lalu melirik satu per satu orang yang duduk mengelilingi mejanya.
Hanya begitu pun Alfa sudah bisa merasakan suasana sakralnya.
Ini ... bukan main-main. Karena itu, saat Elion mengangkat handycam yang entah dia bawa sejak kapan, Alfa menghela napas panjang. Kalau Elion dihancurkan hari ini, maka begitu juga dengan Alfa. Dan dia sedang mempersiapkan diri.
Alfa mengarahkan bidikannya pada Nadia yang menunduk dengan air mata berderai setelah tak sengaja bersiborok dengan lensa kamera yang dibawa Elion. Suara penghulu yang memulai acara membuat napas Alfa ikut sesak.
Atau sebenarnya Alfa merasa sesak melihat senyum kecut Elion di tempatnya.
Untuk Alfa, cerita tentang Elion dan Nadia dulu hanya seperti angin lalu. Hubungan yang terjalin selama bertahun-tahun itu ... berakhir seperti ini. Tanpa mereka bicara pun, sekarang Alfa mengerti sedalam apa perasaan Elion pada Nadia. Melihat kameranya menangkap jejak air mata Elion membuat Alfa menggigit bibir bawahnya. Di tersekat. Dadanya sesak dan matanya mulai memanas, sampai dia seperti bisa merasakan darah di bawah kulit wajahnya mendidih.
Laki-laki itu ... sambil merekam saat di mana Nadia dimiliki orang lain, seperti tak sungkan menunjukkan bahwa gadis itu masih menjadi pemilik hatinya secara utuh.
Alfa ... baru tahu kalau Nadia benar-benar berarti untuk Elion.
Elion menangis.
Nadia menangis.
Tapi jelas itu tangis yang sama. Alfa bahkan tak bisa melihat haru dalam tangis Nadia. Gadis itu ... menginginkan Elion yang ada di sampingnya. Bukan laki-laki yang baru saja berhasil membuat seisi ruangan berucap 'sah' untuk hubungan barunya dengan laki-laki lain.
Itu mungkin patah hati terhebat. Selesai tanpa benar-benar selesai. Mereka saling lepas, tapi pada kenyataannya perasaan mereka masih saling terikat. Dan sekarang ada dinding penyekat di antara mereka. Terbentang tinggi sampai harusnya mustahil untuk Elion melangkah lebih jauh, meskipun mereka jelas punya keinginan yang sama.
Dan menyaksikannya membuat Alfa semakin merasa dia bukan apa-apa. Karena sebesar itu perasaan mereka.
Alfa pasti cuma main-main. Dia tidak lebih dari remaja labil yang belum punya pikiran untuk menjalin hubungan secara serius; menjalin hubungan yang akhirnya sudah pasti seperti Nadia dan pasangannya.
Lalu, saat orang-orang di ruangan itu mulai membuat keributan dengan mengucapkan selamat, Alfa melihat Elion celingukan. Mencari keberadaannya. Karena itu, Alfa mendekat hanya untuk kemudian diajak keluar.
"Habis ini mau langsung pulang?"
"Gue mau ke toilet sebentar. Lo duduk di sini dulu. Kalau ada cowok yang ngajak ngobrol, jangan tanggepin."
Sambil membiarkan Elion mendudukkannya di salah satu kursi dan menitipkan handycam, Alfa tersenyum mengejek, lebih untuk mencairkan suasana ketimbang menjatuhkan rasa percaya diri Elion yang wajah hingga telinganya memerah. "Perlu ditemenin?"
"Nggak usah ngeledek."
Alfa tercengir sambil tertawa pelan. Baru setelahnya menghela napas panjang karena Elion menepuk pucuk kepalanya sebelum benar-benar berlalu dari sana.
Sekarang Alfa jadi mengerti alasan Rena mengatakan bahwa menemani Elion adalah ide brilian. Sebab Elion akan kelihatan lebih menyedihkan saat datang sendirian. Dia akan terlihat jauh lebih dan lebih menyedihkan saat keluar dari ruang akad tanpa teman yang mungkin bisa dijadikan sebagai pengalihan.
Ucapan Rena reasonable.
Alfa pun sepertinya bakal mencari cara untuk datang dengan seseorang kalau dia ada di posisi yang sama dengan Elion.
Gadis itu menimbang sambil memainkan handycam milik Elion di tangannya. Menahan rasa penasaran dan keinginan untuk mengintip hasil rekaman Elion. Akan jadi lancang kalau dia tiba-tiba menonton rekamannya. Sebab, memotret Elion yang menangis diam-diam pun bagi Alfa sudah cukup untuk bisa dikatakan lancang.
Alfa memakluminya. Walau dia sendiri belum pernah berpacaran, tapi dia cukup sering merasakan yang namanya kehilangan sebelum memiliki; entah kesempatan atau orangnya. Dan itu menyakitkan. Jadi, kalau Elion dan Nadia yang sudah bersama selama bertahun-tahun dan saling terikat dipaksa oleh keadaan untuk berpisah, itu sangat wajar untuk keduanya beraksi seperti tadi.
Sebelumnya, Alfa pernah mendapati Bianca yang menangis seperti orang tolol selepas diputuskan secara sepihak. Tapi waktu itu Alfa sama sekali tidak bisa ikut merasakan apa yang Bianca rasakan. Justru Alfa kesal sekali karena Bianca menangisi cowok brengsek.
Namun, sekarang keadaannya sama sekali berbeda. Di sini jelas Elion dan Nadia sebenarnya tidak ingin berpisah. Mereka hanya harus berpisah. Dan itu menyakitkan, bahkan untuk Alfa yang hanya menyaksikan.
Butuh setidaknya seperempat jam untuk akhirnya Elion muncul lagi. Laki-laki itu duduk di sebelah Alfa sambil menunggu kedua mempelai naik ke pelaminan.
"Butuh pelukan?"
"Well, gue nggak keberatan kalau lo sepengen itu buat gue peluk."
Alfa mendengkus. "Ini ada sebuah study yang bilang kalau pelukan itu bisa bikin kita meredakan emosi."
"Gue nggak emosi."
"Kak Elion, sedih itu namanya juga emosi. Emosi nggak melulu marah-marah sambil mecahin gelas selusin."
"Lo emang sepengen itu meluk gue?"
Alfa jadi gemas sendiri. Makanya dia menarik tangan Elion dan menggigitnya, membuat laki-laki itu mengerang pelan. Tidak cukup untuk membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arah mereka. Tapi Alfa tersenyum puas sewaktu mengangkat wajahnya dan menatap Elion yang mendelik, antara kesal dan heran pada Alfa yang terlalu tiba-tiba.
Tidak mau kena omel, Alfa menunjuk ke depan, di mana antrean salaman ke kedua mempelai sudah agak sepi. Kemudian gadis itu menyeret Elion merapat ke sana untuk mengucapkan selamat, dilanjutkan dengan acara foto bersama pengantin di atas pelaminan.
Semuanya berlalu begitu saja. Berbeda dengan dugaan Alfa yang berpikir kemungkinan Nadia bakal menahan Elion lebih lama di atas pelaminan, atau acara perdramaan lainnya yang memaksa dia ikut merasakan perasaan keduanya. Namun, ternyata tidak ada yang terjadi. Elion langsung turun setelah bersalaman untuk formalitas, lalu menarik Alfa untuk pulang.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara lagi. Alfa juga bingung harus mengangkat topik apa. Soalnya dia tahu, kalau dalam kondisi badmood, dia sendiri juga lebih senang diabaikan daripada diajak bicara.
"Kak Elion," Sesaat setelah mobilnya berhenti di depan rumah Elion, Alfa menahan lengan laki-laki itu yang hendak membuka sabuk pengamannya dan turun. Begitu Elion menoleh, Alfa tersenyum kecil. "mungkin kesannya aku ikut campur kalau bilang gini, tapi sekarang Kak Nadia udah nikah. She found a guy. And you deserve the better one. Sakit hati emang nggak pernah baik-baik aja dan nggak pernah diharapkan oleh siapa pun, but it's okay for today."
Elion jadi urung melepaskan sabuk pengamannya. Kedua sudut bibirnya tertarik. "Lo mau gue bayar utang sekarang?"
"Hm?"
"Es krim sama parfait."
"Okay, let's go!"
_______________