Chereads / Another One For You / Chapter 21 - MEREKA

Chapter 21 - MEREKA

Bianca punya banyak sisi serupa dengan Alfa. Bawel, keras kepala, dan mendadak jadi manusia paling pendiam saat marah. Bedanya, kadang Alfa masih tahu batasan, sedangkan Bianca terlalu ceplas-ceplos dan kelewatan. Mungkin itu juga yang membuat hubungan mereka cukup langgeng.

Soal kedewasaan, di antara mereka tak ada yang terlihat lebih unggul. Tinggal lihat situasi saja, siapa yang waras bakal lebih dewasa. Kalau marahan ... Alfa yang sering menurunkan ego, karena malas diam-diaman terlalu lama. Sedangkan Bianca harus dirayu berhari-hari sampai akhirnya lupa pada emosinya sendiri.

Hanya saja, kali ini beda. Bukan Alfa yang bikin Bianca diam seharian. Mau dipikir berapa kali pun, Alfa tak bisa memutuskan mana tindakan yang harus dia ambil.

Dalam hati, Alfa sedikit menyalahkan Bianca yang bicara keterlaluan pada Elion semalam. Padahal jelas Elion sedang patah hati. Ya, katakan saja Elion sudah cukup dewasa dalam bersikap, tapi memangnya apa bedanya orang dewasa dan remaja saat patah hati? Rasanya sama saja. Pengen pergi entah kemana sampai lupa daratan. Dan kembali hanya untuk menyadari kalau dunia ini baik-baik saja tanpa dia. Cuma, Bianca tak mau mengerti dan malah bicara seenak jidat—persis Alfa saat Bianca diputuskan Neil, dan Alfa tak sadar dia pernah melakukan 'kejahatan' serupa dengan Bianca.

Di sisi lain, Alfa juga mengerti alasan Bianca bersikap demikian. Bianca peduli pada Elion. Terlampau cemas karena perasaan Elion terhadap Nadia nyaris melayangkan nyawa laki-laki itu. Dan menyaksikan Elion kalang kabut selama beberapa lama ini, keluar-masuk kerjaan demi mengejar Nadia yang nyatanya memilih orang lain ... Memangnya siapa juga yang suka?

Jadi, Alfa tak bisa memihak. Dia tak mungkin menyalahkan Elion demi membuat Bianca merasa benar atas tindakannya. Dia juga tak mungkin menunjukkan kesalahan Bianca yang akhirnya bakal membuat gadis itu semakin mogok bicara karena merasa disudutkan. Satu-satunya hal yang bisa Alfa lakukan hanyalah membuntuti ke mana pun Bianca pergi seharian ini.

"Biarin gue sendiri."

Alfa sempat terperanjat mendengar ucapan datar Bianca. Tapi belum sampai Alfa mengeluarkan suara, Bianca sudah lebih dulu lari menaiki tangga ke kelas XII.

Kalau sudah begini, Alfa hanya bisa diam menunggu Bianca selesai dengan urusannya sendiri. Soalnya kalau dia memaksa ikut, Bianca bisa-bisa mengamuk.

"Nggak punya temen?"

Alfa menoleh, mendapati Ari berjalan melewatinya dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana. Ada senyum mengejek di bibirnya.

"Jaga jarak!"

"Gue cuma lewat. Koridornya sempit."

Melihat Ari terus berjalan membuat Alfa  menatap tajam punggung laki-laki itu.

"Kalau lo mau maju duluan ya sini. Gue tinggal eksekusi."

"Nggak usah ge-er!"

Ari terkekeh pelan. Berbalik sambil berjalan mundur hanya demi menyeringai pada Alfa.

Beberapa hari berlalu. Dan Alfa terlihat baik-baik saja—atau sebenarnya lebih baik dari sebelumnya. Ari mendengkus. Membuat jarak begini memang pada dasarnya adalah keinginan Alfa, tidak dengan dirinya. Karena itu, sesekali Ari hampir saja melompat ke balkon kamar Alfa sebelum akhirnya ingat apa yang sedang terjadi di antara mereka. Ari sebenarnya bisa mengabaikan kemarahan Alfa, cuma ... dia juga punya harga diri. Perjanjian antara dirinya dan Alfa tak mungkin dia ingkari.

Ari bukannya tak tahu kalau seharian kemarin Alfa pergi, dan pulang malam diantar laki-laki yang naik taksi. Entah siapa. Tapi Ari punya keyakinan kuat kalau laki-laki itu yang ditaksir Alfa.

Sebelum berbalik dan berjalan dengan semestinya lagi, sekilas Ari melihat Alfa dihampiri Nawasena.

"Alfa kayaknya mulai deket sama tuh jongos."

Ingat omongan Fariel beberapa hari lalu malah membuat Ari geli. Nawasena jelas bukan orang yang bakal membuat Alfa bertekuk lutut. Dia sama sekali bukan tipe Alfa.

"Kak Naufal besok malem juga ikut ke pesta, kan?" Stevani merangkul lengan Ari begitu mereka berpapasan di pintu kantin.

"Hm?"

"Pesta pertunangan Kak Anneth sama siapaaa itu. Aku lupa namanya. Pokoknya sih kata papi, tunangan Kak Anneth yang bakal jadi pimpinan baru Hesa Group." Gadis itu menengadah demi melihat Ari yang masih menatap lurus ke depan. "Ikut, kan? Kalau Kak Naufal ikut, aku mau ikut."

Pesta bisnis begitu untuk Ari tak ada bedanya dengan diam seharian penuh di tempat yang sama. Alias membosankan peringkat pertama. Hanya saja, dia perlu memastikan Alfa ikut atau tidak. Jika Alfa ikut, menahan rasa bosan beberapa jam rasanya bukan hal yang sulit.

"Ya udah."

"Ikut?" Stevani memastikan. Begitu Ari mengangguk, gadis itu kembali bertanya, "Kalau nanti temenin aku beli baju ... gimana?"

"Nggak bisa."

"Kenapa?"

"Ada urusan."

"Di mana?"

Setelah berdiri di depan penjual bakso, untuk pertama kalinya sejak mereka masuk bersama, Ari benar-benar menatap Stevani. Sorotnya menunjukkan bahwa dia terusik dengan pertanyaan-pertanyaan gadis itu. "Nggak penting lo tau."

Stevani terdiam.

Selama ini Stevani mempertanyakan alasan Ari mengencaninya. Sebab, seumur hubungan mereka, Ari jarang sekali bersikap hangat. Bahkan menanyakan kabar pun selalu Stevani dulu. Dan Stevani juga yang menjadi satu-satunya orang yang mengucapkan selamat malam—disertai pernyataan cinta—kepada Ari. Tanpa timbal balik.

Katakan bahwa Stevani bodoh. Terlampau bodoh sampai bertahan pada laki-laki seperti Ari. Hanya saja, Stevani juga sadar bahwa dia ... tak mungkin melepaskan Ari. Dia masih punya keyakinan suatu saat nanti Ari bakal menunjukkan perasaannya.

"AH!"

Ari yang baru saja menerima mangkuk baksonya menoleh hanya untuk mendapati Stevani memegangi lengannya yang basah. Terkena kuah soto milik satu dari gerombolan anak laki-laki yang lewat sambil bergurau. Erik. Anak IPS yang sering nongkrong di kelasnya.

"He," Tanpa melepaskan pandangannya dari Erik, Ari merogoh saku celananya, memberikan sapu tangannya kepada Stevani. "Makanan lo masih panas," katanya setelah Erik berhenti tepat di depannya.

.... Walau begitu, Ari tetap melindunginya. Stevani sadar Ari tengah mencoba mengintimidasi Erik lewat tatapannya. Berusaha membuat laki-laki itu menyadari kesalahannya.

"Emang. Terus kenapa? Mau lo tiupin biar dingin?"

Teman-teman Erik tertawa. Setengah mengejek. Tapi Ari menarik salah satu sudut bibirnya. Samar.

Sebuah kesalahan karena 'menggoda' Ari.

Prang!

"Bangs—" Erik mendelik, hampir mengumpat dengan tangan dikibas-kibaskan.

Ari berhasil menuang isi mangkuknya sendiri ke dalam soto Erik, membuat dua kuah panas itu meluap mengenai tangan Erik yang langsung saja melepaskan pegangannya pada mangkuk. Mengagetkan seisi kantin dengan suara pecahan menyedihkan dan pekikan tertahannya.

"Jaga sikap lo." Ari hanya berkata begitu sebelum menarik Stevani keluar dari kantin. Membawa gadis itu ke wastafel di depan kelas X-IPS 6 untuk mendinginkan tangannya yang terkena air panas.

"A—aku ... aku nggak apa-apa .... " Suara Stevani mencicit di akhir kalimat saat Ari menekan bagian kemerahan di lengannya yang masih dialiri air keran. Seolah laki-laki itu ingin menunjukkan kalau Stevani bohong begitu bilang dia baik-baik saja.

"Makasih ... Kak Naufal."

___________________