Neil punya kebiasaan paling nggak penting sedunia: nangkring di atas pohon mangga SMA Satria. Kalau ditanya alasannya, jelas biar bisa lihat anak perempuan SMA Juanda pas istirahat atau pulang sekolah.
Padahal bukan itu sebenarnya.
Neil cuma suka suasananya. Adem. Tenang. Cocok dipakai buat menyulut beberapa batang rokok sampai bell pulang sekolah berbunyi; atau sedikit mengintip beberapa anak badung yang 'nyolong-nyolong' di gedung belakang.
"Awas lo. Berani naik, rokok gue mendarat di tompel lo." Laki-laki itu memperingati setelah menyelonjorkan kakinya, duduk melintangi dua ranting pohon mangga paling besar.
Tidak ada Arega.
Sebenarnya, Neil tak sedekat itu dengan Arega. Mereka cuma ... kadang nongkrong bareng. Soalnya Neil punya hutang, yang membuatnya merasa perlu bersikap baik pada Arega. Selebihnya, dia merasa tidak perlu terlalu akrab.
Di bawah pohon mangga tempat Neil, empat orang laki-laki lainnya duduk bersandar. Sama-sama menyulut rokok. Hanya saja, matanya lebih awas. Jaga-jaga kalau anak PKS (Polisi Keamanan Sekolah) patroli, lalu akhirnya memergoki mereka merokok di jam sekolah.
Gue nggak senakal itu kok.
Neil mendengkus dalam hati saat kata-kata itu sekali lagi mampir ke kepalanya. Dia menyesap rokoknya lagi.
Sudah beberapa waktu berselang, tapi dia tak bisa melupakan tatapan merendahkan yang dilayangkan oleh teman mantannya waktu itu. Dia melihat Neil seolah Neil adalah makhluk astral paling menjijikkan yang pernah dia lihat mendarat di bumi. Padahal Neil nggak 'semacam-macam' itu. Dia paling parah kena damprat guru BK karena ketahuan merokok di atas sini, atau kepergok anak PKS sedang mencoba naik ke gerbang belakang alias bolos sekolah. Tapi sekali pun belum pernah Neil mencium anak gadis orang atau bahkan menidurinya. Sumpah demi apa pun, Neil belum berani melakukannya.
Tapi temen Bianca kayaknya ngira gue sebajingan itu.
Makanya Neil memutuskan Bianca? Yang benar saja! Neil tak sedangkal itu. Dia juga tak setakut itu pada teman Bianca. Neil ... punya alasan.
"Bos, itu bukannya mantan cewek lo ya?"
"Bukannya dia kelihatan kayak mau bunuh diri?"
"Depresi?"
"Gimana kalau dia beneran lompat, Bos?!"
Neil melirik ke bawah, mencoba merunut arah pandang teman-temannya. Lalu tatapannya berhenti pada Bianca yang terlihat mencoba naik ke atas tembok pembatas loteng di gedung sebelah. Sejenak, Neil hanya menatapnya. Tak bereaksi lebih. Dan tidak memperlihatkan kalau dia punya sedikit niatan untuk mencegah gadis itu melakukan hal buruk di atas sana.
"Bos! Tolongin nggak?"
Dengan jengkel Neil melirik ke bawah. Melempar mangga kecil yang baru dia petik hingga mengenai kepala temannya. "Yang namanya nolongin tuh ya tunggu orangnya butuh pertolongan. Dia belum sekarat, buat apa juga ditolongin?"
Kadang Neil secuek itu. Dan dia memang bermaksud demikian. Bukannya bilang tak peduli padahal dalam hatinya ketar-ketir.
Dan dia agak banyak yakin kalau Bianca tidak akan berani lompat dari sana.
Laki-laki yang barusan kena lemparan Neil meringis, mengusap kepalanya sambil melirik cemas ke arah Bianca di atas sana. Kalau saja lupa dia masih jadi anteknya Neil, sudah barang pasti dia lompat ke tembok pembatas dan meneriaki Bianca untuk menyadarkan gadis itu. Cuma ... dia takut dipecat.
Untuk orang luar, Neil tak lebih dari seorang berandalan yang hidup susah di kosan sempit dekat saluran air yang baunya minta ampun. Makan-mandi-tidur dalam satu ruangan yang ventilasinya terlampau kecil sampai pengap tak terhingga. Tak ada kulkas—boro-boro kulkas, listrik tak mati di malam Senin pun sudah sukur, setidaknya Neil baris upacara dengan kemeja yang agak rapi.
Cuma, orang-orang tak tahu kalau Neil sebenarnya anak orang tajir melintir yang bisa gonta-ganti mobil sport tiap minggu. Bisa saja sarapan di Jakarta, ambil snack break di Jepang, lunch di Amerika, lalu dinner sambil menghamburkan ribuan dolar di Paris sampai tengah malam. Atau ... minta diantar-jemput pakai helikopter ke sekolah—walau benar-benar berlebihan. Tapi sungguhan, Neil memilih terlihat seperti orang yang belum tentu bisa makan sehari tiga kali.
Biar apa?
Kalau ditanya begitu pun Neil juga tak tahu jawabannya. Dia hanya ingin begitu. Punya rumah sebesar mansion mafia dan apartemen semewah milik artis papan atas rasanya bukan apa-apa.
.... Karena itu bukan miliknya?
"Mau bolos nggak? Turun sini. Gue jajanin di mekdi!" Neil setengah berteriak saat tak sengaja Bianca membalas tatapannya dari atas sana. Lengkungan di bibir laki-laki itu berubah jadi senyum kecut begitu Bianca terlihat buru-buru mundur, menjauh, dengan ekspresi tak mengenakkan yang jelas membuatnya tersinggung.
"Samperin aja lah, Bos."
"Ambil karung sama tali di gudang."
"Buat apa, Bos?"
"Buat nyulik anak itu."
Tapi Neil tak beranjak. Hanya sekadar bicara karena punggungnya mulai bersandar pada batang utama di belakangnya. Menatap loteng SMA sebelah yang sudah tak berpenghuni sambil menyesap rokoknya. Padahal Neil masih pengen melihat Bianca. Soalnya selama beberapa lama ini dia tidak pernah melihat wajah gadis itu.
Kangen?
Kalau ditanya begitu, Neil juga bingung harus jawab apa. Dia bukannya merasa kangen yang sampai membuatnya punya dorongan untuk lari ke Bianca tanpa pertimbangan. Mungkin hanya kangen ala kadarnya. Semacam ... rasa kangen ketemu dengan teman SD yang dulunya sama sekali nggak akrab. Mungkin semacam itu.
Neil ingat. Di pagi hari setelah dia putuskan, Bianca datang ke sekolah dengan mata bengkak seperti habis kena sengat tawon. Neil tebak gadis itu menangis seharian penuh. Padahal yang dilakukan Neil hanya senang-senang. Dan daripada merasa bersalah, Neil malah merasa geli. Tak menyangka ada gadis yang rela menangisinya sampai seperti itu. Seolah mereka bakal serius. Seolah hubungan mereka bukan main-main.
Naif.
Untuk Neil sekarang saat-saat 'bercanda'. Bersenang-senang sambil bermain kata.
"Bawain tas gue." Neil bilang begitu sebelum naik ke atas tembok pembatas melalui batang yang dia duduki. Sedikit melompat sampai akhirnya berhasil berdiri di atas tembok pembatas sekolah.
Lalu, saat Neil baru saja berjongkok sambil mempersiapkan diri untuk melompat keluar, sebuah suara menahannya.
"Mau minggat ke mana lo?"
Laki-laki itu menoleh ke belakang, mendapati seorang wanita yang sangat dia kenal ada di sana.
"Ah, ketahuan."
Bukannya merasa bersalah, Neil malah tercengir melihat wanita dengan aksesoris super glamor yang melekat di tubuhnya itu sudah berkacak pinggang di bawah sana. Menatap tajam dari balik kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
"Turun atau perlu gue sambit kerikil?"
"Silahkan sambit kalau kena."
"Neil bajingan!"
"Anjir! Sama anak sendiri ngatain bajingan." Neil tergelak. Tangannya melambai pelan sebelum benar-benar melompat keluar dari area sekolah. "Ketemu di rumah entar malem yak."
"Woy! Anak sialan! Balik lo!"
Sampai di luar pun Neil masih tergelak puas mendengar teriakan wanita itu.
Itu ... mama tirinya.
_____________