"Kamu nggak nyaman, ya?" tanya Alif yang melihat Airin berjalan sambil menunduk dan semakin erat mencengkeram lengannya.
"Iya. Mereka semua melihat ke arah kita." bisik Airin.
"Nggak apa-apa. Santai aja, Rin. Itu karena kamu cantik." Alif memegang tangan Airin yang mencengkeram lengannya.
"Ok." Airin menarik napas pdalam dan mulai menenagkan diri.
Mereka sampai di barisan terdepan.
"Weeeh…. Alif, My bro! Lama kita nggak ketemu, ya? Apa kabar sekarang?" sapa teman yang memanggil Alif tadi. Alif menyalaminya dan beberapa teman lain. Airin memberikan senyuman kepada semuanya.
"Siapa?" tanya teman Alif.
"Istri?" tanya teman lainnya.
"Lo nikah nggak kabar-kabar?" tanya seorang lainnya.
"Hahaha… Bukan." jawab Alif. "Do'akan saja." bisiknya pada salah seorang dari mereka. Mereka kemudian tertawa.
"Kenalin, ini Airin."
"Airin… Airin… Airin…." kata Airin sambil menyalami mereka semua.
"Eh, duduk… duduk…!"
"Pinter juga lo nyari cewek." bisik teman Alif yang duduk di sebelahnya. Alif tersenyum.
Airin duduk dengan sedikit gelisah di samping Alif. Dia merasa ada yang memperhatikannya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Seketika mata Airin membelalak, dia terkejut melihat seseorang tengah menatapnya dari sudut kanan barisan. Airin langsung memegang tangan Alif. Alif yang terkejut langsung melihat ke arah Airin. Dia melihat Airin terpaku melihat ke sudut kanan. Dia mengikuti arah pandangan Airin.
"Bian…." kata Alif lirih. " Rin, jangan dilihat lagi!" Alif memegang tangan Airin.
Airin memutar badannya dan melihat Alif. Matanya berkaca-kaca. "Mas Bian, Lif. Kok di sini?"
Alif menjadi tidak tega melihatnya. "Ndak tahu,Rin. Mau keluar aja? Yuk!"
"Nggak, Lif." Airin memilih untuk bertahan, tidak enak jika meninggalkan acara dengan tiba-tiba. Dia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Bian. Dia berusaha menikmati acara dan mengabaikan kehadiran Bian. Beruntung semua teman-teman Alif bisa membuatnya nyaman berada di tengah mereka.
Acara sudah selesai, Alif dan Airin berpamitan kepada pasangan pengantin. Mereka juga berpamitan pada teman-teman Alif yang masih asik berfoto mengabadikan momen.
"Buru-buru aja, Bro…. Kita foto dulu lah barang sekali. Airin, sini ikut foto!"
"Iya, boleh."
Cekrek… cekrek… cekrek…. Beberapa foto telah diambil. Alif dan Airin menyalami semuanya kemudian berjalan keluar venue.
" Rin, kita ambil foto bareng dulu sekali ya? Di situ bagus…." kata Alif.
Airin mengengguk setuju.
"Permisi, Mas. Boleh minta tolong fotoin kami?" Alif meminta tolong pada petugas penjaga keamanan.
"Boleh, Mas."
Cekrek… cekrek… cekrek… beberapa foto mereka sudah diambil. Airin dan Alif melihat foto-foto itu.
"Bagus." kata Airin.
"Coba, Rin. Aku fotoin kamu di situ…."
"Malu…."
"Buruan, Rin…."
Airin kemudian berdiri dan tersenyum dengan sangat anggun. Alif memotretnya sambil tersenyum. Alif menunjukkan hasil jepretannya pada Airin. Mereka berdua tertawa bahagia melihat hasil foto mereka.
Bian yang sedari tadi melihat mereka dari kejauhan mulai merasa iri dengan kebersamaan mereka. Dia mulai tidak suka melihat Airinbahagia dengan laki-laki lain, bahkan dengan Alif yang Bian tahu dia adalah sahabat Airin sejak kuliah. Bian menghampiri mereka dengan langkah cepat. Dia langsung memegang tangan Airin dan menyeretnya pergi.
"Aw…! Mas Bian! Mas Bian, tanganku sakit! Lepas!" Airin berusaha melepaskan tangannya namun Bian makin erat memegang tangannya.
Alif menyusul Airin. Dia langsung memotong langkah Bian dengan berdiri tegap dihadapannya. Alif dan Bian memiliki postur tubuh yang hampir sama. Airin masih sibuk berusaha melepaskan tangannya dari Bian.
"Lepaskan dulu Airin, Mas…." pinta Alif sopan. "Mas, kenapa jadi seperti ini? Kasihan Airin, Mas. Lepaskan dulu."
Bian melepaskan tangan Airin. Airin memegang pergelangannya yang sakit dan berlari ke belakang Alif.
"Jangan ikut campur urusanku sama Airin, Lif." Bian berusaha menarik tangan Airin lagi. Alif langsung melindungi Airin.
"Mas Bian kenapa ada di sini?" tanya Airin.
"Menemani Klara, dia saudara mempelai wanita. Rin, ayo ikut Mas!"
"Mas! Urusan Mas dan Airin itu sudah selesai. Kamu sudah bukan suami dia lagi. Kamu sendiri yang sudah melepaskan Airin. Kamu mau apa lagi? Kamu sudah melupakan kesepakatan kita, bukan?"
"Jangan ikut campur, Lif!" nada bicara Bian semakin meninggi.
"Kamu masih cinta sama Airin? Kamu sudah mulai menyesali keputusan kamu melepaskan dia? Atau kamu sudah mulai menyadari tidak ada yang lebih mengerti kamu daripada Airin? Apa, Mas?" Alif mulai mendesak Bian.
Bian tidak bisa menjawab apa yang dikatakan Alif. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Bian. Dengan kesal dia meninggalkan Alif dan Airin di sana.
"Rin, kamu nggak apa-apa?" tanya Alif sambil melihat pergelangan tangan Airin. Pergelangan tangan kiri Airin merah.
"Nggak apa-apa. Makasih ya, Lif. Pulang, yuk?"
"Iya."
Mereka berjalan melewati Bian yang sedang kesal menendangi roda mobilnya. Dengan sengaja Alif merangkul Airin agar Bian yang melihat mereka semakin kesal. Alif ingin membuat Bian semakin menyesal melepaskan Airin. Dia ingin membalaskan sakit hati Airin akibat ulah Bian. Bian harus tahu betapa berharganya Airin yang telah dia campakkan. Bian terus melihat ke arah mereka. Alif membukakan pintu untuk Airin. Dengan sengaja Alif memacu mobilnya dengan sangat pelan saat melewati Bian. Dia ingin Bian melihat kebersamaannya bersama Airin. Dari kaca spion Bian terlihat semakin kesal dan semakin brutal menendangi roda mobilnya sendiri. Alif tersenyum puas.
Airin mulai menangis. Setelah menangis Airin mungkin akan merasa lebih baik maka Alif membiarkan Airin menangis, dia hanya memberikan tissue pada Airin. Alif fokus menyetir, sesekali melirik Airin. Mereka terjebak macet arus balik. Airin tertidur dalam mobil, mungkin dia kelelahan. Alif melepaskan jasnya untuk menyelimuti Airin.
Alif masih terngiang dengan peristiwa tadi sore. Dia masih tidak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Sakit hati rasanya dia melihat Airin tersakiti dan menangis seperti itu. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Bian. Bian bukan lagi orang yang Alif kenal. Alif mengeluarkan Handphone dari kantong. Dia mengetik pesan kepada Bian.
Mas Bian. Aku tunggu di Café Kemang besok jam 12.
Magelangan Bu Sri
Mereka terjebak macet hingga malam. Alif memutuskan untuk menepikan mobilnya di sebuah restoran khusus nasi goreng untuk membeli makan malam. Dia memandangi Airin menunggu sampai dia terbangun. Tidak lama, Airin terbangun. Alif segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak ingin Airin tahu dia terus memandanginya.
Airin melihat keluar kaca mobil, "Kok berhenti di sini, Lif?"
"Hmmm… Udah bangun? Beli makan dulu, yuk? Aku laper. Aku lihat ada nasi goreng di depan."
"Magelangan Bu Sri?"
"Iya."
"Look good,look tasty."
"Yuk…!"
"Let's go! Eh, ini jasnya."
"Pakai aja dulu."
Alif senang melihat Airin bersemangat, mungkin dia sudah lebih baik sekarang. Apalagi mau makan nasi goreng magelangan, salah satu makanan favoritnya. Alif turun dari mobil lebih dulu untuk membukakan pintu. Airin segera merapikan rambut dan riasannya sebelum turun dari mobil. Dia tersenyum saat menyelimuti tubuhnya dengan jas dari Alif.
Pesanan mereka sudah sampai di meja. Mata Airin membelalak, sepertinya nasi goreng itu membangkitkan nafsu makannya. Nasi goreng magelangan ini mengingatkannya pada nasi goreng magelangan yang dia beli sewaktu masih di Yogyakarta. Nama restorannya juga sama.
"Terima kasih, Mbak. Teh angetnya 2 ya, Mbak?" kata Alif pada pelayan.
"Baik, Pak."
"Mbak, resto ini punya cabang di Yogyakarta?" tanya Airin pada pelayan.
"Iya, Mbak. Yang di sana pusatnya. Mbak pernah coba yang di sana ya?"
Airin tersenyum, "Lif, aku makan ya?"
"Iya, hati-hati masih panas."
"Iya." Airin meniup nasi goreng di sendoknya. "Enak banget, Lif. Besok lagi kalau ke Bandung harus mampir ke sini lagi."
Alif lega melihat Airin puas dengan restoran pilihannya. Awalnya dia ragu Airin akan suka karena dia hanya asal memilih restoran. Karena restoran ini ramai, maka dia memutuskan untuk menepikan mobilnya di sana. "Seenak itu, ya?"
Airin hanya mengangguk. Airin benar-benar menikmati nasi goreng itu. Suapannya tidak ada jeda. Lahap sekali. Melihat Airin bahagia menikmati nasi goreng Alif tidak berani menanyakan perasaannya tentang kejadian tadi sore. Dia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan sahabatnya itu.