Ali melihat sikap Davina yang terlihat aneh. Davina yang biasanya tenang kali ini terlihat ketakutan.
"Kamu kenapa?' tanya Ali.
Davina hanya menggelengkan kepalanya. Tapi pandangannya masih menuju ke dalam ruangan rak buku. Ali berniat untuk melihat apa yang membuat Davina begitu ketakutan. Ia lantas melangkah masuk ke dalam. Namun Davina menahannya.
"Jangan," ujar Davina.
"Ih, kenapa, sih? Ada hantu?" tanya Ali.
"Temenin aku di sini dulu," ujar Davina seraya menggenggam seragam Ali.
Entah kenapa, suara Davina tak seperti biasanya. Gadis itu tak meninggikan nada bicaranya. Bahkan ia melihat kedua tangan gadis itu gemetaran.
Ali menatap ke arah Davina. Lalu menggiring gadis itu ke sudut ruangan agar teman temannya tak melihatnya.
"Kamu kenapa? Ada yang gangguin kamu?" tanya Ali.
Davina menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Ali kebingungan menghadapi Davina.
Pria itu menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kamu engga lagi nyari kesempatan dalam kesempitan, kan?" tanya Ali.
Davina menatap ke arah Ali dengan tatapan tak suka. Lalu pergi meninggalkan Ali begitu saja.
"Lho, lho. Mau ke mana?" panggil Ali.
Saat Davina hendak melintas, pria yang tadi bersembunyi di dalam ruang rak buku keluar dan membuat Davina mematung.
Ali melihat Davina yang diam saja pria itu melintas bahkan sambil tersenyum ke arah Davina.
Tak seperti padanya yang selalu melawan. Pada pria itu, Davina hanya diam saja.
"Kamu ... " Ali mencoba menafsirkan sendiri kenapa Davina seperti itu.
"Kamu dipalak sama dia?" tanya Ali seraya menghampiri Davina.
Namun bukannya menjawab Davina malah pingsan tepat di depan Ali.
"Lho, lho. Mbak, ini gimana? Woi bantuin!" teriak Ali.
***
Davina tersadar dan dia berada di dalam ruang UKS bersama dengan Ali yang menunggunya.
"Kamu, kog, di sini?" tanya Davina.
"Kamu, kog, di sini? Kamu itu, kenapa tiba - tiba pingsan?" seru Ali.
Davina mencoba bangkit dari posisinya. Namun karena kepalanya tiba - tiba pusing, Ia tak bisa mengangkat tubuhnya.
"Kenapa? Masih sakit?" tanya Ali.
"Iya," sahut Davina.
Ali mencoba memijit pelipis Davina. Gadis itu tersentak saat tangan Ali menyentuhnya.
"Sorry, bukannya mau kurang ajar. Aku Cuma mau ngurangin pusing di kepala kamu," ujar Ali.
Davina hanya diam saja. Baru kali ini ada seseorang yang perhatian padanya.
"Kamu sakit? Kenapa tadi di perpus? Tadi pas ketemu Pak Herman kenapa Ketakutan banget, sih?" tanya Ali.
"Pak Herman?" gumam Davina.
"Iya, Pak Herman itu katanya guru BP baru di sekolah," ujar Ali.
"Guru?" gumam Davina dengan tatapan penuh tanda tanya.
***
Ali mengantar Davina pulang ke rumahnya karena sudah sore sekali. Ia tak tega meskipun Davina bersikeras ingin pulang sendiri.
"Mana rumahmu?" tanya Ali yang ada di atas motor. Sementara Davina membonceng di belakang.
"Sampai gang aja. Mas," ujar Davina.
"Eh, kita engga enak, deh manggilnya. Kita kan seumuran. Masa manggilnya Mbak, Mas. Aku Ali. Kamu siapa?" tanya Ali.
"Davina," sahut Davina.
"Nah gitu, dong. Kalau diajak ngobrol nyahut yang bener," ujar Ali.
Davina tersenyum dari belakang boncengan. Ternyata begini rasanya diperhatikan.
"Lewat mana?" tanya Ali.
"Apanya uang lewat mana?" tanya Davina.
"Rumah kamu. Ini kita dari tadi Cuma ada di depan gang aja," ujar Ali.
"Udah aku turun di sini aja," ujar Davina sambil berusahalah turun. Namun tiba tiba Ali melajukan motornya.
"Ali!" pekik Davina.
Ali malah tersenyum mendengar pekikan Davina.
"Kalau aku jatuh gimana? Kamu mau ganti rugi?" ujar Davina kesal.
"Ya, habis kamu. Begitu banget. Orang mau nganterin ke rumah juga," gerutu Ali.
"Jangan," ucap Davina.
"Kenapa? Bapakmu galak? Engga, deh. Aku engga akan masuk. Cuma sampai rumah," ujar Ali.
Davina hanya diam saja. Hal itu membuat Lai begitu kesal.
"Vin," panggil Ali.
Entah kenapa panggilan itu terdengar begitu akrab. Baru saja beberapa waktu lalu mereka sering bertengkar. Namun, seketika terasa begitu dekat.
"Lewat sana," ujar Davina sambil menunjuk ke arah sebuah gang.
Ali tersenyum dan menjalankan motornya ke arah yang ditunjukkan oleh Davina.
Tak sampai sepuluh menit mereka sampai di depan rumah Davina yang sangat sederhana.
"Ini rumahku," ujar Davina.
"Eumh, ini. Ya, udah aku pamit. Kalau masih ngga sehat ngga usah berangkat sekolah," ucap Ali.
Davina hanya tersenyum mendengar ucapan Ali.
"Dah," ujar Ali sambil melajukan motornya dan pergi begitu saja meninggalkan Davina.
Devina masih saja menatap kepergian Ali. Ada rasa yang tumbuh yang tak dikenali oleh Davina.
Ia lantas berbalik untuk masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti saat melihat sang ayah berdiri di depan rumah.
"Jam berapa ini? Kenapa baru pulang? Siapa laki - laki tadi?" tanya sang ayah.
"Temen," sahut Davina.
"Temen, temen. Awas, ya, kalau kami aneh aneh. Sekolah yang bener. Engga usah aneh aneh. Masih untung disekolahkan. Perempuan sekolah juga engga da gunanya kalau ujung ujungnya jadi istri," sahut sang ayah.
Davina tak mau menjawab ucapan sang ayah. Jika hal itu ia lakukan, yang terjadi pasti tubuhnya babak belur tak karuan.
Ia segera masuk ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena ibunya pasti lelah baru pulang kerja.
Namun saat ia masuk, ia melihat keadaan rumah begitu kacau. Barang barang hancur. Piring, gelas sudah pecah di sana sini. Ia melihat sang ibu di sudut ruangan bersimbah darah di kepalanya.
"Ibu!" pekik Davina.
Ibunya terlihat lemas tak berdaya. Davina mencari di mana kedua kakaknya. Namun ia tak menemukan siapapun.
"Ibu kenapa? Kenapa bapak tega sekali, Bu! Hiks, hiks!" Davina tak tega melihat sang ibu begitu mengenaskan.
Ia mencoba membantu sang ibu untuk bangun tapi tak bisa. Tubuh ibunya begitu rapuh. Sepertinya tubuhnya juga dihajar habis habisan.
"Ini udah keterlaluan! Aku akan laporin bapak ke polisi!" ujar Davina dalam tangisnya.
"Jangan, Vin. Dia bapakmu," ujar Wati sang ibu.
"Bapak macam apa yang menyiksa keluarga!" pekik Davina.
"Apa kamu bilang? Anak kurang ajar! Dibesarin malah ngelawan sama orang tua!"
BUG!
Sebuah pukulan kerasnya mengenai wajah Davina. Sang ibu yang sudah tak berdaya hanya bisa merengek agar sang suami tak menganiaya anaknya juga.
"Mas, jangan, Mas. Itu anak kita! Jangan!" pekik Wati dengan suara lirih.
Dirman tetap tak mau mengalah dan terus menghajar sang anak. Dari hidung Davina sampai keluar darah segar karena pukulannya yang terlalu keras.
Saat itu tak sengaja tetangga mereka melihat dan segera melapor kepada Pak RT. Dalam waktu sekejap, Pak RT datang dengan beberapa warga.
"Pak Dirman! Sudah, sudah! Mau diapain anaknya! Kasihan sudah babak belur begitu!" Pak RT berusaha menahan Dirman dan beberapa warga menolong Davina yang sudah tak sadarkan diri.
Bersambung ...