Langkah Davina seketika terhenti saat mendengar ucapan Ali. Kalimat yang tak pernah terbersit dalam hidup akan ia dengar dari seseorang.
"Aku suka sama kamu!" ucap Ali.
"Omong kosong!" ucap Davina.
Gadis itu lantas melanjutkan kembali langkahnya. Ia merasa ucapan Aku hanyalah omong kosong untuk membujuknya saja.
Namun tiba tiba Ali menarik tangannya dan mengecup singkat bibir Davina.
PLAK!
"Apaan, sih, kamu!" pekik Davina.
"Aku suka sama kamu," ujar Ali sambil memegang tangannya.
Davina tak bisa berkata kata sama sekali. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tak mengenal Ali. Siapa pria ini, tiba tiba jatuh hati padanya. Apa alasannya?
"Maaf, aku ngga," sahut Davina sambil menghempas tangan Ali.
"Aku engga akan nyerah! Aku suka sama kamu! Baru pertama kali aku suka sama cewek! Aku akan terus bilang ke kamu!" ucap Ali lantang.
Davina berbalik dan menghampiri Ali dengan tatapan emosional.
"Kamu, ngga pantas sama aku. Cari orang lain. Aku ngga ditakdirkan untuk jatuh cinta. Pergi dari hidupku," ujar Davina.
"Apa yang bikin itu pantas atau engga pantas? Kita masih SMA, wajar kalau saling suka," ujar Ali.
Seketika air mata Davina menetes. Air maat yang tak hanya dia dan Sang Khalik yang selalu melihatnya.
"Vin?" Ali tak mengerti mengapa gadis ini tiba - tiba menangis akan perkataannya.
"Please, jauhin aku. Aku ngga bisa jadi apapun yang kamu mau," ujar Davina.
"Kenapa? Kita bahkan belum nyoba. Okey, kalau kamu engga bisa balas perasaanku. Tapi engga, jangan jauhin aku," ujar Ali.
"Kenapa? Kenapa kamu harus suka sama gadis kayak aku? Banyak yang lebih baik dariku," ujar Davina.
"Karena kamu berbeda, kamu berbeda, Vina," ujar Ali.
Davina tak bisa lagi berkata kata. Ia hanya bisa menangis sesenggukan di hadapan Ali. Baru pertama kali ia menangis di depan orang lain.
Bahkan di depan ibunya saja ia tak pernah lakukan. Perlahan Ali mendekati Davina, lalu berusaha memeluk gadis itu.
"Jangan pegang," rengek Davina.
"Aku pegang tanganmu aja, ya?" ujar Ali.
Davina tak menjawab, itu berarti Ali boleh melakukannya. Pria itu menggenggam tangan Davina dengan erat sambil tetap menatap ke arah Davina.
***
"Udah nangisnya?" tanya Ali saat mereka duduk di bawah pohon kelapa.
Hari sudah semakin sore. Tak ada tanda mereka akan pulang.
"Kamu engga pulang, Ali?" tanya Davina.
"Kamu mau pulang, ngga? Kalau kamu mau pulang, aku pulang," sahut Ali.
"Kalau bisa aku engga pengen pulang," ujar Davina.
"Ya, udah engga usah pulang. Gampang, kan?" ujar Ali.
"Tapi gimana kalau keluargamu nyari?" tanya Davina.
"Engga, atau kamu mau pulang ke rumahku?" tanya Ali.
"Hem?" Davina menoleh ke arah Ali.
"Ke rumahku, yuk," ujar Ali.
Davina mengerutkan keningnya. Pria ini, kenapa dia begitu tertarik dan terbuka pada Davina. Ia bahkan tak terlalu tertarik mengenal pria ini.
"Ayo!" ujar Ali sambil berdiri.
"Tapi ... "
"Engga ada tapi. Ayolah, aku laper," ucap Ali.
Ali mengulurkan tangannya ke arah Davina. Gadis itu masih tampak ragu mengikuti apa yang Ali inginkan. Namun pria itu tak bergeming dan tetap menyodorkan tangannya.
"Mau kucium lagi?" ancam Ali.
Mata Davina berkedip beberapa kali, pertanda ia tak menginginkan hal itu terjadi. Akhirnya dia menyambut tangan Ali.
Ali tersenyum sumringah saat gadis itu mau menyentuh tangannya.
***
Ali menghentikan motornya di sebuah rumah sederhana namun jauh lebih baik dibandingkan rumah Davina.
"Ayo, turun," ujar Ali.
Davina tampak ragu saat akan masuk ke rumah Ali. Seorang gadis kecil tiba tiba menghampiri Ali sambil menangis.
"Mas Ali, hiks, hiks," rengek gadis itu.
Ali segera menggendong gadis itu lalu mengusap kepalanya.
"Haya kenapa?" tanya Ali.
"Haya jatuh di got," ucap gadis kecil bernama Haya itu.
Davina melihat Kau begitu perhatian kepada anak itu. Namun ia tak terlalu berempat padanya.
"Hem, mana yang sakit? Coba Mas Ali lihat?" ujar Ali.
"Ini." Hanya menunjukkan tangannya yang tergores.
"Aduh, adikku. Tangannya berdarah. Sini, diobati dulu, yuk," ujar Ali sambil membawa Haya masuk.
Davina hanya diam saja saat Ali masuk ke dalam rumahnya.
"Vina! Ayo!" panggil Ali.
"Ah, iya," sahut Davina.
Gadis itu berjalan perlahan masuk ke rumah Ali. Di dalam rumah itu sangat rapi dan bersih. Dinding rumahnya berwarna putih, dengan lantai yang sudah dipasang keramik. Berbeda dengan rumahnya yang hanya beralaskan plesteran semen dan temboknya pun sebagian masih berupa kayu.
"Haya duduk sini sama Mbak Davina, ya. Mas Ali mau masuk ambil obat dulu," ucap Ali.
"Ali," panggil Davina pada Ali yang sudah beranjak.
"Sebentar, aku sebentar doang," ucap Ali.
Meski begitu, Davina tak tenang. Ia tak pernah berkunjung ke rumah siapapun. Jangankan ke rumah teman. Ke rumah saudara pun tidak.
Jika ia berkunjung ke rumah saudara, pasti akan dikira meminta bantuan atau ingin membuat rusuh di sana.
Beberapa menit Davina dan Haya duduk bersebelahan. Davina tak berkata apa apa pada gadis lima tahun itu.
"Mbak, Mbak siapa?" tanya Haya.
"Heum?" Davina terkejut saat tiba tiba Haya mengajaknya bicara.
"Mbak ini siapa? Kog naik motornya Mas Ali?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya.
"Temen sekolah," sahut Davina.
"Bohong, itu. Davina, engga sekolah, kog. Bukan temen sekolah. Tapi calon pacar Mas Ali," sahut Ali.
Sontak saja Davina menghampiri Ali lalu membungkam mulutnya dengan tangan.
"Ngomong apaan, sih? Siapa yang mau pacaran," ujar Davina.
"Berarti mau langsung nikah?" seorang wanita paruh tiba menyela perbincangan mereka.
Davina buru buru melepas tangannya dari mulut Ali.
"Ini yang kamu ceritain cewek jutek itu?" tanya wanita itu.
"Yes, Ibu," sahut Ali.
"I – Ibu?" ujar Davina gugup.
"Santai aja, Ibu bukan mertua yang galak. Kamu udah makan? Makan dulu, yuk," ujar Ibu bernama Alma itu.
"Ah, maaf saya ... "
"Bu, tangan Gaya sakit!" tiba tiba Haya merengek kepada sang ibu sambil menunjukkan tangannya.
Davina tak bisa melanjutkan kata katanya. Ali tersenyum melihat Davina yang terlihat begitu kaku bertemu ibunya.
"Ayo makan. Aku kan, bilang aku laper tadi," ucap Ali.
"Tapi, aku ngga ... "
"Kalau ada yang nawarin makan, engga boleh nolak. Sama aja nolak rejeki," ucap Alma.
"Tuh, denger," sahut Ali.
Davina melirik sinis ke arah Ali. Namun kakinya akhirnya melangkah mengikuti ke mana Ali beranjak.
"Duduk," ujar Ali mempersilahkan Davina duduk di kursi di depan meja makan.
"Makasih," ujar Davina sambil duduk.
"Apa?" tanya Ali.
"Makasih," sahut Davina lagi
"Ih, engga denger," sahut Ali.
"Makasih!" sahut Davina lantang.
Ali pun tersenyum mendengar ucapan Davina.
Bersambung ...