"Jutek banget jadi perempuan," Ali.
Davina tak menggubris ucapan Ali dan terus saja fokus pada bukunya. Ali semakin saja terheran dengan sikap Davina.
"Ini, udah jangan berkelahi," ujar bapak penjaga perpustakaan sambil menyerahkan kartu perpustakaan kepada Davina.
Gadis itu segera mengambil kartu itu dan buku itu. Davina pun segera mencari tempat untuk bisa membaca buku tersebut.
Ali menatap begitu takjub ke arah Davina yang terlihat begitu cuek dan tak peduli sama sekali.
"Siapa, sih, Pak? Jutek banget," Ali.
"Lah, kan kalian satu angkatan? Dia kelas satu juga kog. Jurusannya listrik. Namanya Davina," sahut bapak penjaga perpustakaan.
"Listrik?" gumam Ali.
"Kamu mau minjem buku apa?" tanya si penjaga.
"He, he, enggak. Saya mau nyari tempat buat bikin tugas. Saya belum bikin," ujar Ali.
"Nyontek aja sama temen yang pinter" sahut penjaga.
"Ah, engga, ah. Biar engga paham, mau coba bikin sendiri," ujar Ali.
"Ya udah, tapi jangan ribut," ujar si penjaga.
"Beres, Pak," ujar Ali.
Pemuda itu membawa buku ke salah satu meja di ruang perpustakaan itu. Ia hendak membuat tugas di sana.
Tak sengaja ia melihat Davina begitu serius membaca buku. Namun salah satu tangannya memegangi perutnya.
"Sakit perut?" gumam Ali.
Di dalam satu ruangan yang sama, namun melakukan kegiatan masing - masing.
Davina dengan bukunya. Dan Ali dengan tugas pelajarannya. Tak ada sapa, tak juga mengenal satu sama lain.
Setelah lebih dari lima belas menit, bel masuk berbunyi. Davina berdiri dari bangkunya dan segera beranjak pergi.
"Pak, makasih, ya, Pak,"ujar Davina kepada penjaga perpustakaan.
"Oh, iya," sahut penjaga.
Ali melongo saat Davina melintas begitu saja di depannya seolah tak ada orang.
"Sombong banget," gumam Ali.
Davina berlari menuju ke arah kelasnya dengan terburu buru sampai ia tak sadar menjatuhkan kartu perpustakaannya.
"Woi, Mbak! Mbak!" panggil Ali.
Namun Davina sudah berlalu dan tak terlihat.
"Lah, gimana?" gumam Ali.
Ia lantas mengambil kartu itu. Dilihatnya nama si pemilik Kartu.
"Davina Martha. Kelas satu Listrik dua," ujar Ali membaca identitas Davina.
***
Davina terlihat mencari cari sesuatu saat hendak pulang ke rumah.
"Ayo, Vin, pulang engga?" ujar Ratna.
"Bentar, bentar, Na. Kartu perpusku kog engga ada, ya?" ujar Davina kebingungan.
"Eh, engga ada dimana? Kamu tadi jam istirahat ke perpus, kan?" tanya Ratna sambil membantu Davina.
"Iya, tapi aku selipin di bukuku. Tapi kog, engga ada. Kalau ilang ngurus kartunya lama. Aku engga bisa pinjem buku, dong," ujar Davina sibuk mencari.
"Ya, elah sehari engga baca buku aja dunia engga akan hancur, Vin," ujar Ratna.
"Kamu balik duluan, ya, Na. Aku cari ke perpustakaan dulu," ujar Davina sambil membawa tasnya dan segera pergi.
"Vin! Vina!" panggil Ratna.
Davina berlari menuju perpustakaan. Sudah jam tiga sore, kemungkinan perpustakaan sudah tutup. Tapi beruntung, pak penjaga hendak menutup pintunya.
"Pak! Pak!" panggil Davina.
Si penjaga perpustakaan menoleh dan melihat Davina terengah - engah karena berlari.
"Eh, kamu kenapa lari lari, Nduk?" tanya petugas perpustakaan.
"Pak, kartu perpustakaan saya ketinggalan di dalam, ngga?" tanya Davina.
"Hemm, oh, tadi dibawa anak laki laki yang berantem sama kamu," ujar penjaga perpustakaan.
"Dia anak kelas mana, ya, Pak?" tanya Davina.
"Wah, engga tahu, Bapak. Kalau perempuan karena dikit anaknya pasti tahu. Kalau laki laki, kurang paham, Bapak," ujar penjaga perpustakaan.
Davina terlihat bingung harus bagaimana. Dia sangat ketergantungan membaca buku. Hal itu membuatnya bisa melupakan sejenak semua keresahan dan kekacauan dengan hidup yang ia jalani.
"Ya, udah, Pak. Makasih," ujar Davina yang cukup kecewa karena tak bisa menemukan kartu perpustakaannya.
Tahun 2006, bulan Desember. Yah, di tahun itu seorang Davina adalah seorang murid STM swasta di kota Semarang.
Gadis yang tak banyak bicara dan selalu terlihat jutek itu pulang dengan hati dongkol karena tak bisa menemukan kartu perpustakaannya.
Sampai di rumah ia melemparkan tasnya di atas kasurnya yang keras. Bukan karena kartu itu semata. Karena hanya buku yang bisa menjadi hiburanya selama ini.
Davina mengganti pakaiannya segera meski tetap dengan perasaan yang tak lega.
"Vin, bikinin Mas kopi," ujar Darwin kakak pertamanya.
Mata Davina memicing tajam saat kakaknya tanpa mengetuk pintu masuk ke kamarnya. Ia segera menurunkan kaosnya. Dan terasa nafasnya tiba tiba tak beraturan.
"Keluar!" bentak Davina.
"Heh, bikinin kopi!" hardik sang kakak.
Davina mendorong sang kakak agar keluar dari kamarnya dan ia segera menutup pintu kamar lalu menguncinya.
Davina bernafas lega. Ia seperti orang yang ketakutan saat kakaknya masuk ke dalam kamarnya.
DAK! DAK!
"Eh, kalau disuruh itu buruan! Cewek, kog males malesan," pekik sang kakak.
Setelah cukup tenang, Davina keluar meski dengan perasaan dongkol.
"Kalau jadi cewek itu harus bisa apa apa. Disuruh bikin kopi, kog, malah masuk kamar. Ngga laku, nanti kamu. Apa kata mertua kamu nanti kalau kamu engga bisa apa apa?" Darwin mengomeli Davina tentang bagaimana cara wanita harus berbuat.
"Apa apa aku, apa apa aku," keluh Davina sambil berjalan ke dapur.
"Ngomong apa!" pekik Darwin.
"Engga," sahut Davina sambil menuangkan air panas ke gelas.
"Ngomong apa?" bentak Darwin sekali lagi. Tangannya bahkan mendorong kepala Davina sampai terdorong.
"Ah!" Davina tampak marah kepada sang kakak, tapi ia tak bisa membalasnya.
"Kenapa? Makanya jangan ngelunjak! Cuma cewek aja mau sok sokan," gerutu Darwin sambil mengambil gelas yang sudah terisi kopi dan berlalu pergi.
Davina hanya bisa diam saat diperlakukan tak adil oleh sang kakak.
Ya, seperti inilah kehidupan di keluarganya. Ia dan sang ibu selalu saja dianggap sebagai pelayan yang harus setiap saat melayani kebutuhan ayah dan kakak laki lakinya.
Davina kembali lagi ke kamarnya. Saat itu, Deni kakak keduanya baru pulang bersama pacarnya, Klara.
"Beb, laper, Beb," ujar Klara sang pacar.
"Ambil di belakang coba. Ibu masak apa," sahut Deni sambil masuk ke dalam kamarnya.
Jika sudah begini, Davina selalu tak akan kebagian makanan karena tak cukup untuk makan.
"Brengsek," gumam Davina.
Menjelang Maghrib, Davina ke dapur untuk membersihkan dapur. Tumpukan piring dan kondisi dapur yang berantakan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Sang ibu harus bekerja karena
Sang ayah tak pernah memberi ibunya nafkah.
Davina segera mencuci piring dan membersihkan dapur. Rasanya ia tak ikhlas melakukan semua ini karena selalu saja gender dijadikan alasan kenapa ia harus melakukan semua ini. Dan kedua kakaknya hanya main suruh ini itu.
"Hiks, hiks, hari ini sialan banget sih semuanya," gumam Davina sambil menitikkan air mata.
Bersambung ...