Rencana menikmati matahari tenggelam gagal. Dalam keadaan panik dan cemas,Nada dan Raina terburu-buru, padahal ini masih jam 2, setelah mendengar kabar bapaknya berada di Puskesmas. Maklum saja jika harus ke Rumah Sakit harus menempuh perjalanan 4 jam.
Akses di Desa memang kurang memadai, Namun sekarang sudah di usahakan pelayanan baik bak RS walau ada di puskesmas.
Keluarga Rahman sudah berada di Puskesmas Desa. Nada merasa gugup, ia langsung di tarik Bibiknya. Mereka menjauh dari Keluarga Rahman.
"Dengar Nada, jika kau menyayangi Ayahmu kau harus menikah dengan Rahman sekarang, agar Ayahmu bisa segera di rujuk ke RS Tinombo. Ini demi kebaikan Ayahmu." Bibiknya tak memberi kesempatan Nada, Nada hanya merenung dan air matanya jatuh melintas di pipi halusnya, ia segera menghapus air mata itu.
"Terserah bibik, 'Aku merasa di jual, ya Allah, haruskah aku menikah dengan pria berkumis, Nada, jangan egois.'
"Oke, tadi calon mertuamu sudah mengurus semuanya, jadi kau harus terima. Dan bersiap-siaplah." Paksaan bibiknya membuat Nada menurutinya.
Tantenya segera pergi. Dan menemui calon mertua Nada.
"Iya Mbak yu, sudah setuju dianya."
"Langsung nikahnya di sini secara sederhana, aku sudah urus semua suratnya, dia juga harus langsung ikut pergi ke rumah saya," tegas dari calon mertua Nada.
"Iya Mbak ... sudah di atur." Bibiknya hanya memanfaatkan Nada. Raina dari kejauhan memandang sinis tidak terima dan merasa muak dengan sikap Ibunya.
Pernikahan akan di adakan di Mushola setelah solat asar awal jam 3 sore, di musola Puskesmas. Paman Nada yang satunya menjadi wali nikahnya. Nada sangat sedih.
Nada masih memakai baju yang di pakainya ke pantai. Ia bersembunyi di balik tirai, terdengar jelas suara Rahman mengucap ijab dengan Bahasa Arab, dari situ Nada mulai penasaran dengan Laki-laki yang baru saja mengucapkan janji suci. Para saksi serempak "Sah" Mereka sudah resmi dalam hubungan Suami Istri.
Nada keluar dari tirai, ia merunduk malu, Raina yang berada di sampingnya merasa sangat bahagia, tapi juga sedih karena Bapaknya tidak melihat pernikahan Kakak angkatnya. Raina yakin Rahman akan bisa membahagiakan Nada.
Nada mencium tangan Rahman. Benar saja Rahman masih sangat muda tanpa kumis. Nada hanya melirik sebentar lalu merunduk, Nada belum berani menamatkan wajah suaminya, yang keren, gagah dan tampan, setelah di bacakan doa dan Asroqol. Nada langsung di boyong ke rumah megah milik Rahman.
Sementara Ayahnya dalam keadaan koma, ia segera di rujuk kerumah sakit dengan memakai mobil dari keluarga Rahman. Nada memeluk erat Raina. Raina menangis haru.
"Mbak, Om orang baik, mbak pasti bahagia." Raina ikut mobil yang akan mengantar Ayahnya ke RS kota.
Nada hanya menyaksikan.
"Mari Nak, aku sudah menyiapkan baju untukmu, saya mertuamu Bu Sri." Sangat ramah Ibu mertuanya.
"Rahman, ajak istrimu ke rumahmu," titah bu Sri kepada Rahman yang sibuk telpon.
Rahman menoleh. Mata Nada dan Rahmatln saling memandang.
'Aku pernah lihat, di mana ya?' batin keduanya Sama.
"Baik Mak ..." Rahman berjalan, lalu menoleh. "Mari." Rahman mengajak Nada mereka berjalan, Nada berjalan di belakang Rahman, Rahman membuka kunci mobil masuk ke mobilnya yang terparkir di halaman.
'Expander, benarkah ini? dia yang menolongku kemarin. Mobilnya sama.'
Nada masih bingung dan bertanya-tanya dalam hati.
"Cepat aku sibuk." Ucapan yang sedikit keras membuat Nada tersadar, ia lalu membuka pintu belakang.
"Aku bukan supirmu!" tegas Rahman membuat Nada canggung dan menahan tangis. Nada membuka pintu depan dan masuk, ia duduk bersanding dengan Rahman. Saraf-sarafnya mulai kendor, tangannya dingin ia mulai berkeringat. Sungguh perasaan yang membuat Nada gundah, gulana, gelisah.
Mobil berjalan Rahman hanya diam. Nada pun tak bisa berkata-kata.
'Aku harus bagaimana, diammu sangat menyiksa ku, apa aku harus bertanya? bertanya apa?' batin keduanya sama lagi.
Mereka ingin saling bicara dan saling mengenal, tapi rasa canggung mengalahkan keinginan keduanya.
"Aku mudah pergi, maaf ini sangat mendadak, Ibu menyuruhku agar segera menikah, karna beliau ingin segera punya cucu." Rahman mencoba membuka pembicaraan.
Nada semakin tak karuan ketika mendengar ingin cucu.
"Tenang aku juga belum jatuh cinta, santai saja," kata Rahman mencoba menenangkan Nada. 'Aku sudah jatuh cinta Nada, aku tak tahan menahan hasratku.'
Nada hanya mengangguk, suaranya ingin bicara, tapi pasti jika ia bicara suaranya akan tersendat-sendat atau gagap karena gugup.
"Cara biar Ibu tambah suka adalah kamu harus pintar masak. Kamu bisa masak Binte? (makanan khas dari masyarakat Bugis, yang terbuat dari jagung ketan, dan di bumbui jeruk nipis, sambal, garam, micin dan ada suwiran ikan). Atau yang lainya, misal nasi kuning?" tanya Rahman memberi petunjuk agar Nada menjadi menantu kesayangan.
"Alhamdulillah bisa, sedikit-sedikit." Nada tidak berani menunjukan wajahnya di depan Rahman, ia memandang ke luar kaca.
Mereka sampai di depan rumah besar megah yang bercet Abu-abu, putih dan hijau muda sebagai kombinasi. Rahman memarkir mobilnya.
Sudah ada pegawai yang membukakan pintu mobil.
Mereka masuk, Rahman turun ia berjalan dan menggandeng erat Nada, Nada langsung memandangnya, perasaan bergejolak. Mereka berjalan bersama, Rahman menghentikan langkahnya, Nada pun mengikuti.
"Ini rumah bibik, yang sana rumah kita. Itu rumah Ibu, dan sebelah sana rumah pak de. Ayo masuk akan ku kenalkan ke semuanya." Setelah menunjuk satu-persatu rumah megah-megah di sekitarnya, mereka memasuki rumah bibiknya.
Sudah berdiri gadis berambut terurai, yang menyambut pengantin baru, Rahman melepaskan gandengannya.
"Mas Adi, pengantinnya sudah tiba," ia sedikit berteriak.
Nada bersalaman dengan istri sepupu suaminya.
"Saya istri mas Adi, Sarah." ia memeluk Nada. "Aku juga mantan pacar suamimu, dia belum bisa melupakanku, makanya sok romantis, karena kamu hanya pelariannya, dasar pria hidung belang," bisik Sarah membuat hati Aida berkecamuk. Sarah melepaskan pelukan, itu Nada hanya diam belum percaya sepenuhnya.
Mereka masuk ke dalam rumah, saling berkenalan dan saling ngobrol.
Tak lama, Nada di ajak kerumah yang akan ia tempati memadu suka, cinta, cita, duka, bersama.
Rahman dan Nada masuk, 'Bismillah... Ya Allah hadirkan rasa bahagia itu ...' Rumah yang tak besar namun sangat indah,mewah dengan desain menarik, rumah bertingkat milik Rahman ini sangat reki dan trend rumah zaman sekarang.
Setelah melihat semua isi rumah, barulah Rahman menunjukan kamar mereka, mereka masuk kamar yang begitu lebar, 7x6 meter,dengan dua lemari, tempat bercemin untuk merias dan jejeran farfum, kosmetik bermerek, juga sudah di siapkan oleh Ibunya Rahman pasti sangat mahal.
Rahman duduk di pinggir ranjang, Nada mengikuti gerak suaminya. Ia juga duduk di pinggir ranjang dan memaninkan jari-jarinya. Rahman hanya sibuk dengan ponselnya dan Nada hanya diam dan sejenak memperhatikan suaminya.
"Mas ...." Berani tak berani Nada memberanikan diri. Rahman mengangkat kepalanya melihat Nada, 3 detik ia kembali ke layar ponselnya.
"Mau di buatkan minum apa? Atau makanan apa?" tanya Nada dengan gemetar.
"Kamu istri, bukan pembantuku." tegas Rahman, ia mengambil farfum lalu memberikan keharuman di kamar itu.
Rahman melihat jam, kurang setengah jam lagi waktu solat magrib akan tiba.
Rahman mendekat dan ia melepas bajunya, lalu meleparnya entah kemana, Nada tak menyangka hal agresif itu akan tiba-tiba di lakukan Rahman, ini hanya satu jam setelah ijab, jantung Nada sudah tak bisa di kendalikan, kesana-kemari tak beraturan detakannya, ini benar-benar sangat terburu-buru,
'Dasar pria, apa memang begini? Jantung ku kemana kau pergi, aku tidak pernah tersetrum apa begini rasanya, 100 watt lebih rasanya.' Nada dalam hati.
Rahmat berdo'a pelan.
"Bismillahhi, Allahhumma janibna syaitoona, wajanibbis syaithona ma rozak tana. Jangan menolak." Tiada disangka akan secepat itu. Banyak pertanyaan di benak Nada namun dia tahu kalau dia menolak dosanya besar.
Bersambung