Bersuci, Rahman salat magrib dan Nada membuka lemari, tiada yang murahan,semuanya mahal dan halus, beberapa piama, bahkan dari barang dalam pun sudah di siapkan.
'Masa Mas Rahman, yang membelikan semua ini, tapi ukurannya pas, ya pasti ibuk lah, Nada, dasar bodoh, tapi dia tidak berkata apa pun, apa pendapatnya setelah aku memberikan kesucianku? Apa aku terlihat rendahan? Aku hanya takut dosa.' batin Nada menepuk dahinya sendiri.
Ia bingung ia mengenakan piama, lalu ke kamar mandi lagi.
Nada masih merasakan, darah itu masih keluar. Ia duduk di pinggir ranjang dan terus memperhatikan Rahman.
'Kalau sikapnya fokus dan dengan pakaian taqwa, sungguh sangat tampan. Dan soleh, jika tadi bagai orang kehausan dan butuh dahaga.' Nada terpaku terpesona.
Setelah sikap hasrat lelaki terpenuhi sisi lain dari Rahman terlihat. Setelah salat magrib Rahman terus membaca Al Qur'an.
Al Qur'an peneduh jiwa, sampai salat isya' ia lalu salat isya'. Ia menutup Al Qur'annya, lalu melihat istrinya.
"Apa masih sakit?" Rahman benar-benar khuwatir, ia berdiri lalu berjalan mendekat ke Nada. Nada mencoba biasa walau masih terasa pedih.
"Apa tadi aku terlalu memaksa?" Rahman benar-benar merasa bersalah. Ia menggenggam erat tangan Nada yang mendingin.
"Aku sudah halal untuk Mas, jika aku menolak aku akan berdosa besar. Mas?" jelas Nada tapi panggilan itu memunculkan banyak tanda tanya. Rahma duduk di sampingnya.
"Kita sudah menjadi suami istri, kau mempercayakan kesucianmu untukku, jadi percayalah kepadaku, katakan apa yang ingin kamu katakan." Rahman sangat mengerti wajar saja mereka langsung berhubungan tanpa tahu kehidupan masa lalu, masing-masing.
"Mas, sebenarnya tadi Sarah berbisik jika Mas masih mencintainya," kata Nada benar-benar memberanikan diri.
"Dasar, masih ganjen, dia cinta monyet saat SMP, aku sudah tidak ada rasa, tapi ia mudah cari perhatian. Aku dan Adi sering bertengkar, karena Sarah menuduhku menyentuhnya atau memeluknya, dan Adi lebih percaya dengan istrinya. Ya Allah, fitnah itu memang keji. Aku sepuluh tahun di Banyuwangi, banyak kisah-kisah cinta terpendam, jika ada wanita yang datang menggoda dan aku akan terpikat itu hanya jika dengan wanita yang bernama Anissa." Penjelasan yang melegakan hati dan cerita penantian yang juga menyayat hati.
Nada diam, ia membisu dan memainkan bibirnya. Mereka saling diam beberapa saat.
"Biarku buatkan makanan." Nada berdiri, Rahmat menarik tangan Nada, Nada terjatuh di pangkuan Rahman, mata mereka saling menatap.
Nada segera merunduk sambil mamainkan kancing baju suaminya, "Hai, tatap aku, kau sudah menjadi bagian penting di hidupku, jadi percayalah, aku akan setia," penjelasan Rahman membuat Nada tenang, bermanja dengan menyandarkan kepalanya ke pundak Rahman, Rahman tersenyum melihat istrinya mulai berani bermanja.
"Tapi tidak tahu kalau aku nanti ada niatan berpoligami." Lanjutnya, membuat mata Nada terbelalak, Nada langsung berdiri.
"Aku lapar." Ia sangat terkejut dan sedikit kesal. Rahman tertawa puas.
"Dari pada selingkuh mending nikah dan punya banyak istri," lanjut Rahman terus menggoda Nada. Nada berjalan menuruni anak tangga, Rahman menyusulnya.
"Katakan padaku kenapa wanita cemburu buta ketika suaminya berpoligami, itu halal, dari pada selingkuh jelas dosa, sebaiknya menikah lagi bukan? Kamu dapat pahala berlimpah malah," kata Rahman terus mengikuti arah langkah istrinya yamg mulai mondar-mandir di dapur.
"Kau tidak menjawab atau berkata." Rahman menghadang Nada.
"Cepat cari istri lagi, dan cepat berpoligami 3 sekaligus juga tidak apa-apa." Nada mendorong Rahman dengan wajah sadis, Nada menyalakan kompor.
"Sungguh ... bolehkah? Kau sungguh-sungguh nanti menyesal?" Rahman tak henti menggoda. Nada menumpangkan wajan. Rahman duduk di dekat kompor, tempat menumpang kompor sangat kokoh karena terbuat dari beton. Dan sangat bersih karena sudah di keramik, biru dan berbunga pink.
"Silahkan suamiku ... tapi pulangkan aku, jika kau berniat poligami, masa baru beberapa jam sudah bahas seperti itu. Tega," jelas Nada, Rahman malah tertawa tak henti.
"Jadi benar-benar tak iklas?" lanjut Rahman.
"Hampir semua wanita tidak mau cintanya terbagi. Wajar saja Siti Sarah istri Nabi Ibrahim AS, saja yang solihahnya sudah pasti, dia juga masih cemburu dengan Siti Hajar. Ya Allah. Begitu halus perasaan wanita, hingga jarang sekali yang berkorban." Rahman terus saja berbicara namun.
Nada fokus memasak. Rahman merasa tersaingi dengan rasa lapar dari Nada.
'Jika lapar kau tak menganggapku ada,' Rahman bicara dalam hati.
Rahman sengaja tak membawa ponselnya. Nada tetap fokus masak, Rahman mencoba cari perhatian.
"Ngomong-ngomong, kenapa wortel ini bentuknya bisa begini ya? Warnanya orens, kenapa tidak putih atau coklat?" Rahman terus bicara tidak penting,namun Nada sama sekali tak merespon, Nada mulai menumis bumbu, Nada mengecilkan kompor.
"Au panas!" Teriakan Rahman membuat Nada panik, Nada mematikan kompor dan langsung mengajak Rahman ke wastafel, Nada mengalirkan Air dan terus menyiram jari-jari Rahman.
Rahman tersenyum, ia mulai menelan ludah dan menatap tajam Nada.
Nada diam dan fokus pada jari-jari Rahman yang di sengaja memegang wajan.
"Mas ...." Nada menatap Rahman dengan menegur.
"Tolong hentikan." Nada tertawa melihat wajah konyol yang di tunjukan Rahman.
"Lehermu merah semua, panasnya yang mengenai jari tak seberapa dengan rasa sakit yang ku berikan," kata Rahman mematikan keran, Nada memandangnya, Rahman mendorong Nada sampai ke tembok.
"Mas, Ah!" Nada mendorong suaminya, Rahman semakin menjadi. Semakin mendekatkan wajahnya.
"Mas ..." Tangan Nada di pundak Rahman lalu mendorong secara pelan.
Nada menutup rapat kedua matanya.
Rahman tertawa.
"Aku sudah terbiasa masak sendiri, jadi kamu duduk dan perhatikan suami tampanmu ini akan memasak untukmu." PDnya, Rahman berbalik badan dan menyalakan kompor Nada bernafas dan memperhatikan suaminya, Rahman mengambil telor mie, Nada masih berdiri dan meperhatikan suaminya.
Rahman memulai dengan lincah dan cepat, ia kembali ke Nada mengambil garam. Setiap Rahman mulai mendekat serasa jantung hati Nada akan copot.
Rahman fokus memasak, dan sedah memasukkan semua bahan telor orak-arik, ia kembali mencuci tangan melihat Nada yang masih memandanginya.
"Aku memang keren dan tampan, jadi jangan melihatku seperti itu." Ucapan Rahman membuat Nada tersenyum remeh.
Rahman mendekat jantung Nada kembali berdetak kenjang.
Rahman tersenyum lalu mencium cepat bibir Nada, mata Nada seketika terbuka lebar, suaminya mudah memberi kejutan.
Rahman kembali ke depan kompor.
"Aku meyakinimu, karna aku teman Ayahmu, aku sama sekali tak ragu, walaupun ketika di jodohkan aku belum melihat wajahmu. Kau hadiah dari Allah SWT. Hadiah terindah yang tak pernah terduga. Kau sudah menjadi milikku agar laki-laki lain tak tergoda dengan kecantikanmu maka tutuplah." Kata Rahman yang sudah mematikan kompor dan mengambil piring.
Nada merangkul Rahman dari belakang. Rahman terkejut.
"Jangan seperti itu, aku masih kuat jika melakukan ibadah mencetak lagi," kata Rahman sambil menuang makanannya di atas piring. Nada melepas pelukan hangat itu.
"Mencetak apa?"
"Tendangan dan gol." Mereka berjalan di ruang makan
"Mas nggak nyambung deh, apa jangan-jangan Mas juga pemain sepak bola." Nada masih bingung. Rahman menarik kursi dan tangannya mempersilahkan Nada untuk duduk.
"Mencetak golnya di sini." Rahman mengelus perut Nada baru faham Nada.
"Kamu tidak KB kan?" Rahman duduk, Nada juga ikut duduk.
"Awalnya mau minum pil itu tapi setelah di fikir-fikir, tidak perlu, Mas."
"Ya ..." Rahman memasukkan makanan ke mulutnya.
"Mas yang membelikan semua baju dan?" tanya Nada 'Kenapa mulutku lancang,' batin Nada. Rahman tertawa lepas.
"Hahaha, maafkan aku yang terburu-buru," kata Rahman seketika Nada terkejut.
"Mmmm." Nada tidak jadi berkata-kata.
"Itu sudah menjadi milikku, kemarin atau dua hari yang lalu, Ibu pergi dengan bibikmu membeli kebutuhan itu, kebutuhan itu," jelas Rahman tertawa tak henti, Nada malu.
"Di coba dong, ini sangat enak." Rahman mengangkat sendok dan menyuapi istrinya, Nada membuka mulut.
Rahman mengangkat tangan kanan Nada.
"Silahkan makan sendiri, Nada tertipu, sikap Rahman barusan membuat Nada tersipu. Nada mulai makan, Rahman hanya memandangi istrinya.
"Apakah masih lama darah itu, kira-kira kapan berhentinya ya? Kata Rahman yang masih ingin melakukan lagi. Nada tersedak.
"Minum." Rahman menuangkan minum dalam gelas.
"Biasa saja hubungan ranjang menambah rasa cinta, jadi mungkin 3 kali mandi dalam sehari." Bukan menenangkan malah membuat Nada tambah tersedak.
Rahman tertawa lepas bisa menjaili kepolosan istrinya, Rahman mendekatkan kursi, setiap saat seperti itu mata Nada terbelalak. Rahman masih sangat bergairah, ia meraba-bara.
"Mas." Nada memandangnya.
"Mas." Cegahnya.
Rahman malah menjadi-jadi lalu tertawa sendiri. Mereka mulai makan dalam satu piring dan Nada menyuapi Rahman.
Bersambung.