Mendung tak berarti hujan, langit kelam membawa kehampaan petir mulai menggelegar, rasa ngeri timbul di dalam hati. Malam ini tiada bintang, langit gelap karena malam. Rasa gelisah datang dan menyelimuti di sunyian.
Raina melamun di teras mushola setelah salat isya', sembari menatap langit gelap itu.
'Ini sangat menyesakkan dada. Huh ...' Raina berjalan ke kamar ayahnya di rawat, sambil menendangi batu kecil-kecil.
"Au ...." teriak pemuda berjas dokter, dia menoleh ke Raina, Raina meringis malu, Raina merunduk menyesal.
Mereka berjarak satu setengah meter.
"Maaf pak Dokter, saya tidak sengaja. Ampun." Raina ketakutan.
"Baiklah ..." Dokter itu pergi. Raina bernafas lega setelah melihat Dokter itu tak terlihat bayangannya.
"Alhamdulillahwasyukurillah ..." Raina menelusuri setiap lorong RS Al Huda.
"Hay, Raina, 'kan?" panggil pemuda berpakaian perawat. Raina memang lemah dalam daya ingatnya.
"Jangan sok kenal. Aku tidak menenal kamu!" Raina berjalan cepat.
"Aku Hanif." Suara keras itu menghentikan langkah Raina, Raina menoleh perlahan.
"Aku Hanif, kakak kelasmu, kamu 'kan ... yang pernah mengirim surat cinta untuk Reza, iya 'kan?"
'Kenapa yang di ungkit hal yang memalukan. Itu?' batin Raina. Raina sangat malu, ia meringis menoleh untuk pergi, lalu ia kabur dengan lari terbirit-birit tidak mau melihat Hanif, Hanif tersenyum miring.
"Gadis konyol," gumam Hanif.
Brugggg!
Raina menabrak seseorang dan jatuh di dada pria itu, tangan pria itu menyangga lengan Raina, Raina mengangkat kepalanya. Ia segera berdiri. 'Raina kau ini nodoh banget sih, dasar konyol.
"Dokter lagi. Maaf." Raina pergi. Dokter tampan itu berdiri sambil membersihkan dan merapikan jasnya.
'Oh no ... Ya Allah, Dokter itu sangat tampan, ah, apaansih Raina, kenapa kau mudah jatuh cinta, Kak Hanif juga keren. Dasar maniso (mesum) mata keranjang, Raina ini maksiat mata, tolong hentikan.' Raina sudah berdiri di depan kamar Ayahnya.
Raina mondar mandir di dalam kamar Ayahnya. Pandangan kosong sambil menggeserkan kuku jempolnya ke bibirnya.
"Ini halus ..." itu hobinya. memainkan kuku jempol ke bibir.
Keadaan pak Mahfudz semakin memburuk, Raina yang hanya menggenakan kaos kowor dan celana trening olah raga, hijab paris warna biru langit. Walau sederhana dia memang sangat cantik dan manis, gadis yang tak tinggi ini, ini memang tomboy.
"Raina ..." Panggil ibunya, Raina manyun. 'Ya Allah, kamu tidak boleh bersikap seperti itu, Raina. Durhaka. Nanti bisa-bisa kamu jadi kecebong, hih, serem'. batin Raina dari dulu dia sedikit sensi dan malas dengan tingkah Ibunya.
Raina dan Ibunya berjalan di taman Rumah sakit. Mereka duduk bersampingan di kursi panjang.
"Iya Buk."
"Fadil melamarmu, kau akan segera menikah, Ibu sudah menerima lamarannya, keluarganya memberi mas kawin banyak."
"Astagfirullah, Ibu! bisa-bisanya dalam keadaan bapak seperti ini, ibu merencanakan pernikahan, aku tidak menyangka Ibu bisa setega itu, fikiranku tak sampai kepada Ibu," protes Raina marah ia pergi meninggalkan Ibunya.
Berjalan cepat tanpa melihat, ia sangat kesal. Di hatinya timbul bebatuan yang menambah kebencian.
"Dasar, Ibu macam apa, Mbak Nada di jual, anak sendiri di jual," kata Raina terdiam dan berfikir. Ia berada di sebrang jalan.
"Fadil?" tanya pelan sambil mengingat ingat nama itu.
"Fadil! Jangan-jangan adiknya kak Reza. Haaa ...! Tidak mungkin, mana mungkin aku menikah dengan adik orang yang selama ini aku tunggu, eh, dasar Raina, mana mungkin orang yang kau tunggu bisa datang begitu saja."
Fikiran kacau Raina berjalan tanpa melihat banyak kendaraan melintas.
Tinnnn!
Tinnnn!
Tinnnn!
Srettt!
Raina di tarik, mereka terguling di pinggir jalan. Raina di selamatkan oleh dokter muda yang dua kali bertemu Raina tadi.
"Kamu lagi?!" Dokter itu berdiri, Raina ikut berdiri.
"Maaf Dok, lagi kacau BGT," ceplos Raina
"Itu bukan urusan aku." Sikap jutek Dokter muda itu, ia berjalan cepat hendak membuka pintu mobil Avanza berwarna merah cerah.
Hanif tepuk tangan.
Plok!
Plok!
Plok!
"Apa lagi nih!" keluh Dokter itu, sambil menoleh ke Hanif.
"Reza, kamu tidak ingat dia? Biar aku ingatkan. Dia Gadis yang pernah mengirim surat cinta untukmu. Dia Raina." Jelas Hanif membuat Raina diam seribu bahasa dan syok.
'Reza? dia Reza kok imut saat SMP dan SMA. Aduh kenapa kak Hanif membongkar, ini sangat memalukan, derajatku, martabatku down, Ah. Ini tidak bisa di percaya.Kenapa aku tidak mengenali cinta pertamaku.' Raina terdiam di tempat ia terguling tadi.
"Oh, jadi dia Raina? He, pantas saja tetap konyol." Reza membuka pintu mobil dan segera pergi.
Raina sangat kesal, Raina melempar sandal ke Hanif.
"Hay." Hanif melempar balik sandal Raina.
"Terima kasih sudah mengembalikan sandalku," kata cepat Raina, Hanif berjalan cepat, Raina mengikuti di belakang Hanif.
"Kamu sangat suka membuat malu seseorang, heh!" tegur Raina.
"Aku bicara sama kamu kak Hanif!" Raina menantang dengan berdiri dan mencegah langkah Hanif, Hanif berhenti melangkah.
"Raina, Riana, tidak usah naif lah, bilang aja mau di bantu didekatkan dengan Reza, iya 'kan? sudah bisa di tebak dari matamu." Ucapan Hanif sambil menaikan kedua alisnya.
"Aduh, sempitnya fikiranmu, aku akan menikah, tenang saja, aku bahkan sudah lupa dengan wajah yang menyebalkan dari musuhmu itu. Kau masih bermusuhan 'kan." Raina mengungkit masa lalu.
"Hah, pedes aku muak," kata Hanif mendorong Raina dan segera pergi dan berlalu.
"Mereka musuh bebuyutan gara-gara Dania sahabatku, dan sekarang bekerja di tempat yang sama di sini. Semoga mereka dapat berdamai, 'kan tidak etis bertengkar hanya demi mendapatkan cinta monyet dari wanita, yang jelas lebih cantik aku. Raina ... Raina PD Kalek kamu." Raina berbicara sendiri. Ia mulai merasakan dingin ia segera masuk, kamar Ayahnya.
'A ...! Masa aku menikah dengan adiknya orang yang selama ini aku tunggu, ini muhal, tapi aku sudah terlanjur. Kenapa tadi aku bilang mau nikah. Oh, tidak mungkin balas dendam dengan menyiksa perasaan orang lain. Ibu juga kenapa harus Fadil, dia masih pria seumur jagung, aku harus Bagaimana Ya Allah, aku pusing tuju keliling, seperti akan melakukan penerbangan lepas landas, hiyut, hiyut, kenapa aku bicara konyol, Ah.' batin Raina.
"Raina ...." panggilan dengan suara lemas, akhirnya Ayahnya siuman.
"Bapak." Raina mendekat lalu menarik kursi di sampingnya Bapaknya. 'Enaknya bicara tidak ya? Soal lamaran, aku galau, Ya Allah jika aku berani membahas, Ayah pasti akan kaget dan beliau akan menambahkan beban di fikirannya. Lebih baik aku memgunci mulut lembengku (ember, lamis)' Raina melamun.
"Raina kok melamun? Mana Ibumu?" tanya Ayahnya, matanya mencari istrinya.
"Ibu di luar, Ayah harus istirahat." Raina mengenggam erat tangan Ayahnya.
"Apa Ibumu berhasil menikahkan Nada?" Tanya Pak Mahfudz dengan mata berkaca-kaca. Raina mengangguk.
"Ya Allah, semoga Rahman sabar kepadanya. Amiiin."
"Ayah tenang saja Om Rahman itu baik, dia juga teman Ayah. Jadi yakinlah Mbak Nada baik-baik saja." Raina menenangkan Pak Mahfudz, Pak Mahfudz menghembuskan napas.
"Ayah tidur saja," kata Raina, Pak Mahfudz tersenyum Raina membalas senyuman itu. Pak Mahfudz memejamkan mata. Raina juga ikut memejamkan mata, bayangan ketika ia di selamatkan muncul.
'Oh no, ini tidak mungkin, aku sudah tidak menginginkannya, lebih baik Kak Hanif lebih ganteng, tapi dari dulu aku hanya menunggu dia, Ya Allah. Semakin lama rasa ini terpendam, semakin aku ingin mendekatimu, Oh, sangat konyol, ini gokil, tidur Raina semakin dalam masuk semakin dalam dan tidur, diam hatimu juga suruh diam Raina, nyaman.' Raina berusaha untuk tidur.
Bersambung.