Chereads / Yakin Karena Istikharah / Chapter 9 - Malunya Raina

Chapter 9 - Malunya Raina

Pagi yang cerah, mentari bersinar dengan sangat terang, cahayanya menerobos masuk ke dalam ruangan. Di sana Raina berjalan-jalan menikmati pagi hari yang sangat indah. Suara burung berkicau, menambah kebisingan, desiran ombak laut menyapu bibir pantai terdengar.

Raina berjalan dengan arah kakinya, ia membeli roti di warung sebrang RS kota, di belakang warung kecil itu, terdengar suara yang amat memikat hati, suara ombak di pagi hari, Raina berlari dengan bahagianya, wajahnya berseri ia melepas penat kegalauan, dengan bermain air.

Raina lari kesana kemari, sesaat ia melupakan perjodohan yang tiba-tiba itu. ia duduk di pasir, lalu berbaring, angin pagi menambah kesejukan.

Raina menoleh ka arah kanannya jarak 200 meter, lalu mengamati dan melihat pemuda yang sedang menikmati kopi dan duduk santai di gubuk, pemuda dengan kaos abu-abu itu, tidak lain adalah Reza.

Raina berusaha tak peduli, ia kembali menikmati suasana lautan di pagi hari, ia mengambil ponsel berfoto-foto, bergaya aneh, seperti para penggemar foto lainya.

Namun seberapa besar ia berusaha tidak peduli, tapi matanya ingin mencari dan tidak bisa berbohong, dan lehernya memaksa untuk menoleh ke arah Reza.

Perasaan Riana yang berdebaran mengikuti matanya, "Yah, tuh ... 'kan udah hilang, emmm. Kenapa aku tidak bisa berpaling. Kenapa mataku terlalu jujur, ini maksiat mata Raina! kamu udah nurutin maunya setan!" Ia kesal dengan dirinya sendiri, yang tidak bisa menahan untuk mencari Reza.

"Hai" Panggil dari arah belakang. 'Dia menghampiriku, A ...' Raina menoleh expresinya berubah ketika tahu kalau pria yang berdiri di depannya adalah Hanif.

"Kenapa? Ah males." Raina pergi, Hanif malah tertawa melihat kepergian Raina entah apa yang di tertawakannya, Raina berjalan cepat.

SRETT.

Raina di tarik ke belakang sampai ia memutar, Raina terkejut dan akan jatuh, ia segera berpegangan, matanya membulat.

Deg Deg Deg tangannya berpegangan di pundak Pria di depannya, Reza mengikatkan jaz dokternya ke pinggang Raina.

Raina menelan ludah ia sangat gugup, keringat pun muncul dari keningnya.

Reza menurunkan secara kasar tangan Raina, Raina masih tercengang, ia tidak bisa berkutik dan bingung mau bicara apa?

"Perhatikan dirimu sendiri." Suruh Reza, membuat Raina tak mengerti maksudnya, Raina mulai kesal ia melepas jaz putih itu dari pinggangnya.

"Ada darah!" jelas Reza sangat cepat, ia lalu pergi begitu saja, Raina berfikir lalu memastikan ia melihat ke arah belakang.

"He, ini memalukan, kenapa tidak terasa jika keluar darah M. Ya Allah." Raina kesal dengan dirinya sendiru, sambil mengetuk kepalanya. "Dasar ceroboh, jadi tadi Hanif menertawakan ini, oh, konyolnya ..." ia terus berbicara sendiri.

"Rasanya aku ingin sembunyi dari kak Reza, aku tidak sanggup menahan malu, darah M kenapa kau keluar begitu saja, seharusnya tahan dulu, mau di tarok di mana muka ini." Raina tidak berhenti menyesal, ia segera membersihkan diri, "Tante pinjam kamar mandinya ye?"

"Iye' pakai saja." Mereka berbicara dengan logat bugis, ia ke kamar mandi pemilik warung, setelah itu melihat jaz putih itu.

"Untung bersih." Raina membolak-balikkan jaz itu, memastikan darahnya tidak menempel, tapi ada hal berat dari kantong jaz sebelah kanan, dan lagu Aisiteru berdering.

Raina mengambil ponsel jadul itu, ia syok melihat ponsel kecil munyil, merek Sony tahun 2000 an, ia sangat heran pemuda keren, kaya, idaman wanita ponselnya jaman dulu, tapi rasa kagum mulai bertambah di hatinya.

Raina tidak bisa mau mengangkat panggilan dari gadis yang bernama Viona. Riana tetap tidak menjawabnya, walau panggilan itu membuat berisik.

"Hai kamu di dalam." Ada suara laki-laki mengetuk pintu toilet.

Raina sadar itu suara Reza, ia membuka pintu kamar mandi.

"Jaznya simpan saja, bawa sini hp ku." Sikap Reza sangat ketus, Raina memberikan hp Reza. Mereka berjalan di bawah pohon ketapang pohon yang daunya lebar dan warnaya semu orens dengan biji seperti jengkol.

Reza menghentikan langkahnya, sepertinya ia sedang menelpon balik gadis yang tadi menelponnya.

"Iya, kamu atur aja undangan pernikahan kita, iya sayang, terserah kamu, kamu pakai apapun cantik, udah dulu ya, ada pasien." Reza berjalan cepat, Raina masih terpaku di tempatnya, hatinya tidak sanggup, mendengar ucapan Reza, ia kini harus benar-benar menyerah.

Ia berbalik arah dan kembali ke pantai, dengan mata berkaca-kaca.

"Kenanganku dan dia adalah jaz ini, buat apa aku menyimpannya." Raina membuang jaz putih itu ke pantai, ombak mulai membasahi dan membawa kenangan memalukan itu. Rasa galau melanda, ia berusaha tegar tapi air matanya malah semakin deras melintasi pipinya, ia menahan agar tak ada suara tangisan, walau air mata bercucuran ia mengigit rapat mulutnya.

Ia menelan ludah, menghapus air matanya, lalu berlari mengambil jas itu yang sudah di tarik ombak, kakinya basah dan tertancap bulu babi.

"Kenapa aku tidak tega meninggalkan jas ini, ini kan hanya barang. Dan luka yang tertancap ini .. huaaaa. Kenapa aku teriak." Raina meluapkan kepenatan itu dengan teriak. "Luka di kakiku bukan apa-apa, tapi hati ku." Ia berjalan dengan pincang ke bibir pantai. Duduk di pasir kering memeras jaz, lalu memeluk jaz itu.

"Heh, jangan menangis Raina." menguatkan diri. "Mungkin jalanku adalah bersama Fadil, he, mana bisa? aku cintanya sama kakaknya, malah menikah dengan adiknya, ya Allah sungguh rencana yang tidak bisa di tebak, sumpret aku galau abis." Raina berdiam dan memejamkan mata, ia menikmati suara ombak dan semilir angin sedang.

Sungguh indah alam di sana, ombak yang ringan dan hembusan angin yang meniup secara berurutan. Tapi hati Riana berbeda, Raina menoleh ada bayangan hitam di depannya.

"Wo. O." Raina mumbul ia kaget. Hanif duduk di potongan pohon di samping kiri Raina.

"Nih makan." Hanif menyodorkan nasi bungkus." Aku minta maaf sudah menertawakanmu." Lanjutnya, 'Tau aja kalau orang lagi laper.' Raina mengambilnya dengan wajah datar dan tak berterima kasih, ia membuka nasi bungkus yang isinya nasi kuning dengan ikan laut yang di iris dengan bumbu merah. Makanan itu sangat favorit di pulau Sulawasi, tak sabar Raina menyantapnya dengan lahap.

'Orang galau abis kayak aku gini, enaknya memang makan, makan adalah hal istimewa saat galau tingkat asmara.' Batinya ia tersedak, "Ekh, huk, huk, huk," Hanif menepuk punggung Raina.

"Pelan, pelan saja," tegur Hanif dengan lagu Band Kotak. Raina terbebas ia memberi isyarat meminta minum, rasa serat di tenggorokannya, Hanif tertawa terpingkal-pingkal melihat ke konyolan Raina, ia memberkan minum yang sudah ia buka tutup boyolnya.

"Heh, makasih." Raina lanjut makan.

"Kalau aku jadi Reza aku tidak akan melepaskan gadis konyol sepertimu," Ungkapan Hanif membuat Raina terbelalak dan tersedak lagi. Ia segera minum.

"Jangan GR, maksudku kau kan konyol, jadi bisalah di jadikan hiburan saat lelah." Terang Hanif, reflex Raina mendorong Hanif, Hanif terjungkal di pasir. Hanif sangat kesal, matanya menunjukan ia marah, Raina takut.

"Maaf," sesal Raina yang sudah mendorong terlalu keras hingga makanan Hanif tumpah. Hanif malah tertawa, Raina pun ikut tertawa.

"Kau menertawakan apa?" tiba-tiba wajah Hanif tanpa expresi.

"Lha kamu ngetawain apa?" tanya Raina mengerutkan kening.

"Di tanya malah balik nanya, ya kamulah!" Bentak Hanif lalu berdiri.

"Mau kemana?" Raina menaikkan wajah.

"Aku perawat waktu istirahat habis, jadi aku harus kerja lagi." Jelasnya. Dengan cepat langkah Hanif hingga menghilang bayangannya. Raina mengambil nafas panjang, lalu ia kembali ke rumah sakit.

Bersambung.