Malam yang dingin rasanya sampai menembus ke tulang-tulang di dalam tubuh, Raina tak bisa tidur, sementara Reza juga ia menepuk-nepuki nyamuk yang lewat di depannya.
Malam yang sunyi, mobil berada di bawah gunung, dan pepohonan yang rimbun, suara ombak semakin menggelegar di malam yang sepi, suaranya mengerikan, karena lautan dalam. Ya begitulah jalanan di Pangas.
Saling diam tanpa kata, keadaan cangung di rasa keduanya, mereka di temani tip yang menyala dengan lantunan Ayat Al-Qur'an dengan suara merdu sang Qori'.
"Aku merasa ada hantu lientera di sini!" ucap Reza yang terdengar takut.
"Iya ada!" Raina santai.
"Di mana?" sontak Reza dengan merunduk lalu menoleh ke Raina, Raina tertawa remeh.
"Kau makin dekat dengan Hanif? Aku kasian sebenarnya, ia dan Dania bertahan dengan sangat lama. Cinta terhalang restu," ujar Reza tiba-tiba. Raina faham itu cara Reza memecah kesunyian.
"O, Tunggu! Kok tau Fania? Kenal dari mana?" tanya Raina awalnya acuh tapi kemudian penasaran.
"Dania itu keponakan almarhum Bapakku, masih sepupuan sama aku. Sebenarnya aku salut sih sama Hanif perjuangannya itu lho, kerja keras, pembuktian jika dia pria yang baik, hanya saja kami memang dari dulu tidak akrab. Cinta tak di restui, mungkin juga Dania akan menikah dengan orang lain, karena sudah di atur perjodohannya," jelas Reza, Raina membuang napas ia mulai merasa kasihan pada Hanif.
"Kasian. Apa masalah keuangan dari keluarga Hanif?" Raina mulai tanya.
"Status, harga diri, tahta semua itu di butuhkan dari keluarga Dania, apalagi Bapak dan Ibunya, ya ... begitulah ketika uang begitu penting! Kalau Hanif sudah tidak punya Bapak dan harus mencukupi kedua adiknya dan Ibu yang sudah sakit-sakitan, MasyaAllah sangat berat ujian hidupnya, Dania sangat berharap kedua orang tuanya mau merestui hubungan mereka, sampai Dania juga harus banting tulang di Makasar, kekuatan cinta yang membangkitkan semangat! Kamu sendiri hal positif apa darimu? Sepertinya kamu tidak bisa apa-apa dan semakin konyol." Reza kemudian meremehkan Raina, mata Raina terbelalak.
"Terserah! Apa fikiranmu kepadaku, aku sih tidak menyombongkan kemampuanku, aku juga tidak perlu memamerkan apa pun, kepadamu! Tidak penting penilaian manusia, yang penting bagaimana cara mendapatkan Rhido Allah SWT." Raina berkata sangat ketus, benar saja di hatinya sangat kesal karena perkataan Reza.
"Aku tidak nyangka, kata-katamu itu keren. Ternyata kamu bisa berkata seperti itu!" puji Reza mendadak.
"Jangan suka meremehkan orang! Karena belum tentu kamu lebih baik dari dia. Itu hanya kritikanku," jelas Raina, Reza tertawa remeh.
"Soalnya aku kira kamu masih ada rasa, aku jadi ilfil. Ngomong-ngomong kamu harus siap dengan watak dan sikap Fadil." saran Reza karna faham betul dengan kelakuan dari adiknya.
"Berarti orang tua Dania sama seperti Ibuku! Matre!" ucap Raina pelan mamun Reza mendengar.
"Aku belum ingin menikah, apalagi dengan Fadil, tapi aku harus bagaimana lagi! Aku yakin kamu tidak akan membantuku untuk kabur," ujar Raina asal ceplos.
"Apa? Kabur, jelaslah aku tidak akan membantu, karena aku tidak mau Mama ku terkena serangan jantung. Belajarlah jatuh cinta sama si receh itu, kamu tidak tau betapa sulitnya perjuanganku, aku sangat mencintainya, aku di bodohkan oleh cintanya," kata Reza dengan perjuangan cinta Reza mendapatkan pacarnya, Raina menguap malas mendengarkan.
"Nggak usah curhat! Nggak penting, nggak ada hubungannya denganku!" Raina berbicara ketus.
"Aku menasehati, agar kamu tidak berharap lagi, akan cintaku. Sakit jika cinta tak terbalas, jadi berhentilah!" titah Reza yang kepedean.
"Pede amat! Siapa yang jatuh cinta sama Anda! Itu hanya kagum jaman SMP dan SMA, aku sudah move on. Aku tidak mau menerima perjodohan karena aku mengenal Fadil," ujar Raina jelas mengelak.
"Syukurlah kalau begitu, aku minta tolong sebagai calon kakak iparmu, tolong bantu merubah tingkah laku Fadil, aku yakin pelan-pelan kamu bisa membantunya menjadi laki-laki baik, dan bertanggung jawab. Kamu gadis baik dari lingkungan pesantren, aku minta maaf atas kelakuanku, atas perkataanku yang merendahkanmu. Tolong bantu ya," bujuk Reza, ia melihat Raina dari kaca spion.
"Yah. Tidur, MasyaAllah berarti dari tadi aku ngomong sendiri!" keluh Reza, ia melihat ke arah di depannya, sangat gelap.
"Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah, kenapa aku merinding, dan jalanan sepi, biasanya walau malam rame, tapi ini ..." Reza memejamkan mata.
"Lebih baik tidur di kamar mayat, dari pada di sini ini sangat menyeramkan." gumamnya lagi.
Raina membuka mata, ia sangat terkejut, dalam mimpinya Reza tidur di sebelahnya. "Heh ... ternyata hanya mimpi, Alhamdulillah." Ia merasa lega.
'Apa dia benar tidur? Sampai kapan pun aku tidak bisa meng offkan perasaanku, dia semakin membuat aku jatuh cinta, benar katanya sangat menyakitkan jika bertahan dan tak terbalas. Kasiah kamu Ra ... malangnya nasib cintamu, semoga saja aku bisa jatuh cinta pada Fadil. Ya Allah hatiku sangat sakit rasanya. Aku hampa, hatiku berserakan ketika dia bilang, dia di bodohkan dengan cintanya. Aku juga pasti seperti itu, ini sangat tragis. Ya Allah Engkau Maha Kuasa, Engkau yang membolak-balikkan hati manusia,' bicaranya dalam hati, matanya terus memandang rambut Reza.
'Memandang mu dari belakang sama halnya selalu mengejarmu, dan kamu pun tidak menoleh,' batin Raina membuang nafas, ia membuka ponselnya.
Melihat ponsel tapi bingung mau di gunakan untuk apa, apalagi di bawah gunung batu susah sinyal.
"Ternyata kamu tidak tidur!" ujar Reza yang mengejutkan Raina.
"Aduh, copot jantungku, aku sudah tidur." jawab Raina singkat.
"Cepet banget bangunnya, aku mengenal Farhan keren lo, dia." Reza mencari topik pembicaraan, agar tidak semakin hampa.
"Kenal dari mana?" tanya Raina sambil menaik-nurunkan layar ponselnya.
"Saat dia urus KK di Parigi, wah sangat cerdas. Aku juga lihat perlombaannya, suaranya juga merdu. Jadi kamu berapa saudara?" tanya Reza sangat normal.
"Ingin kenal banget, atau ingin kenal saja!" Raina bersikap acuh karna ia tidak ingin Reza tau kalau dia masih menyimpan rasa.
"Jujur saja, aku tidur tidak bisa tidur, jadi aku mencari-cari alasan agar kita bisa ngobrol," jelas Reza.
"Aku dan Farhan memang adik kakak, tapi dia jarang pulang, dia di Pondok, Bapak sakit saja dia juga tidak tahu. Kami juga jarang ngobrol, dia juga anak mandiri, sama sekali tidak pernah merepotkan kami. Dia kerja paruh waktu setelah sekolah, kalau sore jadi guru ngaji. Tapi entahlah." Raina tiba-tiba murung.
"Aku faham soal Ibumu, Bapakmu menyesalkan porjodohanmu yang sangat tiba-tiba, seperti pernikahan Mbak Nada dan Mas Rahman, aku dan siapapun bisa dengan mudah berteman dengan Bapakmu, beliau ramah dan baik. Dan sudah berhasil mendidik anak-anaknya. Jujur saja aku juga tau kemampuan bacaan Tartilmu, keren!" puji Reza.
"Apa?" Raina tercengang.
"Tidak perlu berlebihan," ujar cepat Reza.
Ada cahaya, Reza menoleh ia segera turun, melambaikan tangan dan trek itu berhenti, ia minta bantuan pada supir trek itu, supir pun berhenti, akhirnya trek itu menderek mobil Reza, dia sama Riana naik di bak Trek tersebut.
Bersambung