Cuaca tak bersahabat, hujan reda, hujan lagi, tambah membuat hati kacau dan gelisah tak tentu. Hati jungkir balik, karena galau menabrak di bagian sisi hati.
Raina bosan dengan keadaan di Rumah Sakit.
"Rai, kamu pulang dan harus segera cari baju pengantin!" seru Ibunya yang mengejutkan hati.
"MasyaAllah! Bapak belum sembuh Bu!" Raina sangat kesal, ia berbicara dengan nada tinggi karena marah dengan sikap Ibunya.
"Syut, ini rumah sakit!" Reza menegur keduanya, Raina berlari dengan deraian air mata.
"Ibu macam apa dia, matrenya kelewat ambulan. Aneh dan nyata. Aku benci, he heh. ... hiks ..." Raina masih berjalan cepat, ia di halaman rumah sakit.
"Ternyata kau sangat cengen." Hanif datang dengan membawa obat-obatan yang baru datang dari Palu. Raina mengapus air matanya.
"Maukah kamu kabur denganku?" Raina sangat emosional, entah bagaimana arti dari perkataannya. Ada suster lewat.
"Titip ini Nis." Hanif menyuruh Suster itu sambil menyodorkan kotak obat.
"Nggak mau, emang aku siapa kamu!" Suster itu mementahkan Hanif, dan pergi begitu saja.
"Huh!" Hanif emosi.
"Ada masalah apa? Kok sampai ingin kabur!" Hanif menghadap ke Raina, mereka berjarak satu meter setengah.
"Aku akan nikah sama Adiknya Kak Reza!" Raina membongkar rahasianya, Hanif langsung memegang jantungnya.
"Kenapa? Apa sakit?"
"Ha ha ha, aku hanya syok, bagaimana bisa menikah dengan Adiknya! Orang yang selama ini kau cintai 'kan Kakanya, kamu sih kurang aduhai." Hanif malah mengejek, Raina melempar daun yang ia petik, Hanif menepis daun itu.
"Makanya itu, maukah kamu kabur denganku?" Raina terlihat bersungguh-sungguh.
"Ya tidak bisa lah, kecuali kalau kaya. Di sini aja aku masih magang, lagian di antara kita juga tidak ada cintrong-cintrongan!" Hanif menolak, Raina merunduk denganmembuang napas yang terdengar sangat sesak. "Kau boleh menganggapku temanmu!" Lanjutnya. "Sini duduk!" Hanif duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi, Raina menuruti tapi tetap saja ia tak mengangkat wajahnya.
"Dengarkan aku, kali ini aku tidak bercanda." Hanif menoleh, Raina masih merunduk dan terlihat air matanya jatuh. Hanif memberi tisu yang ia bawa bersama obat-obatan. "Dengar Raina! Terkadang kita harus melalui hal-hal yang tak di inginkan hati. Seperti niat Ibumu, yang tidak kamu ketahui isi hatinya, mungkin, dia ingin yang terbaik untukmu, walaupun kau akan sedikit tersiksa. Kau adik kelasku yang cerdas dan populer pada zaman itu, aku kagum, ya sebatas kagum jangan GR!" Hanif sedikit bercanda, Raina masih dalam keadaan sedih.
"Yah, tak mempan peluru candaanku." Hanif mengeluh, Raina tersenyum dalam air matanya, ia mendorong lengan Hanif sampai Hanif hampir terjatuh. 'Kasian kamu Ra, kalau aku jadi Reza aku tak akan menyampakanmu. Malang bener nasibmu, semoga saja suatu saat kau akan bahagia, Aamiin, Aku mengenal mereka 6 tahun, dan tiada yang berubah dari Raina walau 4 tahun tak bertemu. Ia masih setia dengan Reza.' batin Hanif.
"Aeiiis, Aku juga mengenal Reza walaupun kami tak pernah dekat, aku masih sangat di bawahnya, ya, karena uang juga! Minum jika kamu menikah dengan Fadil, iya kan? Fadil anak ingusan itu!" Hanif mengingat-ingat adiknya Reza. Raina tertawa mendengar kata ingusan.
"Akhirnya ada senyum di wajahmu." Hanif melontarkan kepuasan karena berhasil membuat beban Raina sedikit ringan. Raina menatapnya.
"Tatapanmu mbuatku takut," ceplos Hanif yang menutup kedua matanya dengan lengan tangan.
"Kenapa?" Raina mengerutkan kening dan masih melihat Hanif.
"Takut kamu jatuh cinta padaku," serius atau tidak, kata itu membuat Raina tertawa. " Awas nanti jatuh cinta, cinta kepada diriku, jangan-jangan kau jodohku ..." Hanif menyanyi dengan suara lumayan merdu.
"Kamu mengerikan!" Raina berdiri karena merinding, Hanif tertawa sepuasnya. Lalu menyusul Raina mereka berjalan nersama namun ada jarak hampir dua meter.
"Tenang saja, aku sudah punya pacar walau LDR, LDR itu sangat menyakitkan," kata Hanif mulai terbuka, Raina menghentikan langkah lalu menoleh ke Hanif.
"Siapa?" Raina sedikit penasaran.
"Dania, temanmu, dia ada di Makasar, aku setia, tapi ...." Hanif mencuplik kisah cintanya, Raina tersenyum mendemgar kabar tetang teman sekolahnya.
"Tapi?" Raina sangat penasaran.
"Cinta tak di restui karena pekerjaanku. Aku kurang mapan, dan kamu tau sendiri aku tulang punggung keluarga." Raut wajah murung terlihat, namun Hanif cepat menepis dengan senyuman tipis.
"Udah. Aku kerja dulu." Hanif melangkah, Raina berfikir, Hanif menoleh ke belakang. "Eh dengar!" ucap Hanif, Raina menatapnya.
"Belajarlah mencintai seseorang agar hatimu tidak patah, karena kalau patah butuh semen untuk merekatkan." Hanif memberi saran dengan kata-kata aneh, Raina membuang wajah dan terawa, Hanif pergi dengan berjalan cepat.
"Kamu benar-benar aneh!" Reza datang dari arah belakang, Raina menoleh ia kembari merasa sangat malu. 'Raina, kenapa selalu tinggah aneh yang terlihat. Ini sangat menyedihkan, bagaimana Dokter itu muncul dengan tiba-tiba, Ya Allah hentikan rasaku, jangan Engkau tumbuhkan setiap harinya. Ah!' Raina hendak pergi lalu mendengar, Reza dalam pembicaraannya ditelepon.
"Halo, iya! Iya! Terserah kamu, aku pasti setuju masalah gaun, make up! Masalah undangan, tamu dan lain-lain, aku santai, iya Sayang, terserah kamu, aku mencintaimu." Reza mengatakan itu ke telponya, Raina berjalan cepat dengan mata berkaca-kaca.
"Sepertinya aku harus mendengarkan masukan dari Kak Hanif deh, aku harus membuka hati, agar tidak makan hati meluluk, rasanya ini mencabik-cabik hati ku, Ya Allah, hiks, he hiks , mudahkanlah hatiku untuk menerima takdir ini. Hentikan rasaku ini ya Allah, kenapa sangat menyakitkan mencintai seseorang, tapi orang itu tak penah peduli, memandang ku saja tidak pernah. Dan jika nanti aku menikah dengan Fadil, dan selalu lihat kemesraan Kak Reza dengan istrinya. Aku tak bisa membayangkan, dan aku tak bisa bertahan. Terluka lah hatiku, sedalam-dalamnya, aku butuh suntikan penguat agar aku tak sakit semakin kritis. Semakin ngelantur bicaraku, Ya Allah sakit bertahan." Raina berjalan tanpa tujuan.
Ia berjalan ke pantai, lalu menelpon Nada dengan nomer Rahman.
"Halo, Assalamu'alaikum." Rahman mengangkat telpon dari Raina.
"Wa'alaikumsalam. Mas bisa bicara sama Mbak Nada?" Raina dengan suara terpecah, Rahman langsung memberikan ke Nada.
"Loha!" Nada memanggil
"Heks, hiks ... huk." Raina menangis.
"Rai. Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Ayah?" Nada sangat panik, Rahman bertanya pelan.
"Ada apa?" Rahman ikut resah.
"Entah," Nada menjawab suaminya, lalu bertanya pada, "Rai. Ada apa?" Nada duduk dalam ketegangan, suara tangisan Raina membuat Nada juga sakit.
"Hiks huft ... hiks. Kenapa Ibu sangat kejam, apa aku bukan anaknya?" Raina mencuplik masalah dari tangisannya.
"Apa maksudmu? Yang jelas." Nada sangat penasaran.
"Ibu menjualku. Kenapa dia sangat tega ..." Raina menangis tersedu-sedu, Nada juga ikut meneteskan air mata, Rahman mrmberi tisu, Nada mengelap air matanya.
"Apa!" Nada sangat terkejut, ia merasakan sakit yang di rasa Raina.
"Ibu akan menikahkanku dengan Fadil, Mbak! Heks heh. Kardna keluarganya melamar dengan harga fantastis, Ibu meniyakan tanpa bertanya padaku. Mbak ... sakit banget ... apa Mbak sudah bahagia? Tapi aku mengenal Fadil dia brandal, ya Allah, huft ... mmmm hek hek hiks..." Riana memutuskan telponnya, tanpa menunggu Nada memberi saran agar ringan bebannya.
Sementara dengan Nada ia kembali menelpon Raina, namun Raina tidak mengangkatnya.
"Kenapa? Apa yang terjadi sama Ayah?" Rahman menyetir dengan bertanya.
"Tidak, Bukan soal Ayah, tapi Raina mengabari jika dia harus menikah dengan Fadil."
"Fadil memang kurang baik untuk Raina, dia sangat brandal, tapi kita bisa apa! Ya semoga dengan di jodohkannya dengan Raina, dia bisa berubah menjadi lebih baik. Aamiin." Rahman terlihat tenang karena pria dan tak tau alasan sesungguhnya.
'Ya Allah, Raina menangis karna Fadil adalah adiknya Reza, dan dari dulu walau terpisah Raina selalu meminta agar, Reza menjadi jodoh dunia akhiratnya, ini sangat menusuk hati. Ya Allah rasanya jleb! jleb! Engkau Maha Tahu yang terbaik Ya Allah, semoga ada kebahagiaan yang datang untuk Raina, Aamiiiin Ya Robb.' batin Nada.
Mereka sampai di kebun cengkeh Rahman turun dan Nada masih di dalam mobil, masih merenungkan kepedihan Raina dan kembali menelpon lagi, tapi tetap tak di angkat.
Bersambung.