Dalam keadaan kacau Raina melempari kulit kerang ke Laut, hpnya berdering lagu dari Seventeen.
Sumpah ku Mencintaimu, sungguh ku gila tanpamu, sumpah mati aku cinta.
Raina tak mengangkat telpon dari Nada, tapi ia mengirim pesan suara. "Mbak, aku akan setuju menikah dengan Fadil." Raina kembali melamun. Tak lama ia berdiri dari tempatnya, berjalan kembali ke rumah sakit.
Pesan suara dari Nada pun tak di buka oleh Raina. Ibunya berdiri di gerbang rumah sakit, dan sedang ngobrol dengan Dokter Reza yang sudah di dalam mobil, Raina bersembunyi di balik gerbang. "Sedang apa Ibu? Kenapa jadi gawat!" Raina mengrutu.
"Hai." Reza datang dengan mobilnya, Raina sangat terkejut. Jantungnya hampir saja terlepas dari tempatnya, ia masih merasakan kaget barusan dan memegangi dadanya.
"Cepat masuk!" Reza menyuruh tanpa melihat Raina, Raina sangat bingung ia terdiam di tempatnya, Ibunya datang dan langsung memasukkan Raina ke mobil.
Mata Raina berkaca-kaca, 'Apalagi Ini.' Raina menuruti Ibunya, ia duduk di kursi depan.
Ibunya berbisik.
"Dengar! Kamu akan memilih baju pengantin, hari penikahanmu dan Fadil sudah di tetapkan dan di Dokter Reza juga akan menikah di hari yang sama denganmu, baju dan salinan Bapakmu di kursi belakang." Ibunya menutup pintu, Raina merasa syok dengan perkataan Ibunya.
'Ya Allah aku tak bisa apa-apa! Menikah di hari yang sama, Astagfirullah. Bapak belum pulang pernikahan udah di tetapkan! Pemaksaan tingkat kesulitan. Huh!' batinnya.
Reza pun mengegas mobilnya, mereka akan pulang ke Sumber Indah, perjalan 5 jam dari kota. Suasana cangung dan hening, Raina main game, ia berusaha tak mempedulikan pria di sampingnya.
Reza juga asik sendiri dengan menutup kedua telinga, mendengarkan musik lewat headset. Mereka sudah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di desa Palasa. Tiada percakapan, saling diam dan sibuk sendiri. Rasa di dalam hati Raina bergejolak tapi ia, tidak mau melakukan hal konyol lagi. Yang akan membuatnya malu.
Azdan Asar berkumandang, Reza memarkirkan mobilnya, lalu turun dan masuk ke Masjid. Raina sok tak peduli, tapi matanya ingin saja melihat pria yang ia cintai sekaligus akan jadi Kakak iparnya.
"Begini saja rasanya hatiku perih. Oh, cinta, kenapa kau menyiksa. Ibu juga kenapa tak mengerti dengan perasaanku. Cinta tak terbalas sudah biasa tapi, jika menikah dengan adik dari orang yang di cintai bagaimana! Sangat menyedihkan." Raina memandang keluar kaca, di setiap sisi jalan adalah pesisir dan di balik jalan lain ada dataran tinggi, suku bugis.
Reza masuk mobil, dan kembali melajukan mobilnya. Diam tanpa kata seperti orang yang tak mengenal. Hp Reza berbunyi panggilan dari Kekasihnya.
Mau tak mau Raina mendengar suara keromantisan mereka, Raina menahan gemrucuh kecemburuan.
"Iya, kurang 3 jam lagi, kamu udah makan? Di hari pernikahan kamu harus sehat. Iya. Baiklah. Iya! Aku udah makan. Oh ya kita nikahnya satu resepsi juga sama Fadil, kamu setuju kan? Maaf ini mendadak tak tau juga Ibu tiba-tiba menikahkan Fadil. Aku juga belum bicara sama Fadil, tapi Ibu gadisnya sudah menetapkan berarti Ibuku juga." Reza berkata panjang lebar, Raina merasa tak kuat ia teringat perlakuan Ibunya.
'Sudah pasti pendapat Kak Reza tentang Ibu sangat matre, memang iya! Sangat keterlaluan, tiada harganya, orang mudah memandang hina karena tak mengenal. Ibu adalah sebutan yang mulia, namun dengan sikapnya seperti itu terlihat hina dan tak punya harga diri. Selama ini aku memendam rasa, walau aku tak bisa menyimpan rahasia ku, aku tak takut malu mengakui perasaanku, ku kirim surat cinta dan waktu itu dia mementahkan perasaanku. Mengirim surat cinta, surat kagum, kalau boleh aku meminta dan bisa mencegah aku tidak ingin mencintaimu. Aku memang aneh, sangat aneh terkadang aku sangat benci pada diri sendiri. Sekuat mungkin aku melupakan, aku tetap tak bisa, walaupun aku tak mengenalinya tapi setiap bertemu hatiku, jantungku tak bisa di kendalikan. Aku berada di situasi terburuk. Aku ingin berhenti dan aku mencoba hal baru dengan menikahi adiknya, semoga saja Allah menurunkan cinta untuk aku dan Fadil.' batin Raina.
Raina bernyanyi dengan suara pelan dan menikmati semilir angin sore, bau pasir pantaipun tercium dari dalam mobil. Raina merasa tak nyaman, perutnya terasa diaduk-aduk. 'Jangan mutah Raina, ini memalukan. Tolong jangan buat malu lagi,' Raina ingin muntah karena mabuk dalam perjalanan ia berusaha menahan, dengan terus menelan ludah.
"Apa kau punya permen?" Raina memberanikan diri, ia mencari di laci-laci.
"Kamu mabuk?" Reza memberi kantung plastik. Raina menyahut sangat cepat namun belum bisa membuka kantong plastik, ia pun mutah dan memercik semua di dalam kursi, setir dan celana Reza.
"Astagfirullah!" Reza sangat kesal ia mengerem mendadak sampai Raina terjadug.
"Kau tak bisa tahan! Jadi najis kan celanaku! Ceroboh!" Suara yang sangat keras dari Reza, ia lalu keluar dari mobil. Raina turun ia masih mutah-muntah, Raina berlari dengan jatuhan air mata, Reza memperhatikannya, "Mau kemana lagi dia!" keluh Reza, ia benar-benar tak pernah suka pada Raina, dia selalu acuh dan sering berbicara dengan nada tinggi.
Raina berlari ke mata air, sungai kecil dengan air yang sangat jernih tanpa sampah, ia membersihkan diri. Mereka berada di desa yang sepi hampir tiada penghuni. Manusia yang hidup di desa Palasa hidup di dataran tinggi. Reza ikut membersihkan diri di sungai itu.
"Maaf aku kasar! Aku cuma bingung nanti salat ku bagaimana!" Reza membasuh lengannya, dan mengelap celananya karena bekas muntahan.
"Aku yang harus minta maaf. Biasanya aku tidak pernah mabuk."
"Huek." Reza pun ikut muntah karena jijik, Raina melihat Reza.
'Tidak mungkin dia bisa mencintaiku, sampai kapan pun. Berhentilah berharap Raina. Kamu tak pantas dengan Dokter yang sangat bersih. Hidupmu saja penuh debu.' batin Raina menyuruh diri sendiri.
"Aku mungkin membawa sarung. Nanti bisa buat solat." Raina kembali ke mobil, Reza berjalan di belakangnya.
"Mana sarungnya!" Reza melepas celana panjangnya, Raina terkejut dan menutup matanya.
"Apa yang kamu lakukan?" Raina merunduk, Reza tertawa 'Kenapa malah tertawa? Yang aneh Aku atau dia? Tawanya sangat lucu jadi tambah maniskan dia, Stop Raina!' batin Raina menegur dirinya.
"Kau itu sangat aneh! Aku tidak ceroboh, aku selalu memikirkan apa yang aku lakukan. Mana sarungnya!" Sikap Reza kembali ketus, Raina mengambilkan sarung dari tasnya, ia memberikan sarung itu dengan menutup mata.
"Aku pakai boxser!" jelas Reza lalu ia memakai sarung. Tak lama Reza masuk mobil "Kamu duduk di belakang, aku tidak mau terkena itu lagi!" suruhnya, Raina turun dan duduk di kursi kedua.
Bersambung.