Setelah kejadian tak mengenakkan Reza merasa lapar, ia berhenti di warung makan terlihat bangunan dari susunan kayu di atas pantai, warung makan khas di sana, dengan menu ikan bakar, bakso ikan laut dan binte (jagung ketan yang di beri kuah dan di bumbui, jeruk nipis, ikan laut suwir dan kecap dan sambal).
Reza memarkirkan mobil di depan warung, ia hanya memakai kaos dan sarung milik pak Mahfudz, sarung yang ngepir atau tidak rapi, ia segera turun, lalu menutup pintu mobil dan mengetuk kaca mobil di tempat Raina duduk.
"Heh, ayo turun! Makan!" Katanya judes dan tak menghadap ke Raina, Raina berusaha cuek, ia menahan rasa laparnya.
'Aku laper tapi bagaimana lagi, gengsi dong!' batinnya.
"Cheh," desahan enek keluar dari bibir Reza, "Ayo! Aku tidak mau di salahkan oleh Mamkku! Kalau kamu sakit tak jadi nikah kamu dan Fadil nanti, plis tolong jangan buat malu." Reza pergi dan segera memesan makanan.
"Aku harus buktikan jika aku sudah menghempaskannya jauh-jauh." gumamnya, Raina turun dari mobil, lalu melangkah memasuki warung.
Mereka duduk berjauhan seperti tak saling kenal.
"Ngana sama dia kan?" tanya tamu lain yang datang bersama keluarga besarnya.
"Iye." singkat Raina
"Ngana(kamu) juga sama dia duduknya." titah tamu itu, Raina merasa kesal.
"Sini adik ipar," panggil Reza membuat Raina terpaku dan terbelalak. Raina menoleh ke Reza dengan pelan.
"Dia adik iparku, kami canggung, silahkan di nikmati." Reza berdiri dan memainkan jari telunjuk menyuruh Raina datang kepadanya.
"Padahal kalian cocok lho ..." sela nenek dari belakang Raina,
'Semakin is death aku di sini, jantung ku lho, deg deg gannya, alamaaak.' Raina masih tercengan, tak lama ia menelan ludah dan berjalan ke arah Reza, mereka duduk saling ujung Raina melipat kedua tangannya ke meja lalu menumpangkan kepalanya hingga tak terlihat wajahnya, menunggu adalah hal paling menyebalkan.
"Aku kurang suka, jika kamu jadi adik iparku, tapi ini keputusan Mamaku, lagian Fadil juga kuarang baik untukmu, aku berharap kamu bisa merubah sifat buruknya. Kau juga mengenal Fadil dari dulu nakalnya di sekolahan, sampai tidak naik kelas karna sibuk pacaran dan sok jadi bos, semua kenakalan Fadil kamu tau, trimakasih kamu mau menerima apa adanya dia," kata Reza, makanan datang.
"Wah ikan bakar." Suara Raina yang terdengar habis terbangun dari tidurnya seperti orang ngigo, Reza menatap aneh.
'Astagfirullah, jadi tadi aku ngomong sendiri, dia tidur, sungguh aneh! Untung jadi adik iparku,' batin Reza.
"Heh, sana cuci muka, jorok!" titah Reza sambil cuci piring.
"Maaf kepalaku pusing." Raina melangkah sambil mengucek ia pun tersandung kaki meja dan hampir jatuh, dan tak sengaja tangannya menumpang ke paha milik Reza, Raina syok ia segera kabur dengan menutup mulutnya, Reza lebih dari syok.
"Astagfirullah, gila tuh cewek, alatku! Untung belum kesentuh!" gumam Reza yang merinding. "Bagaimana bisa makan enak jika begini." Lanjutnya.
Sementara Raina yang di dalam toilet tak ingin keluar, ia sangat malu. "Kenapa, kenapa, kenapa? Heh!" Raina melepas jilbabnya memasukkan wajahnya ke bak mandi dan ia berteriak, tiada yang mendengar teriakannya, setelah merasa lega, ia mengangkat kepalanya,
"Ini gila, fikiranku, kacau, bagaimana bisa gadis yang terkenal handal baca tartil, dengar suara merdu seempat kecamatan melakukan hal konyol di hadapan pria yang ia nanti selama ini, ini keterlaluan! Kenapa tidak ada kebaikan yang terlihat. Bagaimana fikiran dia tentangku, pasti ngenes deh. Raina jangan pedulikan. Heh ..." Raina hendak memegang gagang pintu tapi tak jadi.
Ia terus mengelus pipinya karna telapak tangan yang mendadak dingin. Ia memang sering mendapatkan penghargaan dari ikut MTQ di daerah, piala berjejeran di lemari ruang tamunya, tapi tiada yang peduli soal itu, yang terlihat sifat anehnya.
Tokk!
Tokkk!
"Kau Raina?" jelas suara Reza.
"Hmm."
"Aku udah selesai makan, kamu nggak kedinginan di situ satu jam. Aku ke musola dulu," ujar Reza pergi, Raina mendemgar langkahnya yang berlalu, ia mengenakan jilbabnya.
"Satu jam, he!" Raina nyengir-nyengir tak pasti, ia keluar, seperti orang ketakutan.
Setelah di meja makan, ia pun tak tenang dan terus was, was.
"Kak Raina," panggil seorang gadis, Raina sangat terkejut hingga jumbul kedua pundaknya.
"Maaf Mbak, ngagetin ya?" gadis itu sok kenal, seperti biasa Raina mudah lupa dengan wajah seseorang.
"Ini aku Sita, yang belajar tartil sama Mbak di Masjid, akhirnya ... bisa secara langsung juga! Sudah lama aku ingin banget ketemu Mbak, akhirnya, aku seneng banget." Gadis itu menggenggam erat tangan Raina, Raina hanya tersenyum.
'Toh, 'kan ada yang ngefens sama aku, heh tidak usah berharap Reza itu akan buka hatinya, sia-sia.' batin Raina.
"Maaf aku tidak mengenal, soalnya kan ada 40 santri, jadi aku susah ingat," ujar Raina.
"Suara Mbak itu ... bagus banget, i love pokoknya," puji Sita tak henti-henti pada sosok guru tartil di depannya.
"Katanya Mbak mau nikah? Kapan? Kalau nikah masih ngajar tartil tidak?" Gadis remaja itu banyak bertanya sampai Raina tak jadi makan.
"Maaf, aku makan dulu tidak baik, makan sambil bicara, aku lapar karena habis mabuk dari perjalanan," jelas Raina agar tak menyakiti hati Sita, Sita tersenyum.
"Sini ponsel mu, aku simpankan nomerku." Raina membuat Sita senang, ia segera memberikan ponsenya, Raina menyimpankan nomer telponya, Sita langsung memiscol, dan terdengar lagu dari band Armada Awas jatuh cinta.
Sita tersenyum lebar, ia pun sudah di panggil oleh keluarganya, ia segera pergi. Dan meninggalkan senyum hangat untuk Raina. Raina asik makan sampai menjilati jari-jarinya, matanya memandang ke Musolah takut Reza keluar tiba-tiba.
Sampai waktu Isya', Reza baru keluar dari musolah, Raina asik nonton tv di warung.
"Heh! Calon adik ipar, ayok!" panggil dengan nada keras, Raina menoleh lalu tergesa-gesa. Sampai tak benar memakai sandalnya, ia sangat grogi.
Mereka masuk mobil, Reza melajukan mobil lalu memutar tip di mobilnya suara Ayat Al Qur'an surat Muhammad menemani perjalanan mereka.
Perjalanan yang sunyi dan sepi tambah gerimis pula. Raina duduk di bangku kedua.
"Huft dingin." keluh Reza dengan suara pelan, Raina membuka tasnya mengambil jas putih yang pernah di berikan Reza.
"Aku berniat mengembalikannya, ini sudah ku cuci, aku juga tidak mau mengingat kenangan yang tak berarti." Ucapan Raina berani dan seolah-olah ia tidak ada rasa lagi untuk Reza. Ia mengodorkan jas itu, Reza menerima lalu mencium Jaznya.
"Itu harum," ujar Raina ketus.
"Baguslah," seru Reza di susul dengan tawa singkat, ia senang karna Raina sudah tak ada rasa untuknya.
Dorrrr!
wyuhsss!
wyuhsss!
Suara mengagetkan, suara ban yang melesat dan mengerikan, mobil pun oleng, perjalanan tak setabil, Raina berpegangan erat ia berteriak. "SubhanaAllah ..." teriakan Raina membuat Reza langsung mengerem, Raina terjaduk.
Mobil berhenti, dahi Reza berdarah, mereka berhenti di jalan Pangas jalanan yang sepi penuh gunung, jurang dan di bawahnya lautan dalam.
"Kak ..." Raina memastikan keadaan Reza, Reza mengangkat kepalanya dari setir.
"Ban meletus, di tempat seperti ini ...." keluh Reza. Walau dahinya berdarah ia mengambil ponsel lalu keluar dan melihat, menyalakan ponsel jadul yang cahayanya hanya dari layar hp sonyy, di tempat yang gelap sialnya bantre ponselnya lobet. Raina memberi sinar dari senter ponselnya.
"Terpaksa kita bermalam di sini, Alhamdulillah. Tidak nabrak gunung atau masuk jurang." ujar Reza yang kembali masuk ke mobil.
Di malam yang gelap dengan di derasnya suara ombak yang menyeramkan. Mereka menikmati malam di dalam mobil dengan lantunan audio yang menyala.
"Kau tau? Tadi fikiranku blong, saat kau teriak SubhanaAllah baru aku berfikir untuk menginjak rem, apa keturunan ghaib dari Lintera ada di sini?" Reza terlihat takut.
"Baca ayat kursi, mahluk ghaib itu ada dimana-mana." Raina santai ia tak menyangka jika Reza sedikit penakut, Reza mengencangkan tip nya, mereka tidur.
Bersambung.