Stefan Jaelani Abidin anak seorang konglomerat sukses, melempar beberapa brosur universitas terkemuka di luar negeri yang beberapa saat yang lalu di berikan oleh ayahnya ke atas meja. Dia tampak sama sekali tidak tertarik dengan itu.
"Gimana? Apa ada yang kamu suka? Papa udah pilihin yang terbaik buat kamu" kata ayah Stefan yang saat itu menginginkan anak lelakinya untuk kuliah di luar negeri. Mengikuti jejak kakak perempuannya.
Karena bagaimanapun juga Stefan adalah pewaris perusahaannya nanti, dia ingin pendidikan terbaik untuk anaknya agar bisa memimpin perusahaannya kelak.
"Aku gak tertarik," jawab Stefan dingin.
"Apa kamu bilang?! Gak tertarik? Lalu kamu mau kuliah di mana emangnya?"
"Yang jelas masih di Indonesia. Aku gak mau jauh-jauh ke luar negeri cuma buat kuliah doang." Stefan lalu berdiri dan pergi meninggalkan kedua orangtuanya itu menuju kamarnya.
"Cuma kuliah? Kamu bilang cuma kuliah?! Kalau kamu seperti itu, papa gak akan berikan perusahaan papa buat kamu!" ancam ayah Stefan.
Tapi anak itu sungguh tidak peduli dengan perusahaan milik ayahnya. Dia hanya ingin seperti orang biasa dan menjalani hidup yang biasa-biasa juga. Bukan menjadi anak seorang konglomerat seperti ini.
"Sudah, jangan paksa Stefan lagi. Biarin dia kuliah di sini. Dia pasti gak mau jauh dari kita," bela ibu Stefan. Dia tidak tega anak bungsunya itu terus ditekan oleh suaminya sendiri seperti tadi.
"Omong kosong! Pokoknya kalo kamu gak mau kuliah di luar negeri dengan kemauan sendiri, papa akan ikat kamu dan bawa kamu paksa ke sana." Karena kesal ayah Stefan lalu masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu.
"Stefan, lebih baik kamu turuti saja keinginan papa kamu. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa nak," ucap ibu Stefan dari balik pintu. Tapi lelaki itu hanya diam dan tak mau menjawab kekhawatiran ibunya.
Matanya memandang keluar jendela yang saat itu hujan lebat. Dari lantai dua rumahnya dia melihat pemandangan yang menarik baginya. Terlihat dua sosok laki-laki dengan membawa tas besar sedang berteduh di sebuah toko yang sedang tutup tak jauh dari rumahnya.
"Apa mereka gelandangan?" gumam Stefan. Dia terus memperhatikan dua orang itu yang berbagi satu buah lemper berdua. Mereka tertawa seperti tanpa beban. Dalam hati Stefan sangat ingin seperti mereka.
Namun yang sebenarnya terjadi pada dua lelaki itu adalah...
"Jadi kita bertanding, siapa yang paling bisa senyum keliatan gigi paling lama dia yang dapet jatah lemper paling banyak," kata Eka. Dia mulai menampakkan giginya agar memenangkan porsi lemper yang lebih besar.
"Kenapa lo cuma beli satu sih bang? Udah tahu porsi makan gue banyak," sahut Chani yang juga sudah menampakkan giginya. Dia juga sangat menginginkan lemper itu.
"Apa boleh buat, kita harus hemat sampai kita dapet kos-kosan."
"Tapi gigi gue udah mulai kering nih bang ," keluh Chani.
"Emang lo pikir gigi gue enggak?"
"Gimana kalo lempernya kita bagi secara adil ajalah. Gue udah gak sanggup lagi nih." Chani akhirnya menyerah. Dia melenturkan wajahnya yang tegang karena pertarungan konyol mereka tadi.
"Iya, gue juga udah gak kuat!" seru Eka. Dia ikut menggerak-gerakkan mulutnya karena pegal kemudian membagi rata satu lemper itu untuk mereka berdua.
"Kalo begini akhirnya buat apa kita bertanding tadi?" gumam Chani. Dia merasa sia-sia dengan apa yang sudah mereka lakukan tadi.
"Oh iya, gimana lanjutan hubungan lo sama Christin?" tanya Eka saat menyerahkan potongan lemper milik Chani.
"Hubungan apa deh, gue sama Christin kan cuma bestfriend forever," jawab Chani berlebihan.
"Hei bro! Seluruh warga komplek juga udah tahu kalau si Christin demen sama lo!" Eka meninju pelan dada Chani karena temannya itu benar-benar lelaki yang sangat tidak peka terhadap yang namanya perempuan.
"Jangan bikin gosip murahan semakin jadi murahan dong bang," sahut Chani asal.
"Gue yakin dia bakalan khawatir, kalau tahu lo kabur dari rumah."
Kata-kata dari Eka membuat Chani menerawang ke langit yang hampir kembali cerah karena hujan yang mereda. Dia sudah mengenal Christin sangat lama seperti ia mengenal Eka. Karena mereka tinggal di lingkungan yang sama.
Karena itulah akan sangat aneh jika mereka berdua memiliki hubungan yang lebih dari teman. Hal itu akan sangat menganggunya.
"Udah terang. Yuk jalan lagi," ajak Eka membuyarkan lamunan Chani.
Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, bulu kuduk Chani dan Eka tiba-tiba berdiri saat terdengar suara benda yang diserat di belakang mereka.
Drrrrrrtttt Drrrrrrtttt Drrrrrrtttt
"Suara apa itu bang?" bisik Chani yang saat itu menggenggam erat baju Eka yang sudah kendur.
"Gak tahu Ncub. Gimana kalo kita sama-sama noleh ke belakang bareng?" usul Eka yang tampak tak mengenakan bagi Chani.
"Nggak ah bang, lo aja."
"Gue gak mau kalau mati berdiri sendirian."
"Gak bakalan lo mati cuma gara-gara hantu bang."
"Ah gak mau tahu! Pokoknya setelah hitungan ketiga kita barengan noleh ke belakang. Satu... Dua... Ti–"
"Aaaaaaaaaaaaa!!!"
Tiga laki-laki di tengah gerimis sore itu berteriak bersamaan.