"Ayo kita pesta sampe pagi! Semuanya, gue yang traktir" seru Ilham Junaedi pada semua teman-temannya yang berada di club malam ini.
Ilham adalah anak dari konglomerat terkemuka, keluarganya bahkan masuk ke dalam lima besar orang terkaya di Indonesia.
Namun sayangnya Ilham saat ini telah salah pergaulan. Dan setiap hari kerjaan dia hanya menghabiskan waktunya untuk berpesta foya bersama dengan teman-temannya seperti sekarang ini.
Dia terkenal sebagai orang yang selalu menghambur-hamburkan uang ayahnya. Bahkan kuliahnya terbengkalai karena dia tidak pernah masuk melainkan bepergian ke manapun yang dia mau.
Ilham menyingkir saat tagihannya datang. Karena dirinya yang membayar semua yang sudah dihabiskan dirinya beserta dengan teman-temannya malam ini.
Ilham menyerahkan salah satu kartu kreditnya dari tujuh buah kartu kredit yang dia bawa kepada pegawai club itu.
"Maaf, yang ini kartunya gak bisa dipakai tuan," kata pegawai itu sambil mengembalikan kartu kredit milik Ilham.
"Heh?" Ilham menerima kembali kartu itu dengan heran.
"Masa sih, limitnya udah habis," gumamnya sambil mengeluarkan kartu kreditnya yang lain.
"Coba yang ini." Ilham menyerahkan kartu kreditnya yang lain kepada pegawai tersebut. Dan setelah dicoba ternyata kartu itu juga tidak bisa digunakan.
Ilham kemudian mengeluarkan semua kartu kreditnya dan tetap berkali-kali gagal untuk menggunakannya.
"Ini kartu terakhir gue. Kalau gak bisa juga, bisa abis nih gue malu sama temen-temen!" batin Ilham sambil menyerahkan kartu terakhirnya.
Bahu Ilham merosot saat mendapati kenyataan jika semua kartu kreditnya tidak bisa digunakan.
"Gimana gue bisa bayar semua ini?!" batin Ilham mulai kalut. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa Ham?" tanya salah satu temannya saat melihat Ilham tak juga kembali dari membayar tagihan mereka.
"Gak ada apa-apa kok. Lo ke sana aja, entar gue nyusul," jawab Ilham. Dia tidak mungkin mengatakan pada temannya jika ia tak bisa membayar semua tagihan mereka.
Ilham lalu mencoba menghubungi ayahnya. Mungkin ayahnya adalah dalang dari tidak bisa dipakainya semua kartu kredit miliknya itu.
Tapi Ilham sama sekali tidak menduga jika hal ini akan terjadi karena selama ini ayahnya tidak pernah mempermasalahkan gaya hidupnya yang suka foya-foya.
Tut... Tut... Tut...
"Masa nada sambung orang kaya, cuma tututut." Ilham masih sempat-sempatnya mengomentari nada sambung telepon ayahnya.
Setelah beberapa kali terdengar nada tututut telepon, akhirnya ayah Ilham mengangkat teleponnya.
"Tumben kamu nelepon papa?" tanya ayah Ilham dengan sinis.
"Papa ya?! Tersangka yang ngotak atik kartu kreditku?"
"Kayaknya salah deh, kalau kamu bilang ayah tersangka yang ngotak atik kartu kredit kamu. Kamu sendiri yang mempersalah gunakan fasilitas yang papa kasih ke kamu Ham."
"Ilham pikir papa gak akan pernah peduli dengan semua yang Ilham lakuin. Kenapa tiba-tiba sekarang jadi sok peduli begini?"
"Kamu salah Ham! Papa bukannya gak peduli sama kamu. Tapi selama ini papa kasih kesempatan buat kamu berubah. Tapi kenyataannya kamu masih aja begitu. Gak pernah yang namanya menghargai uang hasil jerih payah papa selama ini. Kamu jadi seperti ini karena sejak kecil keinginanmu selalu terpenuhi dengan mudah."
"Seenggaknya jangan sekarang dong pa! Ilham gak bisa bayar tagihan di club. Bisa malu kalo sampe temen-temen Ilham tahu."
"Nanti papa suruh sekertaris papa buat ke sana dan bayar tagihanmu. Tapi setelah itu kamu harus langsung pulang ke rumah. Papa tunggu."
Tuttuttut.
Ayah Ilham langsung menutup teleponnya. Dan akhirnya Ilham bisa bernapas lega, setidaknya dia masih bisa menjaga harga dirinya di hadapan teman-temannya malam ini.
Perihal ayahnya, dia yakin ayahnya hanya akan mengomelinya selama tiga hari lalu dia akan lupa karena kesibukannya.
Setelah beberapa menit menunggu akhirnya sekertaris ayahnya datang dan membayar semua tagihan pesta Ilham dan teman-temannya malam ini. Dan sesuai perjanjian Ilham harus pulang saat itu juga.
"Gue pulang dulu ya. Kalian nikmati aja pestanya, karena semua udah gue bayar," pamit Ilham pada teman-temannya. Dan teman-temannya langsung bersorak karena bisa meneruskan pesta hingga pagi.
Setengah jam kemudian Ilham sudah sampai di rumahnya. Namun saat dia masuk dia melihat sebuah benda yang membuatnya resah. Ilham hanya melihat benda itu lalu duduk di sofa ruang tamu bersama ayah dan ibunya. Dari wajah mereka sepertinya ada sesuatu yang serius yang ingin dibicarakan.
"Buat apa koper ini ada di sini?" tanya Ilham begitu ia duduk.
"Itu kopermu. Masa kamu lupa?" sahut ayah Ilham.
"Yang Ilham tanyakan, kenapa koper Ilham ada di luar pa?"
"Papa mau kamu hidup mandiri. Mulai besok papa akan cabut semua fasilitasmu kecuali biaya kuliahmu."
"Apa?!! Papa pasti bercanda kan?" Ilham menatap ayahnya tak percaya.
"Mama! Bilang sama Ilham kalau papa cuma bercanda kan Ma?" Ilham ingin memastikan hal itu pada ibunya. Tapi ibunya tak menjawab. Dia juga sudah jengah dengan perilaku pemborosan anaknya tersebut.
"Sampai kamu bisa merenungi semua perbuatan kamu. Kamu gak boleh kembali ke rumah ini. Papa kasih waktu kamu buat pergi besok pagi. Sebelum ayah bangun, kamu sudah harus angkat kaki dari sini!" seru ayah Ilham lalu berjalan meninggalkan anaknya disusul oleh ibu Ilham.
"Sial! Gue mesti pergi ke mana?"