Chichago pukul sepuluh pagi waktu setempat.
Paulo yang notabene adalah seorang aktor Hollywood meskipun tidak terkenal-terkenal amat tampak frustasi dengan karirnya sebagai aktor yang semakin terpuruk.
Padahal dia sudah membintangi beberapa film layar lebar di negeri film box office tersebut. Semua peran sudah pernah dia lakoni. Mulai dari peran kecil hingga ke peran yang sangat amat kecil. Semua dia lakukan demi untuk bisa menggapai cita-cita masa kecilnya.
Dulu.
Dulu sekali saat Paulo masih tinggal di Bojong, dia sangat suka menonton film spesial tahun baru Home Alone. Dia berulang kali menonton film itu tanpa bosan.
"Paul!!!" pangil ibu anak itu. Wanita itu lalu masuk ke dalam kamar anaknya yang lagi-lagi sedang menonton film itu.
"Aduh Paul, itu jemuran diangkatin ngapa! Mendung tuh mau hujan. Lagian kamu mau sampai kapan si nontonin film itu terus?"
"Sampai Paul jadi pemain film luar negeri kayak gitu mak."
"Hah?" mendengar hal itu tentu saja membuat hati ibu Paul mencelos. Air matanya berlinang membasahi kedua matanya yang mulai berkerut.
Dengan menutupi mulutnya menggunakan tangan, ibu Paul berlari dan masuk ke dalam kamarnya. Dengan bersimpuh dia mulai memohon pada Tuhan."
"Ya Tuhan, tolong jadikan Paul aktor film barat. Terserah dia mau jadi apa aja di film itu, mau jadi peran protagonis, antagonis atau antariksa sekalian gak apa-apa Tuhan. Yang penting si Paul gak nontonin film itu terus seharian. Ya Tuhan, kasihanilah hamba. Hamba jadi gak bisa nonton sinetron azab kalau si Paul gak mau berhenti nontonin film itu. Kalau Tuhan gak mau mengabulkan permintaan hamba, tolong rusak saja TVnya ya Tuhan."
Ibu Paul benar-benar berdoa dengan sungguh-sungguh. Dia benar-benar berharap jika anaknya Paul bisa jadi aktor film barat agar dia bisa menguasai TV lagi seperti kodrat emak-emak pada umumnya.
Dan saat itu ibu Paul tidak mengetahui, jika suaminya, ayah Paul mendengar doa dari ibu Paul yang sangat kusyuk di dalam kamar.
"Wah, gawat. Kalau sampai Tuhan ngabulin permintaan yang kedua gimana? Nanti aku gak bisa nonton pertandingan bola tiap malem kalau TVnya rusak. Ini gak bisa dibiarin."
Ayah Paul lalu berlari menuju ke kamar tamu yang kosong. Untuk mencegah TV kesayangannya rusak karena doa dari istrinya. Ayah Paul mulai berdoa juga kepada Tuhan.
"Ya Tuhan, tolong buat Paul anak hamba untuk bisa jadi aktor Holliwood saja ya Tuhan. Jangan rusak TV hamba. Cicilan masih tiga bulan lagi Ya Tuhan." Dengan berderai air mata kedua orangtua Paul memohon kepada Tuhan dengan bersungguh-sungguh.
Hingga saat Paul berusia tujuh belas tahun. Suatu keajaiban, Tuhan menjamah doa tulus kedua orangtua Paul.
"Mak! Pak!" teriak Paul.
"Kenapa Ul?" tanya ibu dan ayahnya saat itu.
"Akhirnya Paul lolos casting mak! Paul bakalan jadi aktor Hollywood!" seru Paul merasa sangat senang.
Ayah dan ibu Paul, tentu saja tak kalah girang dari anaknya. Setelah ini mereka tak akan melihat Paul lagi seharian berada di depan TV untuk menonton film yang diulang-ulang terus itu.
"Ngomong-ngomong, kamu dapet peran apa Ul? Film apaan?"
"Film bertema olahraga mak. Paul jadi penggila bola," jawab anak kesayangannya tersebut.
"Wah, nanti kamu jadi pemain bola ya Ul?" tanya ayah Paul.
"Bukan pak. Jadi Paul ini meranin laki-laki yang terobsesi sama bola. Dan saking cintanya Paul sama bola, Paul harus botakin kepala Paul biar bisa mirip sama bola dan merasakan jiwa dari bola itu."
Ayah Paul menganga tak percaya. Film bodoh macam apa itu? Pikirnya.
Sementara itu ibu Paul, sukses pingsan saat anaknya harus menggunduli kepalannya untuk peran itu. Yah, mau bagaimana lagi. Ibu dan ayah Paul berdoa yang penting anaknya main film barat. Dan tak masalah dengan peran apapun itu.
Jika ada yang harus disalahkan, tentu saja yang salah adalah TVnya.
Kemabali ke masa sekarang.
Paulo sudah tak memiliki cukup uang lagi untuk tinggal di Amerika. Managernya juga sudah menyerah, dan menyuruh Paul untuk pulang ke Indonesia.
Paulo pun mengiyakan perintah dari managernya tersebut. Dia akan pulang dan mencari pekerjaan lain di negeri asalnya nanti. Apa kek, jadi model atau jadi direktur pun tak mengapa.
"Paulo, lo mau kerjaan gak nanti setelah sampai di Indonesia?" tanya managernya saat sedang membantu Paulo membereskan barang-barangnya.
"Pekerjaan? Ya maulah. Kerjaan apa emang?" tanya Paul penasaran.
"Jadi bodyguard anak Sultan. Badan lo kan bagus. Gede dan keker. Bayarannya mahal, lo gak bakalan bisa nolak ini." Manager Paul lalu membisikkan nominal gaji yang akan Paulo terima jika dia mau bekerja dengan konglomerat tersebut.
Mata Paulo terbuka lebar mendengar nominal itu. Bahkan bayaran main filmnya tak lebih tinggi dari bayaran menjadi bodyguard anak konglomerat itu.
"Jadi tugas lo cuma nemenin dia sama laporin setiap gerak-gerik anak itu. Soalnya anak itu lagi kabur dari rumah sekarang. Dan dia tinggal di sebuah kos-kosan sederhana. Jadi nanti lo pura-pura aja mau kos di sana dan berusaha jadi temen deket dia. Gimana? Lo bisa kan?"
"Ya udah gue mau. Daripada gue pulang ke rumah dan bikin malu emak bapak gue karena gagal sukses jadi aktor Hollywood. Medingan gue nyari duit yang banyak, jadi disangka mereka gue masih sukses di Amerika."
"Nah, gue demen sama semangat lo kaya gini. Nanti gue kirimin alamat orangnya, lo langsung ke sana aja. Pokoknya anak sultan itu yang tinggi dan ganteng. Jangan sampai salah. Entar fotonya nyusul."
Singkat cerita Paulo akhirnya pulang ke Indonesia dan langsung menuju ke rumah kos-kosan yang dimaksud sesuai dengan perintah yang dikatakan oleh managernya tadi.
Paulo berdiri di depan pintu rumah itu masih lengkap dengan gaya hip-hopnya yaitu topi dan kacamata hitam. Dia pun lalu menekan tombol bel yang ada di sebelah pintu.
Ting Tong…
Suara bel berbunyi dan tak lama terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Sepertinya seseorang akan membuka pintu itu. Dan Paulo berharap jika itu adalah anak konglomerat yang dimaksud oleh managernya.
"Siapa?" tanya laki-laki yang membuka pintu itu. Dari raut wajahnya terlihat sombong. Mungkinkah itu orang yang dicari Paulo?
"Aduh, gue lupa lagi gak nanya namanya," batin Paulo. Dia baru sadar jika lupa menanyakan nama anak konglomerat itu. tapi untungnya Paulo ingat ciri-cirinya.
"Siapa cowok yang ganteng dan tinggi yang tinggal di kos-kosan ini?"
"Gue," jawab Ilham.
Paulo membuka kacamata hitamnya.
"Yakin? Apa ada yang lain?"Paul menanyakan hal itu karena melihat laki-laki yang berdiri di depannya itu tidak terlalu tinggi seperti ekspektasinya sebelum datang ke sini.
"Gak ada."