"Ma, Ilham mohon. Bujuk papa biar gak usir Ilham dari rumah kayak gini," pinta Ilham saat ibunya mengantarnya ke depan pintu rumah.
"Maaf Ham, mama gak bisa berbuat apa-apa. Mendingan kamu turuti aja keinginan papamu buat sementara. Ini juga demi kebaikan kamu, kamu harus belajar mandiri," ceramah ibu Ilham.
Sebenarnya hal ini juga berat bagi wanita setengah baya itu. Tapi mau bagaimana lagi, suaminya sudah kehilangan kesabaran dengan tingkah laku anak mereka itu.
"Ini bawa uang mama. Kamu bisa cari tempat tinggal sementara dengan ini." Ibu Ilham memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada anaknya itu.
"Uang segini gak cukup buat apa-apa ma! Hotel mana dengan tarif segini??" protes Ilham saat menerima sejumlah uang dari ibunya dengan nominal yang tidak seberapa.
"Cuma ini yang bisa mama kasih ke kamu! Kalau terlalu banyak papa kamu bisa curiga. Udahlah, cari tempat sederhana aja. Cepetan pergi sebelum papa kamu bangun!" usir ibu Ilham pada anaknya itu.
Dengan terpaksa Ilham meninggalkan rumahnya pagi ini. Sekarang dia tidak tahu mau ke mana. Tempat tinggal sederhana? Ilham tidak pernah terpikirkan mengenai hal itu. Bagaimana bisa seorang Ilham Junaedi harus tinggal di tempat sederhana.
"Oke, pertama gue harus cari tambahan uang supaya gue bisa tinggal di hotel. Ya minimal bintang tiga deh," ucap Ilham. Dia lalu menghentikan taksi untuk menuju ke suatu tempat.
Dan setelah beberapa menit dia sudah sampai di kampusnya. Kampus yang sangat jarang ia injakkan kakinya di sana. Setelah membayar ongkos taksi kini uangnya benar-benar sudah semakin menipis. Harapannya hanya ada di kampus ini.
Ilham berbaring di bangku taman kampusnya sembari menunggu temannya yang sudah ia hubungi tadi. Dia berniat mengambil kembali uang yang pernah dipinjam temannya dengan nominal yang lumayan besar. Dengan itu dia bisa bertahan satu bulan tinggal di hotel bintang tiga.
"Kenapa Ham? Kok lo tiba-tiba ke kampus dan mau ketemu sama gue?" tanya teman Ilham saat dia sudah sampai di sana.
"Kenapa juga lo bawa-bawa koper?" Teman Ilham mulai gelisah. Meskipun tidak mungkin jika Ilham akan menagih hutangnya satu tahun yang lalu itu.
"Gue butuh duit gue yang lo pinjem waktu itu. Ada kan? Kemaren lo bilang abis beli motor baru berarti lo punya duit kan?" tanya Ilham.
Dia yakin jika temannya itu punya uang saat ini. Hanya dia satu-satunya harapan agar Ilham bisa tetap hidup dengan nyaman.
"Duh sebelumnya gue mau minta maaf Ham. Gak ada beneran. Kemarin udah kepake buat bayar sekolah adik gue. Sorry ya, entar kalau udah ada gue hubungi lo. Oke!" jawab temannya itu yang langsung meninggalkan Ilham tanpa menanyakan apa yang sedang terjadi padanya.
"Oke nggak apa-apa. Masih ada satu harapan lagi," Ilham kemudian menghubungi temannya yang lain. Teman yang sudah seperti sahabatnya karena mereka sangat dekat.
"Jason lo dimana? Gue lagi di kampus nih," ucap Ilham saat menghubungi temannya yang bernama Jason itu.
"Gue... Gue gak ke kampus hari ini. Kenapa?"
"Gue ada sedikit masalah nih. Bisa nggak gue pinjem duit dulu." Ilham terpaksa menjatuhkan harga dirinya untuk meminjam uang pada temannya itu.
"Apa lo bilang? Pinjem duit? Seorang Ilham Junaedi pinjem duit? Jangan ngeprank deh lo," sahut Jason tidak percaya.
"Gue serius! Kan gue bilang kalo gue lagi ada sedikit masalah. Halo? Jason?" Ilham memeriksa ponselnya dan ternyata panggilannya sudah terputus. Dia mencoba menghubungi Jason lagi tapi nomer temannya itu tiba-tiba tidak aktif.
Ilham menghela napas panjang. Dia tidak punya teman lain yang lumayan dekat untuk bisa ia pinjami uang. Padahal saat Ilham masih banyak uang, banyak yang mengaku jadi temannya. Tapi sekarang semuanya menghilang bahkan seolah sengaja menjauhinya.
Dengan langkah berat Ilham meninggalkan kampus, namun dari jauh dia melihat Jason yang sedang bersama teman-temannya padahal sebelumnya dia bilang jika dirinya saat ini tidak ada di kampus?
"Jason! Lo jadi kan traktir kita makan-makan?" tanya salah satu temannya itu dan Ilham dapat mendengarnya dengan jelas.
Sebelumnya Ilham berniat menghampiri mereka. Tapi ia urungkan. Dia sadar mereka hanya mau berteman dengannya saat dirinya kaya, sekarang saat dirinya tidak punya apa-apa tidak ada yang mau jadi temannya.
"Awas aja kalau gue udah balik lagi ke rumah. Gue nggak mau lagi punya temen kayak mereka!" Ilham kemudian berjalan terus tanpa tahu harus ke mana. Sampai akhirnya tidak terlalu jauh dari kampus sebuah rumah kos-kosan bertuliskan "Sewa murah perkamar" menyita perhatiannya.
"Kos-kosan itu lumayan juga. Nggak terlalu buruk," gumam Ilham. Dia akhirnya memutuskan untuk tinggal di sana.
Setelah bertemu dengan pemiliknya yang rumahnya ada di sebelah rumah itu, Ilham langsung diberi kunci dan menyuruhnya langsung masuk ke sana. Pemilik itu bilang di sana sudah ada beberapa lelaki yang menyewa kamar.
"Percayalah Ilham ini cuma sementara. Gak sampai satu bulan pasti papa bakal nyuruh lo buat pulang lagi. Jadi lebih baik lo bertahan di sini sampai waktu itu tiba," ucap Ilham mencoba menghibur dirinya sendiri.
Saat Ilham membuka pintu rumah itu terpampanglah beberapa makhluk hidup dengan segala jenisnya membuat Ilham tertegun. Sepertinya mustahil untuknya terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
"Bang pinjem kolor lo!" teriak Hyuga pada Eka yang masih sibuk membaca latihan soal untuk masuk ke perguruan tinggi.
Hyuga yang saat itu ke sana hanya dengan memakai baju yang ia pakai terpaksa harus meminjam ke sana-ke sini sampai ia menemukan waktu yang tepat untuk mengambil barang-barangnya tanpa sepengetahuan om dan tantenya.
"Kemaren kan udah! Ncub tuh!" tunjuk Eka pada Chani yang sedang memotong kuku kakinya dengan berbagai gaya.
"Lo nggak lihat perut gue buncit gini. Kolor gue udah melar! Entar melorot kalau dipake Hyuga," sahut Chani.
Ilham yang melihat pemandangan itu memilih untuk berpura-pura tidak melihatnya. Dia langsung berjalan menuju kamarnya.
"Abaikan mereka. Mereka rakyat jelata jangan sampai lo bergaul dengan mereka Ilham!" batin Ilham yang diam-diam masuk dalam kamarnya.