~~~
Daniel menyeruput kopi hangat yang dipesannya, setelahnya ia membuang napas panjang. Wajahnya nampak lelah dan tanpa bersemangat, apalagi melihat orang di depannya. Ia tengah berada di kafe mewah di depan perusahaannya.
Rangga duduk menyilang kaki dengan tangan yang menyilang pula. Ia memakai jas hitam mewah dan kacamata hitam bernilai jutaan. Dengan tatapan sombongnya, ia diam-diam melirik wanita berpenampilan mewah yang sedang duduk jauh dari mejanya namun masih terpantau olehnya.
"Ini sudah sore, gue batalin dua rapat cuma demi lo, dan kopi ini... ahh, hari ini gue minum berapa gelas kopi?" ucap Daniel yang lebih tepatnya seperti mengeluh.
Rangga membuka kacamata hitamnya, "pestanya besok tapi gue belum dapat cewek yang pas buat dikenalin sama Kakek!" ketusnya.
Daniel menghela napas dan menggertakkan giginya kesal. Jari-jari tangannya bergerak-gerak mengetuk meja dan ingin sekali ia mencakar wajah laki-laki super menyebalkan itu. "Lo yakin diri lo itu normal? Kalau begini jadinya, lo gak bakal nikah sampai kapanpun!"
Rangga mengelus-elus dagunya pelan, nampak sedang berpikir. Setelahnya, desahan pelan terdengar dari mulutnya dan ia pun berdecak.
"Lo buang waktu, Rangga!" ketus Daniel, "kalau emang lo berniat jadi direktur, lo harus cari cewek yang pasti disukai Kakek Herman! Lo harusnya gak peduli siapapun cewek itu! Kalau emang lo mau nikah, lo bisa cari cewek yang lo suka! Masalahnya, lo mau jadi direktur tapi gak mau nikah! Lo bahkan gak suka satu cewek pun yang sudah ditemui selama ini! Lo... lo benar-benar bermasalah!" gerutunya frsutasi.
Rangga masih dengan posisinya yang sama, matanya terus melirik sekelilingnya. "Gue akhirnya memutuskan, biar si Ravi yang jadi direktur!" tegasnya.
Daniel tertawa sambil bertepuk tangan, "keinginan lo buat gak nikah seumur hidup mengalahkan ambisi lo buat jadi direktur?" ucapnya tak percaya.
Rangga tak mempedulikan Daniel yang hanya tertawa dengan puasnya. Jika itu orang lain, mungkin ia sudah menghajarnya hingga puas, namun Daniel adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya dan tak pernah menuntut apapun darinya, sehingga ia tak bisa melayangkan satu sentuhan pun padanya.
Besok adalah peringatan ulang tahun SuperOne Group yang ke-42 tahun. Pesta bertema ๐๐ข๐ก๐๐๐๐ akan dilaksanakan di taman hotel pertama SuperOne Group, dan semua keluarga Maulana akan hadir untuk memeriahkan pesta formal itu.
Sementara, keadaan di ruangan pegawai DN News nampak santai dan terdengar samar-samar obrolan. Salma meregangkan tubuhnya, mungkin karena Daniel tidak ada, ia merasa cukup tenang hari ini.
"Mbak Sekre, pekerjaan beres?"
Mendengar Rania menggumamkan panggilannya, Salma menoleh ke arah Rania yang nampak berkumpul dengan para reporter muda yaitu Jenny dan Nina. Salma berdiri dan menghampiri kumpulan ketiga orang itu.
"Jaenal Bramoto? Maksud lo Pak Jaenal yang kaya raya itu?" ucap Nina.
Jenny mengangguk puas dengan senyum lebarnya, "kalian pasti gak bakal nyangka sama kepribadian aslinya. Dia kocak banget loh, kirain gue pendiam," ucapnya lalu meneguk cup kopi yang ada di tangannya.
Rania agak membuka mulutnya mendengar ucapan Jenny, "jadi sekarang, lo tinggal di gedung yang sama dengan Pak Jaenal?"
Jenny kembali mengangguk, "katanya dia akrab sama Pak Daniel makanya langsung izinin gue sewa di sana," lanjutnya.
Salma yang menarik kursi dan duduk di samping Rania hanya menyimak cerita Jenny dalam diam. Kepalanya berputar hanya dengan satu nama, "Pak Jaenal kata lo?" tanyanya pada Jenny.
"Iya Mbak Salma, gue sekarang penyewa di gedung Pak Jaenal Bramoto yang terkenal di Jakarta Selatan loh, katanya di gedung itu jarang ada ruangan kosong!" ucapnya antusias.
Salma membuka mulutnya, bukan karena antusias dengan cerita gadis muda itu, ia hanya tak bisa percaya karena beberapa waktu lalu Jaenal mengatakan bahwa gedungnya sudah penuh. "Jenny, apa maksud lo Bang Jaenal yang punya gedung terus di lantai paling bawahnya ada restoran ayam?" sekali lagi ia ingin memastikan pikirannya.
"Iya, dan iya, katanya setiap malam tertentu, di restoran yang di lantai satu selalu ada pertemuan antara Pak Jaenal sama temannya. Dan semua temannya seru loh!" lanjut Jenny masih dengan rasa antusiasnya.
Mendengarnya semakin membuat Salma kesal tanpa alasan, "Jenny, apa Bang Jaenal yang lo maksud itu pendek, terus kulitnya hitam pakai kacamata, wajahnya jelek-...awhh!"
Rania memukul tangan Salma yang di sampingnya, ia tercengang dengan rekannya itu, "bisa-bisanya lo jelekkin Pak Jaenal? Lo gak tahu siapa dia?"
"Emang dia siapa?" balas Salma.
"Pak Jaenal terkenal di bisnis pergedungan! Apa sih itu namanya," ucap Rania.
Sementara Jenny dan Nina hanya tertawa saja melihat kedua orang itu. Padahal jika diperhatikan, Salma yang paling dekat dengan Rania dibanding keduanya, namun Rania selalu saja mengomeli Salma kapan pun dan dimana pun itu.
"Mbak Salma juga daritadi manggilnya Bang Jaenal bukan Pak Jaenal!" ucap Nina.
"Ehh iya? Mbak Salma kenal Pak Jaenal?" tanya Jenny.
Salma menggelengkan kepalanya, ia kemudian kembali ke mejanya dan memainkan ponselnya. Ia mengirim pesan pada Aryo untuk menanyakan cerita Jenny yang membuatnya tak percaya dengan Pak Jaenal.
"Salma? Ikut saya ke ruangan saya cepat!" ucap Daniel yang menghampiri meja Salma sekilas lalu berjalan menuju lift dengan cepat.
Salma mengangguk dan berjalan mengikuti Daniel. Ia kini berada di lift yang sama dengan sang direktur. Daniel yang masih membolak-balik lembaran kertas di tangannya melirik Salma sekilas.
Daniel memberikan lembaran itu pada Salma, "besok kamu akan ikut saya ke sebuah acara, dan ini daftar tayangan untuk besok, tolong kamu sebarkan ke seluruh tim!" ucapnya.
Salma menganggukkan kepalanya, "iya, Pak!" jawabnya singkat.
Lift berhenti namun Daniel masih meminta Salma untuk ikut dengannya. Daniel membuka pintu ruangan pribadinya dan Salma masih berjalan di belakangnya. Daniel kemudian terdiam sebentar di depan meja kerjanya.
Salma melirik Daniel dan nampak keheranan, "kenapa, Pak Daniel?"
Daniel kemudian mengangguk singkat, ia kembali menyerahkan setumpukkan kertas pada Salma, "ini seputar acara besok, kamu bisa serahkan ke tim acara malam, gak? Dan besok Jenny juga harus ikut ke acara itu, Oke?"
"Siap, Pak. Kalau begitu, saya permisi," pamit Salma. Ia lalu ke luar dari ruangan pribadi milik Daniel. Karena penasaran, ia membuka lembaran kertas yang paling atas itu dan terdiam setelahnya.
~~~
Pagi yang cerah, gorden lantai teratas dari hotel itu terbuka. Sinar matahari terpaksa masuk dan membangunkan pemuda yang masih terbaring di tempat tidur mewahnya. Handphone yang bergetar membuatnya terduduk dan memeriksanya.
๐๐๐๐ข๐ฅ๐ : Pagi Raviโก๏ธ, aku gugup hari ini, gimana dongโน๏ธ
Ravi menghela napas malas, ia mengacak-acak rambutnya dan beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela dan melihat suasana halaman mewah hotel itu yang sudah dihias secantik mungkin untuk acara hari ini.
Sementara, seluruh staf dan pegawai hotel nampak sibuk mempersiapkan segalanya untuk acara. Halimah tersenyum menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. Ia berjalan menuju ruang makan khusus milik keluarga Maulana di hotel itu.
Halimah tersenyum ke arah suaminya dan menghampirinya. "Papa membutuhkan yang lain?"
Herman menggelengkan kepalanya, "bisa bantu saya untuk berdiri, Halimah?" tanyanya dengan suara yang pelan.
Halimah tersenyum, ia membungkukan tubuhnya dan meraih tangan sang suami yang memegang kursi rodanya dengan kuat. Setelah Herman berdiri, Halimah membantunya berjalan menuju jendela di sana. "Seluruh keluarga kecuali Rangga menginap di sini, acaranya tidak akan terlambat jika Rangga datang tepat waktu."
Herman menghembuskan napasnya pasrah, lagi-lagi Rangga. Anak satu itu selalu saja membuatnya pusing dan kesal di waktu bersamaan. Almarhum Ayahnya Rangga yaitu Rahman Maulana adalah putranya yang nyaris sempurna dalam segala hal, namun kenapa Rangga sangat berbanding terbalik dengannya, ia tak dapat memikirkan alasan dibalik itu.
"Rangga tetaplah Rangga, biarkan saja anak itu!" ucap Herman, ia memperhatikan istrinya dan tersenyum, "ngomong-ngomong, kamu cukup cantik hari ini, Halimah!" kekehnya.
Halimah memukul pelan suaminya itu namun Herman malah tertawa saja. "Ahh saya angkat telepon dulu, permisi ya," ucapnya, lalu ia melirik satu pegawai hotel yang ada di sana, "tolong bantu Pak Ketua," ucapnya yang diangguki oleh pegawai itu.
"๐ป๐๐๐๐ ๐ต๐ข ๐พ๐๐ก๐ข๐ ๐๐ข๐๐๐๐๐๐ ๐บ๐๐๐ข๐, ๐๐๐ ๐๐๐๐๐?"
Halimah mengernyitkan alisnya begitu mendengar sapaan itu, "Pak Kepala Jaksa?"
Terdengar pria di sambungan telepon itu tertawa, "๐ ๐๐ฆ๐ ๐๐๐๐๐๐ โ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐.๐ป๐๐ก๐๐, ๐๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐ฆ๐ ๐ก๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐ก ๐ข๐๐๐๐๐๐๐? ๐๐๐๐โ๐๐ ๐ ๐๐๐๐ก๐๐ ๐ ๐๐๐ข๐๐๐ ๐๐๐๐ข ๐ ๐๐ฆ๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐๐๐ก ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐พ๐๐ก๐ข๐ ๐ป๐๐๐๐๐."
"Benarkah? Apakah staf kami melupakan Bapak? Itu tidak mungkin," ucap Halimah.
Pria itu kembali tertawa, "๐ค๐๐๐๐ข๐๐ข๐ ๐๐๐ข๐๐๐๐๐, ๐ ๐๐ฆ๐ ๐ก๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐ก๐๐๐, ๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐ โ๐๐๐ข๐ ๐ ๐๐ฆ๐ โ๐๐๐๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐ก๐ข," ucapnya.
"Ehh?" heran Halimah, "sebenarnya, ada apa tiba-tiba seorang Kepala Jaksa menelepon?"
"๐พ๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐ข๐โ ๐๐๐ ๐๐๐โ๐๐ ๐๐๐ ๐ก๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐ข๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐โ๐๐ ๐๐๐๐๐๐ฆ๐, ๐ต๐ข ๐ป๐๐๐๐๐โ ๐๐ข๐๐๐๐ก๐!" ucap pria itu dengan nada serius, "๐๐๐๐๐ข ๐๐๐๐๐ก๐ข, ๐๐๐๐๐๐ก๐ ๐๐๐๐๐๐๐ฆ๐. ๐๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐ ๐ข๐๐ก๐ข๐ ๐๐๐ ๐พ๐๐ก๐ข๐ ๐ป๐๐๐๐๐."
Halimah terdiam sambil perlahan menurunkan tangannya yang sedari tadi memegang hanphone dan mendekatkan benda itu dengan telinganya. Ia kemudian melirik suaminya yang masih saja mengobrol dengan beberapa staf hotel dan tertawa bersama di dekat jendela hotel.
"Kenapa, Mama?"
Halimah menoleh karena panggilan mengejutkan dari putri pertamanya, "Widya? Ahh b-bagaimana Reza dan Rizal? Mereka sudah siap?" tanyanya sambil tersenyum.
Widya tersenyum dan menganggukan kepalanya, "berkat Mama, semuanya jadi siap," jawabnya.