~~~
"Salma Natalina? Permisi, hey, kamu dengar saya?" ucap Rangga sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Salma yang nampak melamun.
Salma berjalan menuju ruangan Alden tadi, ia berusaha mengintip lewat kaca kecil yang ada di pintu ruangan. Nampak Alisa sedang memegang tangan Alden, dan Daniel berdiri di belakang Alisa. Ia membuka mulutnya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Kenapa? Sebenarnya ada apa ini?" tanya Rangga. Tanpa alasan, ia malah mengikuti Salma dan ikut mengintip Daniel lalu tersenyum miring. "Wahh akhirnya mereka mirip seperti keluarga!" gumamnya.
Salma melirik ke arah Rangga, ia tak ingat nama pria itu namun ia yakin bahwa pria di hadapannya ini adalah bagian dari keluarga Maulana, mengingat bagaimana kejadian mengejutkan selama di pesta. "Pak Maulana?"
Rangga terdiam di tempatnya, ia yang awalnya menyilang kan tangannya dengan sombong kini mulai menurunkan kedua tangannya dan menatap Salma dengan tatapan tak percaya. "Apa? Barusan bilang apa?" tanyanya.
"Pak Maulana 'kan sahabatnya Pak Daniel-"
"Kata siapa?" potong Rangga. Wajahnya kembali ketus dan ia mengantongi tangan kanannya dengan sombong.
Salma menaikkan satu alisnya, kenapa ia merasa pria ini menyebalkan tanpa sebab. "Bukannya Pak Maulana sering mengunjungi Pak Daniel?"
"Terus kenapa hah? Kenapa?"
"Apa hubungan Pak Daniel sama Alisa?" tanya Salma tanpa ragu. Sebenarnya ia menanyakan hal yang sangat jelas namun ia membutuhkan kepastian, bukan hanya spekulasi pribadinya saja.
Rangga memperhatikan wanita yang lebih pendek darinya itu dengan penuh selidik, "memangnya kenapa?"
Salma hanya menggelengkan kepalanya perlahan, "sampaikan salam saya sama Pak Daniel, saya permisi," pamitnya lalu pergi dari sana.
Rangga menyandarkan tubuhnya pada dinding sambil tersenyum, "dia manggil gue Maulana," gumamnya. Lalu senyuman di wajahnya hilang, ia mendeham dan pergi dari sana dengan tatapan dinginnya seperti biasa.
"Makasih sudah datang," ucap Salma sambil tersenyum, ia kemudian memakai helm dan bersiap menaiki motor yang berhenti di depannya.
"Tunggu!" ucap Revan, ia turun dari motor dan melepas jaketnya, "lo pakai rok pendek dan jas tipis kayak gini, ini tengah malam loh Sal," omelnya sambil memakaikan jaket pada Salma.
Salma hanya terkekeh, "lo nanti kedinginan dong Van," ucapnya.
"Gak usah banyak bacot, ayo naik!" ucap Revan yang sudah kembali ke motornya dan mulai menyalakan mesinnya.
Salma tersenyum dan menaiki motor itu, "selagi lo jomblo, gue boleh meluk 'kan?" ucapnya dengan nada bercanda.
Revan tertawa, "suka-suka lo!" jawabnya.
Rangga memperhatikan setiap gerak-gerik yang Salma lakukan barusan, "dia punya pacar?" gumamnya.
"Rangga? Lo di sini?" heran Reza yang di tangannya terdapat dua cup kopi hangat yang masih mengepul.
Rangga menoleh ke arah Reza, "bukan urusan lo!" ketusnya.
Reza terkekeh, "gue lagi gak ngurusin lo! Gue nunggu Alisa di sini. Lo lihat Alisa gak?" tanyanya.
Rangga mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sangat lucu, ini kebetulan atau memang sudah takdirnya akan seperti ini. Ia hanya menggelengkan kepalanya, lalu pergi dari sana meninggalkan Reza yang masih mematung di tempatnya.
Reza menganggukkan kepalanya lalu kembali masuk ke dalam dan terdiam melihat Alisa yang sedang berjalan ke arahnya. "Alisa? Kamu dari mana saja?" ucapnya khawatir.
Alisa hanya tersenyum, "aku nyari kamu tadi, ayo jenguk Kakek," ucapnya.
Reza menganggukkan kepalanya, ia memberikan satu kopi itu pada Alisa dan satu tangannya yang kosong menggenggam tangan wanita itu.
~~~
Masih jam enam pagi, udara cukup dingin. Salma memakai celana panjang berwarna hitam dan mantel coklat tua. Di tangannya ada beberapa camilan dan juga buah-buahan. Ia berjalan menuju ruangan tempat Alden dirawat. Di koridor tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang tak asing. Ia berhenti sejenak, "Halimah Sucipto? Di rumah sakit?" gumamnya.
"Salma?"
Panggilan itu menghentikan lamunannya, Salma berjalan menuju Daniel yang memanggilnya. Ia memberikan beberapa bawaannya kepada Daniel dan memperhatikan keadaan direkturnya yang kini tampak kelelahan.
"Kamu gak perlu repot-repot Salma," ucap Daniel, ia menyimpan barang bawaan sekretarisnya di atas nakas lalu mengambil kursi dan duduk di samping Salma yang sudah duduk lebih dulu di kursi yang lain.
"Masa datang ke sini tangan kosong," kekeh Salma.
Daniel tersenyum mendengarnya, ia mengenal Salma hanya baru sekitar dua bulan namun entah kenapa ia sudah merasa nyaman berada di dekat gadis itu. "Soal semalam, kamu pulang dengan selamat 'kan?" tanyanya dengan ragu.
"Tentu saja. Ngomong-ngomong, Pak Daniel belum pulang sejak kemarin?" ucap Salma.
Daniel menggelengkan kepalanya perlahan, ia terlihat menggulung kan kemeja putih yang digunakannya. "Setelah apa yang terjadi kemarin, saya jadi kurang percaya sama pembantu saya. Bagaimana dia bisa biarin anak saya seperti itu?" ucapnya. Senyum di wajahnya menghilang, ratapan sedih mulai nampak.
Salma menghela napas perlahan, "Pak Daniel bisa pulang sekarang, biar saya yang nungguin Alden di sini," ucapnya sambil tersenyum menatap Daniel namun direktur itu nampak menatapnya dengan tatapan hampa. "Pak Daniel gak perlu khawatir, tahu sendiri kemarin saya bawa Alden ke sini," ucapnya bercanda.
Daniel terkekeh, "apa saya harus ngasih kamu bonus atas pekerjaan hebat kemarin?" ucapnya. Ia berdiri dan mengenakan jasnya lalu kembali mendekati ranjang Alden.
"Kemarin itu bukan pekerjaan, itu kewajiban sebagai seorang manusia," ucap Salma.
Daniel menoleh ke arah Salma ketika ia mendengar ucapannya, "berarti, wanita yang melahirkannya bukan manusia karena enggak melakukan kewajiban sebagai manusia," ucapnya meratap.
Salma terdiam sejenak, ia menoleh, "dia tetap manusia kok Pak, lagipula saya cuma membual," ucapnya sambil terkekeh.
Daniel kembali tersenyum, "kalau begitu, saya akan pergi sebentar lalu kembali. Selama saya pergi, tolong jaga Alden! Saya percaya sama kamu, Salma," ucapnya.
Salma mengangguk dengan cepat, "Pak Daniel hati-hati di jalan," ucapnya sambil berdiri dan mengantar Daniel hingga ke luar ruangan.
~~~
Rangga keluar dari ruangan rapat lalu melirik Maria yang sedang berbicara dengan kurir pengantar paket. Ia memperhatikan dua orang itu lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat Maria memegangi sebuah map dan tersenyum ke arahnya. Ia baru saja menyelesaikan rapat, ada apa lagi ini.
Maria menyerahkan map itu, "ini dari Pengacara keluarga Maulana, selain itu Pak Rangga harus mengunjungi rumah utama Maulana siang ini," ucapnya.
Rangga hanya meliriknya sekilas tanpa berniat mengambil map yang berisi dokumen yang ia spekulasi kan bahwa itu adalah keputusan Kakek. "Saya tidak berniat membacanya, simpan saja!" ketusnya lalu pergi keluar perusahaan dengan santainya.
Rangga mengendarai mobilnya dan berhenti di depan sebuah mall mewah yang sudah ia jaga dan pertahankan selama hampir 4 tahun. Ia kemudian menerima telepon dari seseorang yang tak ia kenal.
"Hallo?"
"𝑆𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑑𝑢𝑔𝑎, 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟..."
Rangga yang mulanya bersandar kini membetulkan posisi duduknya, "Kakek?"
Herman terdengar tertawa di seberang sana, "𝐾𝑎𝑘𝑒𝑘 𝑑𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡, 𝑘𝑢𝑛𝑗𝑢𝑛𝑔𝑖𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑠𝑎𝑗𝑎," ucapnya sambil terkekeh.
Rangga menghembuskan napas dan berdecak sebal, "tapi Kakek, kenapa-"
"𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑃𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑟𝑚𝑎, 𝐾𝑎𝑘𝑒𝑘 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑛𝑖, 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔𝑙𝑎ℎ!" ucapnya lalu menutup panggilan itu.
Rangga terdiam sejenak, ia memejamkan matanya, nampak sedang berpikir. Setelah beberapa saat, ia menancap gas dan menjalankan mobilnya.
Sementara, seluruh keluarga termasuk Halimah sudah berkumpul bersama di rumah utama keluarga Maulana. Ravi yang duduk di kursi paling ujung hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sama halnya dengan Ravi, Reza dan Rizal pun nampak kehilangan semangatnya.
Darma memasuki ruangan dan berdiri di paling tengah, tangannya membawa sebuah dokumen. Ia menarik kursi dan bergabung di sana. "Seperti sudah diketahui, Pak Ketua Herman Maulana akan membacakan wasiat resminya hari ini namun karena beliau sedang berhalangan karena masalah kesehatannya, beliau memberikan wewenang itu kepada saya. Saya, Darma, sebagai pengacara Pak Ketua Herman, akan membacakan dokumen rahasia ini," ucapnya. Ia lalu membuka dokumen itu perlahan.
Reza yang mengepalkan tangan dan menggertak kan giginya dalam diam hanya berusaha menyembunyikan wajah kesal dan penuh amarahnya.
Ranti memperhatikan setiap orang yang berada di sana dan entah kenapa ia merasakan suasana yang agak berbeda dari biasanya.
"Pagi tadi, kalian menerima sebuah map yang berisikan dokumen penting. Kalian pasti bertanya-tanya, siapa yang mendapatkan posisi direktur milik Pak Ketua itu," ucap Darma. Ia membalik lembar demi lembar, "dalam seratus hari, posisi direktur akan diberikan jika seorang cucu telah memenuhi syarat yang diminta oleh Pak Ketua. Jika tidak memenuhi persyaratan, posisi itu akan diberikan secara sukarela kepada seseorang pilihan yang tertanda Ranti Dwitama."
"Saya?" tunjuk Ranti pada dirinya sendiri yang nampak keheranan.
"Yang tertanda, putra pertama Almarhum Rahman Maulana dan Almarhumah Lina Amalia, Rangga Maulana resmi terpilih sebagai calon penerus Herman Maulana, sebagai seorang direktur baru dari SuperOne Group dalam seratus hari ke depan. Terima kasih," ucap Darma.
Widya mengerutkan keningnya, tangannya meremas pakaian yang dikenakannya. "Rangga?" herannya.
Nadia hanya menampilkan senyum tak senangnya, meski begitu ia menggenggam tangan Ravi yang duduk di sampingnya.
"Jika Rangga gagal dalam seratus hari, cucu yang lain memiliki kesempatan, benar?" gumam Anton yang duduk di samping Nadia.
Darma menganggukkan kepalanya, "begitu menurut surat resmi yang ditulis oleh Herman Maulana," ucapnya.
Reza melirik ke arah Widya dan menyunggingkan senyuman tipis. Sementara Rizal hanya menghela napas pasrah seakan tak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.
Ravi menyunggingkan senyum sinis, "kegagalan si brengsek adalah segalanya..." gumamnya pelan.