Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 18 - Bagian Delapan Belas : Pagi di Tempat Asing

Chapter 18 - Bagian Delapan Belas : Pagi di Tempat Asing

~~~

Masih terlihat buram, ia menggeliat dan berusaha membuka matanya. Rangga perlahan terduduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. Setelah cukup sadar, ia memperhatikan sekelilingnya, ruangan kecil dan asing. Ia berusaha mengingat kejadian semalam namun tak berhasil karena kepalanya masih berat dan ia merasa sangat pusing.

"Pak Rangga?" panggil Salma yang baru masuk. Ia sudah terlihat rapi dengan celana jeans dan kaos merah muda berjaket putih dan membawa mangkuk berisi bubur. Ia menyimpan mangkuk itu di atas meja lalu menghampiri Rangga yang nampak linglung.

Rangga masih tak memahami situasi saat ini, ia kemudian melirik pakaiannya yang berbeda dari baju yang ia kenakan kemarin. Ia melirik Salma yang berdiri di depannya penuh tanda tanya.

Salma hanya mengedip-kedipkan matanya sambil menatap Rangga penuh heran. "Ahh itu, baju kamu kotor makanya saya cuci, gak apa-apa 'kan?"

Rangga perlahan menggelengkan kepalanya, ia masih terduduk di atas kasur dan memijat pelipisnya perlahan. "Bukan itu Salma..."

Salma menarik kursi dan duduk menghadap ke arah Rangga, "kenapa?"

Rangga menunjuk sekujur tubuhnya dengan canggung dan tak berani menatap Salma. "I-itu... ini..."

"Ahh, bukan saya yang mengganti baju Pak Rangga. Saya minta bantuan sama petugas keamanan. Kamu gak perlu khawatir," ucap Salma canggung.

Rangga mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, "dan juga semalam, gak ada ke... ja... dian apa-apa 'kan?" tanyanya dengan ragu.

Salma terdiam sejenak, ia kemudian menggelengkan kepalanya.

Rangga membuang napas lega, "untunglah..." gumamnya.

"Pak Rangga membutuhkan sesuatu? Saya barusan beli-"

"Air. Tolong air putih saja," ucap Rangga.

Salma menganggukkan kepalanya dan segera berdiri mengambil gelas di atas meja lalu mendekati galon kecil di samping kompor listrik kecil miliknya.

Rangga memperhatikan gerak-gerik Salma dan mengernyitkan keningnya, nampak heran. "Tempat kecil itu isinya air? Apa airnya bersih?"

Salma terkejut dengan pertanyaan barusan, ia kembali berjalan mendekati Rangga dan menyerahkan segelas air itu. "Di rumah orang kaya pasti gak ada benda semacam itu 'kan?" ucapnya.

Rangga meraih gelas itu dan memperhatikannya dengan cermat. Ia sangat ingin meneguk segelas air itu namun berbagai keraguan muncul dalam benaknya.

"Pak Rangga pikir saya memasukkan racun di air minum saya sendiri?" heran Salma.

Mendengar ucapan itu membuat keraguan Rangga hilang dan ia pun meneguk air itu sampai habis lalu kembali memberikan gelas itu pada Salma yang duduk di kursi yang menghadap ke arahnya.

Salma mengambil gelas itu dan meletakkannya di atas meja, ia kembali menoleh ke arah Rangga dan menggelengkan kepalanya melihat pemuda berwajah ketus namun tampan itu. "Apa semua orang kaya selalu begini?"

"Gimana?" tanya Rangga.

"Sombong, ketus, dan penuh ragu?" gumam Salma.

Rangga melirik ke arah Salma dengan tatapan datar, "memang benar, semua tanaman berduri memiliki duri, tapi menurut sekretaris Salma, apa semua duri itu bisa menyebabkan luka?" gumamnya.

"Enggak!" jawab Salma tanpa ragu.

"Meski begitu, kamu tetap merasa kalau semua orang kaya sama?" tanya Rangga.

"Hmm sama!" jawab Salma sambil membalikkan badannya dan mengambil sendok, bersiap untuk menyantap bubur miliknya. "Mereka sama-sama banyak uang!" ucapnya asal.

"Lo nyebelin juga!" ketus Rangga.

Salma menyunggingkan senyum, ia berdiri lalu duduk di depan Rangga. Di tangannya ada semangkuk bubur utuh yang belum ia sentuh, ia memberikan mangkuk itu pada Rangga.

Rangga memperhatikan Salma tanpa mengambil mangkuk di tangan wanita itu. Tak peduli seberapa egois dirinya, ia masih memikirkan wanita itu dan merasa tak enak jika harus makan sendirian.

"Ambil... atau mau disuapin?" tawar Salma.

"Terus kamu bagaimana? Jangan pura-pura baik sama saya, padahal kamu sendiri kelaparan!" ketus Rangga.

"Saya sudah makan, tadi di luar, sebelum Pak Rangga bangun," ucap Salma dengan santainya.

"Hah?" heran Rangga. "Dasar lo!" gerutunya. Ia dengan cepat mengambil mangkuk itu dan mulai memasukkan suapan pertama ke mulutnya.

Salma berdiri mengambil air lalu menyimpannya di nakas kecil di samping tempat tidur dan kembali duduk di kursi yang menghadap ke arah tempat tidur, memperhatikan Rangga yang sedang makan dengan tenang.

"Ngomong-ngomong, ini satu kamar sewaan 'kan? Semalam kamu tidur di mana?" tanya Rangga ketika ia sudah menyelesaikan makan paginya. Ia menyimpan mangkuk bekas itu di atas nakas dan mengambil segelas air untuk ia minum.

"Di samping Pak Rangga!" jawab Salma dengan santainya.

Mendengar jawaban konyol itu, Rangga yang sedang minum tiba-tiba tersedak dan menatap Salma dengan tatapan tak percaya. "Apa kamu bilang? Di sini? Kamu gila?" ucapnya sambil menunjuk kasur tempat ia duduk.

Salma tak bisa menahan tawanya hingga ia malah tertawa melihat wajah Rangga yang terkejut. Ia menggeleng dengan tegas, "lagipula... bukankah tiga bulan lagi... kita harus menikah?" tanyanya tanpa ragu.

Wajah terkejut Rangga berubah menjadi sebuah senyuman tipis, dan ia berdiri dengan cepat lalu berhadapan dengan Salma yang duduk di kursi dengan santai. "Apa yang kamu bilang barusan? Jangan-jangan kamu..."

Salma mengadahkan kepalanya ke atas, menatap Rangga yang berdiri menjulang di hadapannya. "Tawarannya masih berlaku 'kan?"

"Tentu saja. Selama sekretaris Salma mau!" jawab Rangga dengan puas. "Tapi kenapa berubah pikiran secepat itu?" herannya.

Salma berdiri dan memperhatikan Rangga dengan seksama, "kalau dipikir-pikir, kapan lagi bisa berhubungan dengan orang kaya? Apalagi tanpa modal dan gak bakal rugi," ucapnya.

Rangga tersenyum mendengarnya, "benar. Berhubungan dengan saya gak akan pernah rugi, percaya!" ucapnya dengan penuh percaya diri.

"Tapi tiga bulan... terlalu... itu terlalu cepat," gumam Salma.

"Makanya, saya sama sekretaris Salma, kita bisa saling mengenal satu sama lain. Asal jangan lebih dari tiga bulan. Berapa lama waktu yang saya butuh agar bisa dekat dengan sekretaris Salma? Satu bulan? Dua bulan? Dua bulan setengah? Saya siap!" ucap Rangga.

Salma menyipitkan matanya menatap Rangga, "bicara Pak Rangga terdengar hebat dan meyakinkan, mungkin karena kamu pebisnis?" gumamnya.

"Saya serius!" ketus Rangga.

"Entahlah. Saya kurang yakin. Apa saya bisa dekat dengan kamu?" ucap Salma.

"Kalau begitu, anggap saya sebagai seorang teman. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk berteman dengan seseorang?" tanya Rangga dengan lebih meyakinkan lagi.

"6 tahun ?" jawab Salma tanpa keraguan.

"Apa? 6 tahun? Kamu gila atau apa? Semua saudara saya pasti sudah menikah dan bahkan punya anak. Sedangkan saya baru bisa mengenal kamu? Warisan pasti berkarat! Pak Ketua Herman Maulana masih hidup saja saya gak yakin!" ucap Rangga yang meledak penuh amarah.

"Ini masalah kamu!" ketus Salma.

"Hah? Bilang apa kamu barusan?"

"Kamu mudah marah, aneh, gak kompeten, egois dan pura-pura hebat padahal gak pernah berubah!" ucap Salma.

Rangga membuka mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Barusan kamu bilang apa? Aneh? Egois? Mudah marah? Kamu sekarang-"

"Oke! Maafkan saya," ucap Salma mengalah.

"Dasar orang aneh!" umpat Rangga. "Terus gimana ini akhirnya?" ketusnya.

"Tapi... setelah tiga bulan, dan Pak Rangga juga saya, kita sudah saling mengenal. Apa kita akan menikah?" tanya Salma dengan serius.

"Soal itu biar saya yang putuskan! Menikah atau enggak, itu keputusan saya. Selama tiga bulan, kita hanya harus dekat dan saling menunjukkan ketertarikan masing-masing," ucap Rangga.

"Kok gitu? Berarti saya gak punya hak apa-apa dong?" ucap Salma tak percaya.

"Ini aset milik Kakek saya, bukan Kakek kamu," ucap Rangga dengan santainya. "Lagipula, seperti kata saya tadi, kamu gak akan rugi apa-apa. Atau... kamu jangan-jangan beneran mau menikah dengan saya?" tebaknya penuh kecurigaan.

"Hah? Selama menguntungkan buat saya, kenapa enggak?" ucap Salma sambil menggaruk belakang kepalanya.

~~~

Rangga membuka pintu rumahnya, sebuah bangunan berlantai dua yang berada di dekat SuperMall. Meski berdekatan dengan mal dan kantor perusahaannya, Rangga jarang mendatangi bangunan ini. Ia biasa tidur di lantai teratas kantornya setiap malam.

Ia langsung berjalan menuju kamar tidurnya dan kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Di depan cermin, ia memperhatikan dirinya sendiri yang hanya memakai celana training hitam dan kaos polos abu-abu, pakaian milik Salma.

Ia memegang kepalanya sendiri dan nampak sedang berpikir dengan serius. Jika tahu Salma akan menerima tawarannya seperti ini, kenapa ia harus khawatir. Karena sudah begini, ia harus memperlakukan Salma dengan baik dan menduduki tahta yang selama ini ia idamkan. Setelah itu, ia bisa membuang Salma seenaknya.

"Tapi Salma cukup tangguh, dia juga cerdas," gumam Rangga.

Sementara, Salma kembali dari ruangan Daniel dan duduk di meja miliknya. Ia meneguk kopi dan melirik meja milik Jenny yang kosong, padahal tadi ia masih berbincang dengan gadis itu. "Jenny kemana?"

"Jenny pergi ke Kejaksaan," jawab Rania. "Gue juga mau langsung ke sana sekarang," lanjutnya yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.

"Kejaksaan?" heran Salma.

"Kepala Jaksa Agung, Pak Cahyo Utomo akan ikut serta di program yang dikembangkan pemerintah. Itu loh PKR, Proyek Kesejahteraan Rakyat," jelas Rania. "Pamit ya," pamitnya sebelum ia meninggalkan ruangan itu.

"Pak Cahyo Utomo? Kesejahteraan Rakyat?" gumam Salma. Ia kemudian membuka handphone-nya dan melihat ada beberapa pesan masuk di sana. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan dari Rangga yang berada di urutan teratas dan mengatakan bahwa dirinya akan menjemputnya malam nanti. "Rangga Maulana benar-benar!" gumam Salma.

Setelahnya, Salma kembali membuka internet dan kembali mengetikan nama Rangga Maulana. "Dia benar-benar putranya Almarhum Rahman Maulana," gumamnya.