Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 20 - Bagian Dua Puluh : Belanja

Chapter 20 - Bagian Dua Puluh : Belanja

~~~

Daniel menekan tombol lantai dasar lalu berjalan menuju ruang staf, di sana hanya ada Rania yang sedang meminum kopi di sofa pertemuan terbuka. Kedatangannya membuat gadis itu menoleh, ia pun menghampirinya dan duduk di sana.

"Kamu mau kopi?" tawar Rania.

"Nanti saya buat sendiri," ucap Daniel, "ngomong-ngomong, kemana semua orang? Salma pulang?" tanyanya.

"Semuanya pulang kecuali Nina yang sedang keluar untuk berita dan saya sedang menunggu Nina," jawab Rania. "Tapi kenapa kamu belum pulang?"

"Masih ada beberapa hal yang harus diurus, makanya saya butuh bantuan kamu karena Salma enggak ada. Kamu senggang?"

Rania menganggukkan kepalanya, menandakan ia menyetujui tawaran atasannya itu karena memang dirinya sedang tidak ada pekerjaan. "Pak, Mbak Salma pacaran sama Pak Rangga ya? Tadi saya lihat mereka pergi bersama," ucapnya.

Daniel terdiam selama beberapa saat, "entahlah, itu urusan mereka," jawabnya.

~~~

Keduanya - Rangga dan Salma - sudah duduk bersama di restoran VIP yang berada di lantai dua SuperMall. Rangga nampak memilih-milih menu dengan santainya sedangkan Salma hanya terdiam di tempatnya. Menyadari keanehan gadis itu, Rangga menyimpan buku menu dan beralih memperhatikan gadis yang duduk di hadapannya itu.

"Kenapa lagi?"

Salma yang awalnya memperhatikan sekeliling kini beralih menatap Rangga dan menggelengkan kepalanya. "Pak Rangga belum makan?"

"Sudah. Tapi takutnya kamu belum makan makanya saya ke sini," jawab Rangga lengkap dengan penjelasannya.

"Saya juga sudah makan," ungkap Salma. Ia membuang napasnya panjang, "tapi karena sudah di sini, saya pesan minuman saja," ucapnya. Ia mulai bergerak mengambil buku menu.

Rangga memesankan dua minuman dan mereka kini hanya tinggal menunggu pesanan saja. Rangga hanya menyandarkan tubuhnya dengan santai seakan berada di rumah miliknya sendiri sedangkan Salma hanya terdiam memainkan tasnya yang berada di atas meja.

Minuman datang, Salma menyeruputnya sedikit dan kembali terdiam. Rangga yang berada di hadapannya hanya merasa canggung dan tak nyaman.

"Salma, kamu ini lagi ada masalah ya?"

"Enggak!" jawab Salma.

"Oh..." singkat Rangga, ia meminum minumannya sekilas dan kembali bersandar.

"Pak Rangga, tadi di mobil, kamu bertanya soal keinginan saya 'kan?" tanya Salma, sebuah senyuman tipis mulai tercetak di wajahnya.

"Enggak," jawab Rangga acuh.

"Kalau begitu, saya pamit-" ucap Salma yang beranjak berdiri dan memegang tas tangannya.

Rangga dengan gerak cepat menghentikan gadis itu, "iya saya bertanya. Duduk!" ketusnya.

Salma menampilkan senyumnya sambil kembali terduduk, "keinginan saya banyak!"

Rangga melirik Salma malas, "apa saja?"

"Pertama, saya mau bertemu Pak Ketua Herman Maulana," ucap Salma.

Rangga menyipit penuh selidik, "mau apa sama Kakek?" ketusnya.

"Ada yang harus dibicarakan tentu saja, memangnya mau apa lagi," jawab Salma.

"Enggak bisa!"

"Kenapa?" tanya Salma.

"Kakek di rumah sakit," jawab Rangga.

"Hah? Pak Ketua lagi sakit?"

"Mungkin. Dia hampir tinggal di rumah sakit dan buang-buang uang karena penyakitnya yang gak guna itu. Kalau bukan hal penting, telepon saja!" ketus Rangga.

"Enggak sopan dong, memangnya Pak Ketua sakit apa?"

"Aish! Wanita ini!" umpat Rangga, "mana saya tahu, mungkin karena dia sudah tua dan gak mungkin sembuh lagi kalau begitu. Itu enggak bisa, keinginan yang lain saja!" ucapnya.

Salma mendelik kan matanya kesal, "kalau begitu, tolong bilang ke Pak Daniel-"

"Daniel? Kenapa harus bawa-bawa orang itu segala?" sewot Rangga.

"Makanya dengarkan saya dulu!" balas Salma tak ingin kalah dengan amarah pemuda itu. "Bekerja sebagai sekretaris gak akan bisa bantuin kamu, jadi saya harus menjadi reporter agar bisa bantuin kamu, gimana?"

"T-tunggu, Salma. Memang saya kelihatan kaya orang yang butuh bantuan? Bantuan apa yang kamu maksud?"

"Bantuan yang dimaksud oleh Pak Ketua Herman Maulana! Bukankah itu alasan Kakek kamu pilih saya? Karena saya harus bantu kamu?" ucap Salma.

Rangga semakin mengerutkan keningnya, entah kemana arah pembicaraan mereka, yang ada ia tak mengerti dengan maksud gadis itu. "Jadi saya harus gimana?"

"Tolong yakinkan Pak Daniel kalau saya harus jadi reporter, dan biarkan orang lain yang jadi sekretaris pribadinya. Soal itu, misalnya Rania atau siapapun lah," ucap Salma.

"Jujur saja Salma, ini hanya alasan 'kan? Kamu sejak awal enggak mau posisi itu, dan kamu sedang memanfaatkan saya sekarang," ucap Rangga.

Salma menghela napas berat dan terkekeh, berbicara dengan Rangga hanya akan membuatnya kesal saja. Namun, ucapan pemuda itu tak semuanya salah, tapi tetap saja hal itu membuatnya terlihat buruk soal posisi sekretaris. Ia berdiri dan mengambil tas tangannya, "saya permisi," pamitnya.

Rangga kembali mengumpat, namun ia tetap berdiri dan mengejar Salma. "Sebelum pulang, kamu harus belanja dulu," ucapnya sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan gadis yang berdentum-dentum itu.

"Buat apa?" singkat Salma dengan ketusnya.

"Rumah kamu kosong, seenggaknya harus ada makanan 'kan?" ucapnya yang berhasil membuat gadis itu terdiam dan menatapnya.

"Kenapa kamu peduli?" tanya Salma.

"Mall ini milik saya, silakan ambil yang kamu mau," ucap Rangga dengan bangganya.

Salma terkekeh, "ahh jangan berbohong! Apa maksud omongan kamu itu!" ucapnya.

"Sudah saya duga, tapi ini memang milik saya... ahh sebenarnya masih milik SuperOne, tapi kalau kamu berhasil bertahan, ini akan jadi milik saya. Oleh karena itu, silakan ambil yang kamu mau, makanan? Baju? Atau apapun yang ada di sini," ucap Rangga.

Salma menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Rangga dalam diam, matanya agak menyipit, merasa miris pada pria itu.

"Kamu masih gak percaya?" tanya Rangga.

"Oke baiklah. Saya akan mengambil semua yang saya mau, dengan gratis tanpa biaya! Puas?" ucap Salma. Setelahnya ia berdiri di ujung eskalator, ia melirik Rangga yang masih berjalan di belakangnya dengan malu-malu.

Menyadari kegelisahan Salma, Rangga dengan santainya kembali meraih tangan Salma dan menggenggamnya lalu bersama menuruni eskalator.

Setelahnya, seperti ucapan Rangga tadi, Salma mengambil beberapa makanan yang ia inginkan. Meski begitu, ia tetap merasa ragu dan beberapa kali melirik Rangga yang berjalan di belakangnya.

"Fokus belanja saja!"

Salma mendeham dan berusaha untuk tak mempedulikan Rangga. Namun tetap saja ia tak nyaman jika harus begini. Alhasil, ia mempercepat belanjanya dan berjalan menuju kasir dengan troly yang ia dorong.

Rangga mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, ia dengan senyuman di wajahnya menyodorkan kartu itu pada penjaga kasir, "mohon bantuannya," ucapnya.

"Ehh Pak Direktur?" ucap gadis penjaga kasir itu yang terkejut.

Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan percaya diri sambil melirik Salma yang berada di sampingnya dengan singkat.

Salma hanya mencibir Rangga dalam diam, pria menyebalkan itu selalu saja membuatnya kesal tanpa alasan.

Kemudian, Rangga kembali menjalankan mobilnya untuk mengantar Salma pulang. Tak butuh waktu lama, keduanya sampai di depan gerbang tempat Salma menyewa kamarnya.

Salma turun dari mobil dengan beberapa tas belanjaan diikuti juga oleh Rangga yang berjalan ke arahnya.

"Terima kasih, Pak Rangga," ucap Salma.

"Hmm," jawab Rangga, ia lalu melirik sebuah bangunan dimana Salma tinggal, "tempat ini, kamarnya terlalu kecil, kenapa enggak pindah saja?"

"Di sini murah," jawab Salma tanpa berpikir terlebih dahulu.

Rangga mengangguk dengan cepat, tak berniat melanjutkan percakapannya, "kalau begitu, silakan masuk dan beristirahat, saya pamit," ucap Rangga.

"Hati-hati di jalan," ucap Salma.

Rangga kembali mengangguk sambil berjalan mendekati mobilnya, meski begitu ia beberapa kali menoleh ke arah Salma dan tersenyum tipis.

Rangga menjalankan mobilnya setelah ia memastikan Salma memasuki rumah kontrakannya. Ia mengarahkan mobilnya menuju perusahaannya yang berada tak jauh dari mall tadi. Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan masuk dengan tenangnya, sudah sepi tak ada orang di sana.

Membuka ruangan pribadinya lalu merebahkan tubuhnya di sofa panjang dan memejamkan matanya, "ada apa antara Salma dan Kakek?" gumamnya.

~~~

Salma keluar dari kamar mandi setelah membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Ia kemudian duduk di kasurnya dan memperhatikan seluruh isi ruangan, memang sangat kecil. Di ruangan yang sempit itu hanya ada satu tempat tidur berukuran sedang, lemari pakaian dan meja belajar, ada juga kamar mandi yang berukuran kecil di dekat pintu masuk.

Ia kemudian mengambil laptop di atas meja dan membukanya, memeriksa sebuah pesan masuk dimana Jenny sudah mengirimkan sebuah file padanya. Sebelum itu, ia meraih jam tangan emas merah muda di atas meja dan membongkar jam tangan itu tanpa ragu.

Salma mengambil sebuah kartu memori yang selama ini tersimpan rapi di dalam jam tangan setianya. Ia tak pernah mencari tahu isi memori itu karena kenangan buruk di baliknya sangat menyiksa dan terlalu menyakitkan untuk diingat. Namun untuk hari ini, ia melawan dirinya sendiri dan berusaha meyakinkan hatinya untuk menerima kenyataan mengingat sebuah kebenaran yang harus ia ungkap sekarang.

6 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐥𝐚𝐥𝐮

𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛 𝑑𝑢𝑎 𝑒𝑠 𝑘𝑜𝑝𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑑𝑖 𝑝𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑜𝑗𝑜𝑘 𝑘𝑎𝑓𝑒 𝑎𝑔𝑎𝑟 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑛𝑎. 𝐼𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑙𝑎𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑛𝑑𝑝ℎ𝑜𝑛𝑒 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡 𝑗𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖. "𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑑𝑖𝑎?" 𝑔𝑢𝑚𝑎𝑚𝑛𝑦𝑎.

"𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎?" 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑔𝑖𝑙 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑒𝑗𝑎 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘-𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑟𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑜𝑠 𝑝𝑢𝑡𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛. 𝑃𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑚𝑏𝑢𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑜𝑛𝑖 𝑖𝑡𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑟𝑎𝑔𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑑𝑖 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑎𝑖ℎ 𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑚𝑖𝑛𝑢𝑚𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑚𝑒𝑗𝑎 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑛𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎.

"𝐾𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑒𝑚𝑢 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑛𝑖? 𝑃𝑎𝑑𝑎ℎ𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎𝑎𝑛," 𝑢𝑐𝑎𝑝 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎.

𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏, 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑖𝑡𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑝𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑔𝑎𝑑𝑖𝑠 𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘.

"𝐺𝑢𝑒 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑎𝑚𝑏𝑢𝑡 𝑙𝑜ℎ, 𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛!" 𝑢𝑐𝑎𝑝 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎.

𝑃𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑑𝑢𝑎 𝑝𝑢𝑙𝑢ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑘𝑒ℎ, "𝑚𝑎𝑢 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑎𝑢 𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘, 𝑙𝑜 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑗𝑒𝑙𝑒𝑘 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎!" 𝑢𝑐𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎.

𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑏𝑖𝑟𝑛𝑦𝑎, "𝑛𝑔𝑜𝑚𝑜𝑛𝑔-𝑛𝑔𝑜𝑚𝑜𝑛𝑔, 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑜 𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑢𝑘𝑡𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑢, 𝑚𝑎𝑛𝑎?" 𝑡𝑎𝑔𝑖ℎ𝑛𝑦𝑎.

𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚, 𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑘𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑑𝑎 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑖𝑡𝑢 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎, "𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑙𝑜," 𝑢𝑐𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎.

𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑡𝑎𝑝 𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎, 𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢 𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛𝑦𝑎, 𝑖𝑠𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑤𝑎𝑟𝑛𝑎 𝑒𝑚𝑎𝑠 𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑚𝑢𝑑𝑎. 𝐼𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑛𝑦𝑖𝑡, "𝑙𝑜 𝑘𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎 𝑡𝑖𝑏𝑎-𝑡𝑖𝑏𝑎 𝑛𝑔𝑎𝑠𝑖ℎ..." 𝑖𝑎 𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑢𝑐𝑎𝑝𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎.

𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑚𝑝𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎, "𝑘𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑎𝑡-𝑖𝑛𝑔𝑎𝑡, 𝑔𝑢𝑒 𝑔𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑛𝑔𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑎𝑝𝑎𝑝𝑢𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑙𝑜. 𝑀𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 𝑖𝑛𝑖 ℎ𝑎𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎," 𝑢𝑐𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎.

"𝐴𝑝𝑎𝑎𝑛 𝑠𝑖ℎ 𝐻𝑎𝑛, 𝑔𝑢𝑒 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑘𝑢𝑡," 𝑟𝑒𝑛𝑔𝑒𝑘 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎.

"𝐺𝑎𝑘 𝑚𝑎ℎ𝑎𝑙 𝑘𝑜𝑘 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎𝑛𝑦𝑎, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑒𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑙𝑜 𝑠𝑢𝑘𝑎. 𝐺𝑢𝑒 𝑝𝑎𝑚𝑖𝑡," 𝑢𝑐𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎.

"𝐻𝑎ℎ? 𝐻𝑎𝑛? 𝐿𝑜 𝑚𝑎𝑢 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎?" 𝑘𝑎𝑔𝑒𝑡 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎.

𝑅𝑎𝑦ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑚𝑏𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑓𝑒, 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑝𝑢𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚. 𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟ℎ𝑎𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑏𝑎-𝑡𝑖𝑏𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑝𝑢.

𝑩𝒓𝒂𝒌𝒌𝒌!!

𝑆𝑎𝑙𝑚𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑒𝑟𝑎𝑛𝑗𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑙𝑖ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑡𝑎𝑝 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑛𝑎, 𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑡𝑢ℎ 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑗𝑎.

"𝑅𝐴𝑌𝐻𝐴𝑁?!!!"