~~~
Beberapa pegawai resmi dari DN News berjalan menuju restoran di seberang jalan perusahaan malam ini. Malam yang sunyi dan hanya terdengar suara kendaraan bersama hawa dingin terasa berbeda ketika mereka berkumpul dan bersatu di tempat yang hangat.
Melihat betapa akrab dan dekatnya para pegawai di bawah naungan dirinya membuat Daniel senang tanpa alasan. Di usia mudanya ia mampu membimbing mereka semua berkat kerja kerasnya selama ini. Ia masih berdiri di luar restoran dan sedang berbicara lewat telepon.
Salma dan Rania berjalan bergandengan menuju restoran, namun tautan lengan mereka terlepas ketika mereka berpapasan dengan Daniel yang baru selesai menelepon.
"Siapa?" tanya Rania, bermaksud menanyakan siapa yang berbicara dengan direktur itu.
"Alden, dia mau saya pulang sekarang," jawab Daniel.
"Kalau begitu pulang saja!" ucap Rania tanpa ragu.
Daniel tersenyum miring, "mana bisa..." gumamnya singkat. Ia kemudian melirik Jenny yang tengah berjalan ke arah mereka, "kenapa? Kamu gak bisa ikut makan malam lagi?" tanyanya.
Jenny tersenyum canggung dan mengangguk ragu, "saya sudah ditunggu seseorang, jadi mungkin lain kali saja Pak Daniel," ucapnya.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan, ayo Rania, Salma," ajak Daniel yang berjalan lebih dulu lalu diikuti Rania di belakangnya.
Salma masih berdiri di sana bersama Jenny, "lo segitu sukanya kumpul akhir pekan bareng mereka? Orang-orang gak waras itu," ucap Salma.
"Mereka seru Mbak, daripada makan malam formal gini," jawab Jenny. "Ahh Kak Alan datang, gue permisi ya Mbak," pamitnya lalu berlari menyeberangi jalan dan menghampiri sebuah motor yang berhenti di sana.
Salma hanya mencibirnya, ia sebenarnya tak terlalu peduli dengan kehidupan Jenny, namun mengingat Jenny yang tiba-tiba dekat dengan Alan membuatnya agak tak senang. Pasalnya, ia dan Alan sudah dekat sejak SMA dan kini ia merasa cemburu tanpa alasan.
Tak ingin memikirkan hal lain, Salma memilih untuk memasuki area restoran dan makan malam di sana. Namun, langkahnya terhenti karena tangannya dipegang oleh seseorang secara tiba-tiba. Ia tahu siapa itu namun entah kenapa ia masih terkejut dan menepisnya dengan cepat, lalu tanpa sengaja sebuah gunting kecil ia arahkan pada orang yang kini di hadapannya itu.
Rangga tersentak begitu Salma menodongnya dengan benda kecil yang tajam itu, ia mengambil gunting di tangan Salma dan membuangnya dengan kasar. "Lo gila?" amuknya.
Salma tiba-tiba tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya, "saya kaget!" ucapnya.
"Gue yang lebih kaget! Akh dasar wanita!" umpat Rangga. Meski begitu ia meraih tangan Salma dan menyeretnya pergi dari sana.
"Saya mau makan malam di sana!" tegas Salma.
"Mending makan malam sama saya!" tegas Rangga.
Rangga membukakan pintu mobil untuk Salma dan memastikan gadis itu memasuki mobilnya. Setelahnya giliran ia yang masuk ke mobil dan mulai menjalankannya.
Daniel yang memperhatikan hal itu hanya menghela napas dalam diam.
Sementara, kedua mata Alan terfokus pada Salma sejak gadis itu melakukan kebiasaan menyeramkan-nya yaitu menodong benda tajam dan lalu seorang pria berjas misterius menyeretnya pergi dari sana.
"Dia-dia Salma 'kan? Dia sama siapa?" heran Alan.
"Itu Direktur Rangga, mereka dirumorin pacaran," jawab Jenny.
Salma memasang sabuk pengaman dengan wajah kesalnya, setelahnya ia hanya menatap jalanan di luar sana.
Rangga yang mulai menjalankan mobilnya sesekali melihat ke arah Salma, wanita itu nampak sangat marah padanya. "Lain kali juga bisa makan malam lagi, gak usah dibawa serius," ucapnya datar.
Salma melirik Rangga sekilas, "kalau begitu kita makan malam sekarang, gimana?" ucapnya setengah niat setengah kesal.
Sebuah senyum tipis tergambar di wajah Rangga namun sebisa mungkin ia berusaha menyembunyikannya. "Oke! Mau dimana? Apa ada sesuatu yang kamu mau?"
Salma terdiam dan berpikir keras, tak mungkin ia menyebutkan mie ayam atau nasi goreng yang selalu ia makan hampir setiap malam. Ia pun berusaha mencari-cari nama makanan yang biasanya ada di restoran mewah. "Pasta! Pasta saja," ucapnya pada akhirnya.
"Pasta?" gumam Rangga, ia menganggukkan kepalanya dengan cepat, "Oke!" singkatnya.
Tak butuh waktu lama, Rangga menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran yang nampak ramai. Rangga keluar dari mobil lebih dulu lalu ia berjalan ke arah Salma dan membukakan pintu mobil.
"Ayo keluar, Salma Natalina," ucap Rangga, dan senyuman itu kembali muncul di wajahnya.
Salma keluar dari mobil lalu terdiam menganga di depan restoran itu. Tangannya yang memegang tas semakin ia rekatkan. Restoran mewah yang berdiri di hadapannya bukanlah sembarang restoran. Ini adalah tempat yang selalu ingin ia kunjungi. Restoran dengan masakan internasional yang sangat terkenal di sana.
Rangga mengunci mobil dan berdiri di samping Salma, mengikuti langkah wanita. "Kamu pernah ke sini?" tanyanya.
"Belum!" jawab Salma.
"Kalau begitu, saya orang pertama yang menemani kamu makan malam di restoran ini," ucap Rangga sambil tersenyum.
"Hmm, itu suatu kehormatan," gumam Salma.
Rangga mendecih pelan, ia menarik pergelangan tangan Salma dan menggenggamnya lalu menunjukkan tautan tangan itu pada Salma. "Boleh 'kan?" tanyanya.
Salma menoleh ke arah sampingnya dan matanya pun tak sengaja bertemu dengan kedua bola mata coklat milik pria itu. Jantungnya tiba-tiba berdebar dan sebuah potongan bayangan muncul di benaknya, sebuah wajah pria setengah baya yang mirip dengan Rangga. Ia pun mengangguk tanpa ragu.
Rangga memesan meja pribadi dimana keduanya mulai duduk di sebuah ruang makan yang mewah. Salma duduk lebih dulu sementara Rangga sedang berbincang dengan beberapa staf di restoran itu. Setelahnya, Rangga berjalan menghampiri meja itu dan duduk di depan Salma.
"Kamu minum alkohol?" tanya Rangga pada Salma dengan santainya.
Salma menyatukan alisnya nampak bertanya-tanya.
Dengan diamnya Salma, Rangga menduga bahwa gadis itu tidak minum alkohol. "Enggak ya," gumamnya.
"Kamu tahu kalau alkohol itu gak diperbolehkan di negara kita, bahkan agama juga melarang," ucap Salma.
Tangan Rangga yang sedang menuangkan anggur pada gelas kecilnya terhenti, ia pun terkekeh sarkas. Ia menghentikan tindakannya dan berjalan membawa sebotol anggur dan gelas yang sudah terisi setengahnya itu keluar ruangan.
Salma menghembuskan napasnya lelah, lagi dan lagi ia menyesal telah berniat membantu Rangga. Ia tahu bagaimana sikap buruk pria itu namun tetap saja dirinya berusaha menerima dan memahami pria itu.
Rangga kembali setelah beberapa saat, di tangannya terdapat dua minuman berwarna merah muda. Sambil tersenyum, ia memberikan salah satu minumannya pada Salma. "Tanpa alkohol," ucapnya.
Setelahnya, beberapa staf restoran hadir dan menghidangkan pasta, kemudian mereka kembali meninggalkan ruangan. Salma membuka mulutnya melihat sebuah piring berisi hidangan pasta yang baru pertama kali ia lihat secara langsung seumur hidupnya. Dari tampilannya yang cantik saja, ia dapat mengetahui harga makanan tersebut.
~~~
Jordy membuka pintu restoran ayam dan melihat hanya ada Yumi sendirian yang sedang menata meja tempat berkumpul seperti biasa. Ia langsung masuk dan membantu teman yang berusia dua tahun lebih muda darinya itu. "Yang lain kemana?" tanyanya sambil duduk di tempat biasa.
"Bang Jaenal lagi keluar, ada acara katanya, terus Aryo sama Revan lagi beli pizza dan Alan... ahh anak itu, dia mau jemput Jenny katanya," jelas Yumi. Ia pun mengambil dua gelas besar yang masih kosong dan menyimpannya di meja.
"Kalau Salma?" tanya Jordy.
"Salma bilang kalau dia sudah jadi reporter lagi makanya sekarang mau ikut makan malam perusahaan buat ngasih ucapan terima kasih gitu," ucap Yumi yang kini duduk di samping Jordy.
Jordy menganggukkan kepalanya mengerti, "Si Salma itu kenapa pula mau jadi jurnalis? Dia dikasih posisi penting malah mundur," ucapnya.
"Katanya dia harus cari tahu tentang sesuatu, lagipula kasus yang dulu itu, dia masih belum menyerah," ucap Yumi.
"Kasus? Bukannya sudah lama? Polisi juga pasti gak ada yang peduli lagi, kenapa dia bersikeras?" ucap Jordy.
"Iya sih, tapi kalau seandainya kamu jadi Rayhan, dan aku jadi Salma, aku juga bakal lakuin hal yang sama," ungkap Yumi dengan suaranya yang pelan.
"Apa kata lo? Jadi kalau ada apa-apa sama gue, lo juga bakal berjuang keras kayak Salma?" tanya Jordy sambil terkekeh dan Yumi mengangguk menjawabnya. Jawaban bisu itu membuatnya semakin terbahak, "kalau yang lain dengar bisa salah paham loh," ucapnya.
"Memangnya kenapa? Kamu tahu sendiri aku orang seperti apa," ucap Yumi.
"Kalau itu Aryo, lo bakal peduli gak?" tanya Jordy.
Yumi tertawa, "kenapa aku harus peduli sama dia?" ucapnya terkekeh.
"Orang pasti berpikir kalau lo suka sama gue, Yumi!" ucap Jordy.
Yumi semakin tertawa keras ketika mendengar kalimat Jordy barusan, "Dy, ini udah bertahun-tahun, sudah saatnya kamu lupain Ellin gak sih?" ucapnya sambil tersenyum manis.
Jordy memperhatikan tingkah Yumi dan tertawa, "lo ngapain, Yumi?" herannya. "Ketularan Salma ya? Jadi genit gitu," lanjutnya.
"Ya ampun gue ragu mau masuk ke sini karena kalian berdua," ucap Revan yang tiba-tiba membuka pintu dan terkekeh melihat kedua kakaknya itu. Ia kemudian melihat ke arah luar restoran, nampak Aryo masih memainkan handphone di atas motornya, "lo ngapain Bang? Buruan sini!" teriaknya.
Aryo mengangguk lalu bergegas berdiri di samping Revan dan tersenyum misterius, "orang yang lewat pasti mikirnya kalian berdua pasangan yang pacaran di restoran," ucapnya.
Tawa di wajah Jordy menghilang, kini kedua mata elangnya menatap ke arah Revan dan Aryo bergantian. Meski diam, wajahnya nampak menakutkan.
Revan melipat mulutnya, ia mengangguk dan tersenyum tipis lalu berjalan menuju meja dan menyimpan tiga box pizza di atas meja lalu duduk dengan tenangnya.
Aryo mengikuti langkah Revan lalu duduk di samping pemuda itu. "Salma gak ke sini lagi?" tanyanya basa-basi, padahal baru saja ia berbalasan pesan dengan gadis itu.
"Bukannya lo bilang kalau tadi ngirim pesan ke dia?" bisik Revan.
"Lo ini ish!" bisik Aryo.
"Gue emang mukul orang, tapi gue gak makan orang kok, kalian berdua gak usah khawatir," ucap Jordy, namun ucapannya itu malah semakin menakuti-nakuti kedua pemuda itu.