Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 25 - Bagian Dua Puluh Lima : Cerah

Chapter 25 - Bagian Dua Puluh Lima : Cerah

~~~

Masih jam sepuluh pagi, Salma sedang berada di kafe yang berada di dekat gedung kejaksaan agung, ia mendapat tugas untuk meliput seputar proyek baru pemerintah, menggantikan Jenny yang kini bertugas meliput berita selebriti.

Ia meminum kopi yang tersaji di atas meja, sudah menjadi dingin karena dirinya terlalu sibuk membuat pertanyaan untuk diajukan nanti saat konferensi pers. Ia melirik jam di tangan kirinya dan menghela napas pelan.

Sementara, Rangga turun dari mobilnya dan berjalan menuju rumah super mewah yang ada di hadapannya. Hari ini, Herman mengadakan makan siang bersama semua cucunya. Terpaksa ia harus datang, meski sebenarnya ia malas mendatangi acara seperti ini.

Halimah tersenyum menyambut cucu terakhirnya itu lalu memeluknya sebentar, "Nenek senang kamu datang, Rangga," ucapnya.

Rangga hanya menganggukkan kepalanya, ia kemudian berjalan menuju ruang makan. Terlihat Reza, Rizal, Ravi dan Ranti sudah berkumpul, ia kembali menjadi orang terakhir yang datang. Ia membuka kancing jasnya lalu menarik kursi di samping Rizal dan duduk di sana.

"Wah calon direktur akhirnya datang, kenalin dong calon istri lo!" ucap Rizal.

"Rangga, lo diam-diam punya pacar juga ya," sambung Reza yang duduk di samping Rizal.

Ranti tersenyum ke arah Rangga, "kapan-kapan ajak dong Rangga, aku mau kenalan," ucap Ranti.

Rangga mengangguk menyetujui ucapan Ranti, gadis lebih muda darinya yang cukup ceria itu, namun ia tak merespon ucapan Reza dan Rizal tadi.

"Walaupun pertama kali melihatnya, Kakek langsung pilih dia, lo pasti beruntung, Rangga!" ucap Ravi.

"Hmm, gue memang beruntung, bisa mengembangkan mall keluarga ketika kalian semua mendapat hotel mewah," ucap Rangga lalu meneguk segelas air dan kembali menunjukkan wajah ketusnya.

Herman berjalan dengan tongkat dan dibantu pula oleh Halimah, lalu mengambil kursi di tempatnya biasa dan duduk di sana. Halimah duduk di sampingnya.

Herman melirik satu per satu cucunya dan berhenti di Rangga lalu ia tersenyum, "Rangga, rupanya kamu datang, Kakek senang melihatnya," ucapnya.

Rangga hanya tersenyum singkat ke arah Herman, lalu kembali terdiam seakan tak peduli dengan Herman yang kini mulai berbasa-basi soal kabar dan mulai membicarakan hal lain sebelum hidangan di sajikan.

~~~

"Saya Cahyo Utomo, Kepala Kejaksaan Agung sekaligus Ketua Pembangunan Pusat Kesejahteraan Rakyat atau PKR mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan media yang sudah datang ke sini, mohon bantuannya," ucap seorang laki-laki berjas hitam yang berdiri di belakang podium itu.

Pusat Kesejahteraan Rakyat merupakan proyek yang dibangun oleh pemerintah berupa pusat bekerja yang nantinya akan menyediakan beragam pekerjaan demi mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Bersama para petinggi negara, Cahyo Utomo ditunjuk sebagai Ketua untuk proyek tersebut.

Cahyo menjelaskan inti dari pembangunan itu, dimana nantinya akan ada sebuah kota kecil yang membuka berbagai jasa pekerjaan yang pastinya akan memudahkan siapapun untuk bekerja dan bertujuan untuk memberantas pengangguran di dalam negeri.

"Silakan untuk sesi tanya jawab!"

Salma memiringkan senyumannya, ia sudah mengetik banyak hal pada laptop di hadapannya dan kini ia mengangkat tangannya dengan percaya diri.

"Silakan!"

"Saya Salma Natalina dari DN News!" ucap Salma sambil tersenyum ke arah Cahyo Utomo.

Cahyo yang semula tersenyum kini mulai kehilangan senyumannya, tangannya diam-diam mengepal, "silakan!" ucapnya sambil berusaha tersenyum.

"Untuk proyek ini, saya dengar kalau rencananya sudah ada sejak 6 tahun lalu, bahkan saat Bapak masih menjabat sebagai jaksa biasa, tapi saat itu Bapak ditunjuk sebagai bendahara dan tiba-tiba proyeknya batal begitu saja hingga dilupakan oleh massa. Tapi sekarang, Bapak ditunjuk sebagai ketua dan kembali melanjutkan proyek ini, dan Bapak sekarang sudah menjadi Kepala Kejaksaan Agung. Pertanyaan saya, apa yang dilakukan pemerintah selama 6 tahun lalu saat proyek ini terkubur?"

"Pertanyaan apa itu?"

"Kenapa dia nanya begitu?"

"Dia dari perusahaan mana tadi katanya?"

"Apa maksud dari pertanyaan kamu barusan?" tanya Cahyo yang berusaha untuk tetap tenang meski dirinya agak gelisah sekarang.

"Dulu proyek ini sudah tercium media dan dijadikan bahan pembelajaran oleh reporter pemula, namun karena suatu hal tiba-tiba proyeknya berhenti, bisa dijelaskan kenapa proyeknya harus terhenti saat itu?"

Cahyo menelan ludahnya dan menatap Salma dengan tajam, "itu tidak ada hubungannya dengan proyek saat ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan kamu!" tegasnya.

"Mohon ajukan pertanyaan yang lain!"

"Saya Putra dari IndoNews, bagaimana pendapat Bapak setelah melihat antusias dari warga Jakarta soal proyek tersebut?" tanya salah seorang reporter.

Cahyo menampilkan senyumannya, "tentu saja saya sebagai penanggung jawab proyek ini saat senang mendengarnya, melihat bagaimana mereka berantusias dan mulai menaruh harapan, membuat saya merasa bangga dengan keputusan pemerintah untuk mewujudkan proyek ini," ucapnya.

Salma terkekeh sementara tangannya terus mengetikkan sesuatu di laptopnya. Entah kenapa konferensi pers hari ini cukup menyenangkan, sudah lama juga sejak ia mulai menuliskan berita-berita yang berhubungan dengan politik dan kepentingan negara.

Sebenarnya, saat ia mulai mendengar proyek ini dan menerima berkas dari Jenny, Salma merasa tak asing dengan nama proyek ini. Berkat rasa penasarannya, Salma membongkar jam tangan pemberian dari temannya dan kembali mempelajari kasus 6 tahun lalu itu. Di sana, tak sengaja ia menemukan nama Cahyo Utomo dan nama proyek tersebut, hanya saja saat itu Cahyo masih menjadi anggota kejaksaan biasa dan memegang peranan kecil dalam proyek itu.

~~~

Rangga duduk di depan Herman yang duduk di meja kerjanya, ia membuka kancing jasnya agar terlihat lebih santai. "Kenapa Kakek mau bicara dengan saya?"

Herman perlahan tersenyum, Rangga yang selalu dingin padanya membuatnya sangat suka menggodanya. "Bagaimana hubungan kamu dengan Salma?"

"Kami cuku dekat," jawab Rangga dengan santainya.

"Benarkah? Kakek dengar kamu pernah tidak kembali ke perusahaan dan tidak ada di rumah, kemana kamu pergi? Dan kamu kembali minum alkohol?"

Rangga mengerutkan keningnya, menatap Herman penuh tanda tanya, "Kakek diam-diam kirim mata-mata?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Buat apa? Selama bertahun-tahun, saya hidup sendirian dan Kakek tidak pernah peduli, lalu sekarang tiba-tiba mulai peduli?" tanya Rangga.

"Kamu mendapat kepercayaan sebagai cucu keluarga Maulana, Kakek tidak mau kamu menghancurkan kepercayaan itu," ucap Herman. "Dan, tolong jangan terlalu menutup diri juga sering-seringlah datang kemari," ucapnya.

"Tak ada alasan saya harus datang ke sini, bukankah Kakek bilang kalau saya akan datang ketika membutuhkan sesuatu?" gumam Rangga.

Herman mendecak pelan, bicara dengan Rangga memang membutuhkan banyak kesabaran. Selain wajah dan otaknya, tak ada yang positif tentang pemuda yang hampir berkepala tiga itu. Ia nampak serius dan menatap Rangga dengan tajam, "Kakek tidak pernah menyuruh sekretaris Kakek untuk mengikuti kamu, tak pernah sekalipun. Tapi, seorang anonim mengirimkan foto kamu sedang mabuk," ucapnya serius.

"Hah?" heran Rangga, "maksudnya ada orang lain yang mengikuti saya, begitu?" gumamnya.

"Dulu, di hari wisuda kamu, saat orang tua kamu meninggal, seorang polisi mengatakan ada jejak mobil lain di tempat kejadian, namun polisi itu meninggal dunia sebelum kasusnya terpecahkan," ucap Herman.

Rangga yang tadinya acuh tak peduli, kini mulai tertarik dengan ucapan Kakeknya itu. Ia terdiam, bola matanya bergerak cepat, nampak berpikir. "Kenapa baru bilang sekarang? Bukankah kecelakaan mereka hanya kecelakaan?" ucapnya.

"Kamu tahu, kecelakaan itu terjadi saat Kakek baru sja mengumumkan pensiun dan menunjuk Papa kamu untuk menjadi direktur. Saat media tahu soal Papa kamu yang menjadi pewaris perusahaan, kecelakaan itu terjadi," ucap Herman.

"Hah? Apa-apaan ini? Apa maksud Kakek? Kenapa baru bilang sekarang?!" ucap Rangga agak membentak. "Harusnya sejak dulu Kakek bilang meski itu semua hanya pemikiran saja!" lanjutnya. Ia menutup matanya berusaha menahan amarhnya, "lalu? Apa yang terjadi? Kenapa saya gak tahu apapun soal ini? Hah? Kakek selama ini menyembunyikannya?"

"Ada satu orang yang masih memperjuangkan kebenaran ini..."

"Siapa itu? Kakek barusan bilang kalau Polisi itu meninggal dunia 'kan?" ucap Rangga.

~~~

Salma keluar dari gedung konferensi dan tak sengaja melihat Cahyo yang berjalan terburu-buru menuju mobilnya. Saat tak sengaja mendapat lirikkan, Salma menampilkan senyuman tipisnya. "Hari yang cerah, Pak Kepala!" ucapnya.

Cahyo hanya menyunggingkan senyum sinis lalu memasuki mobilnya dan meninggalkan gedung itu secepat kilat.

"Permisi, Mbak Salma? Saya Putra dari IndoNews," ucap seorang laki-laki berjaket jeans.

Salma memasukkan catatan kecil yang tadi dipegangnya menuju tas kecilnya, "ouh iya Pak Putra, saya Salma, kenapa ya?"

"Kalau gak salah, tadi kamu bilang 6 tahun lalu?" tanya Putra.

"Hmm, kenapa dengan itu?" tanya Salma.

Putra melirik ke segala arah lalu mendekati Salma dan berbisik, "Maulana!" bisiknya.

Salma menyipit, ia memperhatikan penampilan Putra dari atas hingga ke bawah, "kamu kayak masih muda, kalau boleh tahu sejak kapan jadi reporter?"

"Sejak kematian saudara saya," jawab Putra tanpa ragu.

"Hah? Saudara?" heran Salma.

Putra terkekeh, "saya punya saudara, saudara jauh. Dia bercita-cita menjadi reporter, tapi dia meninggal dunia," ucapnya.

Salma terdiam sebelum menjawab, "tadi kamu bilang "Maulana" ?"

"Ahh Mbak Salma terus-terusan nanya saya tapi langsung ngalihin pembicaran, Mbak ini-"

"Kamu saudaranya Rayhan?" potong Salma dengan penuh rasa penasaran di matanya.

Putra yang tadinya terkekeh kini menatap Salma dengan tatapan cukup serius, "emas merah muda, 2015!" ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Salma.

Salma masih tak bergeming di tempatnya, matanya berkedip cepat dan setetes air mata jatuh ke pipinya. Ia dengan cepat menyeka air matanya lalu pergi dari sana.