~~~
Masih pagi, Salma menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Ia lalu mengambil totebag dan mengunci kontrakannya. Ia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya sambil berjalan keluar area kontrakan.
Baru selangkah, Salma membuka mulutnya melihat Rangga yang berdiri di depan mobilnya, melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Salma tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia dengan cepat menghampiri pemuda berkacamata hitam itu.
"Pak Rangga sejak kapan di sini?" tanya Salma pertama kali.
Rangga menegakkan posisi berdirinya lalu membuka kacamata hitamnya. Ia yang mengenakan jas coklat tua berkemeja satin lengkap dengan dasi selaras mulai menyombongkan diri dengan menaruh tangan di saku celananya. "Waktu kamu nelepon, saya sudah di sini," ucapnya.
"Kok gak bilang?" heran Salma.
"Memang itu penting? Yang terpenting, sekarang kamu naik dan ikut saya! Ayo cepat!" ajaknya yang mulai memasuki mobilnya dan bersiap untuk pergi.
Salma menurut saja dan menaiki mobil itu. "Ini baju kamu yang waktu itu," ucapnya.
Rangga mulai melajukan mobilnya, ia melirik totebag itu sekilas, "kenapa dibawa sekarang sih?" gumamnya.
"Iya terus kapan lagi?"
"Kapanpun, supaya saya ada alasan buat datang ke sini," ucap Rangga dengan entengnya.
"Memang selama ini kamu punya alasan buat datang ke sini?" tanya Salma.
"Tentulah. Kalau gak ada alasan, nanti kamu salah paham. Terus kalau saya bilang, saya datang karena merindukan kamu, nanti kamu makin salah paham. Selain itu, gak ada alasan lain," ucap Rangga.
"Kalau begitu, kamu mending gak usah datang saja sekalian!" singkat Salma.
Rangga kembali melirik gadis itu sekilas, "kita akan menikah Salma, apa perlu alasan lain untuk menemui kamu?"
"Oh setiap Pak Rangga bilang nikah, saya langsung merinding," cibir Salma.
"Seburuk itu gue hah?" ucap Rangga yang tiba-tiba berbahasa santai dan terdengar sarkas.
"B-bukan begitu," ucap Salma dengan suara pelan. Ahh sial, ia selalu bicara seenaknya dan merasa bersalah kemudian. "Saya yang lebih buruk dari kamu, saya gak cantik dan gak bisa make up, saya juga gak pintar masak, saya juga kaku kalau berkomunikasi, saya pendiam-"
"Salma!"
"Iya?"
"Gue juga gitu," ucap Rangga tiba-tiba. Setelahnya suasana terasa hening. "Saya juga... sama seperti kamu, penyendiri dan gak bisa bergaul. Ditambah, saya pengecut yang kasar," ungkapnya.
Salma menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Hmm, tapi itu memang mungkin terjadi pada seseorang, itu bukan kesalahan. Jika itu memang buruk tapi sudah kebiasaan, siapa yang akan bisa mengubahnya? Yang terpenting jadi diri sendiri, lebih dari cukup," ucapnya tanpa berani menatap ke arah Rangga.
Rangga mendecih, "malam itu, pertama kalinya saya iri pada orang lain dan orang itu kamu. Saya iri karena kamu punya Ibu yang bisa membicarakan keburukan kamu, sedangkan saya gak punya siapapun. Kamu pasti tahu, kalau orang tua saya sudah meninggal, itu pun di hari kelulusan saya," ucapnya yang terdengar serius.
Lagi dan lagi, Salma merasa bersalah. Rangga memang menyebalkan dan mengundang emosi setiap berbicara dengannya, bahkan setiap pertemuan mereka hanya diisi oleh perdebatan yang melelahkan. Namun, sisi dirinya yang seperti itu membuat Salma merasa bersalah. Sama seperti malam saat Rangga mabuk dan memohon-mohon padanya, saat ini pun Salma kembali melihat sisi lain pemuda itu yang jarang diperlihatkan.
Rangga menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung tinggi yang megah, ia membuka seatbeltnya lalu melirik Salma yang nampak bingung. "Ayo keluar," ajaknya.
Salma menganggukkan kepalanya, ia keluar dari mobil dan memperhatikan sekeliling bangunan itu dengan seksama. M Apartment merupakan tulisan yang terdapat di pintu masuk. Dengan masih keheranan, Salma berjalan mendekati Rangga dengan ragu.
"Ayo masuk," ajak Rangga yang lalu meraih pergelangan tangan Salma dan menggenggamnya lalu berjalan bersama memasuki area apartement itu.
"Selamat datang di M Apartment, Pak Direktur Rangga Maulana," sambut seorang staf yang membungkuk sopan di depan Rangga, setelahnya beberapa staf lain pun melakukan hal yang sama.
Salma menelan ludahnya, gugup. Ia memundurkan langkahnya karena terkejut dengan para staf yang tiba-tiba membungkuk sopan padanya. Merasa gugup, ia melirik Rangga yang berdiri di sampingnya dan mata mereka pun kembali bertemu, Rangga hanya tersenyum menatapnya. Melihat senyuman Rangga bukan membuatnya tenang, ia justru semakin gugup hingga menghela pelan dan beberapa kali menelan ludah.
Bersama beberapa orang staf, Rangga menuntun Salma berjalan menuju lift khusus tamu kehormatan, sementara staf menaiki lift khusus pegawai. Rangga menekan angka 31 yang merupakan lantai teratas gedung itu.
"P-Pak Rangga, ini kita sekarang menuju ke..."
Rangga mengangguk puas, "apartement lantai paling atas yang di dalamnya ada dua lantai terus kamar tidurnya banyak," ucapnya.
Salma membulatkan matanya, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Kamu... kamu benar-benar melakukannya?"
"Tentu, itu permintaan kamu," jawab Rangga dengan santainya.
"T-tapi, tapi saya sama sekali gak mengharapkan ini, saya gak serius soal semalam! Pak Rangga, ini bercanda 'kan? Saya juga semalam bercanda!" ucap Salma yang kalut hingga ia tak tahu apa yang baru saja ia ungkapkan.
"Kenapa bercanda? Bercandanya gak lucu!" gumam Rangga.
Lift berhenti, pintu terbuka. Rangga bersiap keluar namun ia keheranan melihat Salma yang masih menempel di dinding lift seperti orang linglung.
"Kamu kenapa lagi? Ayo keluar, Salma!" ajak Rangga.
Rangga keluar lebih dulu dan diikuti oleh Salma. Begitu keluar dari lift, para staf yang jumlahnya cukup banyak kembali menyambut kehadiran mereka dengan sopan dan lagi-lagi Salma terkejut walaupun ini kedua kalinya.
Rangga hanya menganggukkan kepalanya sekali namun para staf langsung membuka jalan untuk keduanya. Ia mengambil sebuah kartu kecil yang diberikan oleh salah satu staf lalu memberikannya pada Salma yang berdiri di sampingnya.
Walaupun masih kebingungan, Salma menerima kartu itu dan memperhatikannya, "apa ini?"
"Ini akses khusus buat ke rumah kamu, sebenarnya pintu ini sudah diatur dengan tanggal lahir kamu, tapi tetap saja, kartu ini harus kamu pegang," ucap Rangga.
"Selamat untuk Nona Salma Natalina yang sudah resmi menjadi pemilik 31th M Apartment," ucap seorang staf yang memakai baju agak berbeda dengan staf-staf perempuan lainnya. "Saya Maria, siap melayani anda kapanpun itu, apapun yang Nona Salma Natalina perlukan, anda hanya perlu menghubungi saya," ucapnya.
Salma mengangguk kaku dan berusaha memahami ucapan wanita bernama Maria tadi, "ahh t-terima kasih, Bu Maria," ucapnya kikuk.
"Terima kasih Bu Maria, kami permisi masuk terlebih dulu," ucap Rangga sambil tersenyum.
Maria balas tersenyum lebar, "silakan Pak Rangga," ucapnya sopan.
Salma mencoba membuka pintu dengan menggunakan kartu pemberian Rangga tadi, dan benar saja pintu itu langsung bergeser. Setelah melihat bagaimana keadaan di ruangan super besar itu, Salma kembali menganga.
Rangga memperhatikan Salma yang nampak terkejut dan membuatnya tertawa tanpa sengaja, "kamu belum pernah melihat rumah seperti ini ya? Kalau begitu, lihat-lihatlah dengan santai, lagipula ini milik kamu," ucapnya dengan santai.
Dengan cepat Salma membalikkan badannya dan menatap Rangga penuh tanda tanya, "apa? M-milik saya? Ini? Ini milik saya?" ucapnya tak percaya.
"Iya, kamu yang minta. Gimana? Sesuai gak? Lantai paling atas, di dalamnya ada dua lantai terus kamar tidurnya juga banyak," ucap Rangga.
"Hah? T-tapi dalam semalam...? Gimana bisa dalam semalam? Kamu Sangkuriang atau apa?" gumam Salma.
Rangga tertawa mendengar komentar Salma barusan yang cukup menggemaskan. Kalau diperhatikan, Salma memang menggemaskan ketika seperti ini, karena biasanya gadis itu selalu ketus dan dingin, namun jika banyak bicara begini, gadis itu seperti menjadi orang lain.
Salma berjalan-jalan sambil memperhatikan seisi ruangan itu dengan takjub. Bagaimana tidak, ia biasa melihat rumah seperti ini hanya dalam televisi saja, dan sekarang rumah mewah ini miliknya? Bagaimana ia harus mempercayai hal itu.
Apartement itu berlantai dua dan warnanya didominasi oleh putih dan abu muda. Di lantai utamanya, ada sederet sofa mewah berwarna hitam yang Salma yakini bahwa benda itu pasti mahal sekali. Dan dindingnya terdapat beberapa lukisan bunga yang cukup cantik dipandang. Selain itu, banyak hiasan-hiasan lain yang didominasi oleh emas dan perak.
"Kamu mau lihat kamar tidur gak?"
Salma mengangguk pelan dan mengikuti Rangga yang berjalan lebih dulu. Salma kembali terkejut melihat betapa luasnya kamar tidur yang merupakan kamar tidur utama di lantai 1 ini. "Ini kamar tidur?"
"Hmm, suka?"
Salma tak bisa menjawabnya, mustahil ia tak menyukai kamar tidur impian seperti ini. Tak hanya ada tempat tidur super mewah, di ruangan itu juga terdapat sofa dan televisi yang berukuran besar.
Rangga berjalan menuju sudut kiri ruangan yang berupa pintu misterius, ia kemudian membuka pintu itu. "Salma, coba ke sini!" panggilnya.
Tanpa berpikir lagi, Salma refleks menuruti ucapan Rangga dan menghampiri pemuda itu.
"Coba masuk sana!" ucap Rangga.
Salma menurut saja dan kembali membelalakkan mata untuk yang ke sekian kalinya, ia melihat puluhan bahkan ribuan baju tergantung di sana. Puluhan warna dan jenis pakaian wanita ada di sana, ia bahkan tak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang.
"Saya gak terlalu tahu selera kamu, tapi sepertinya kamu suka memakai setelan jas jadi saya membeli berbagai macam setelan, semoga kamu suka," ucap Rangga yang tiba-tiba berdiri di belakang Salma.
Salma membalikkan badannya dan terkejut dengan jarak mereka yang terlalu dekat, ia sontak mundur beberapa langkah.
"Kamu suka 'kan? Kejutan yang saya buat," ucap Rangga yang tersenyum bangga.
"Ini gila, Pak Rangga!" singkat Salma.
"Apa? Gila?" senyuman di wajah Rangga seketika menghilang begitu saja. "Bukannya berterima kasih, kamu malah... gila? Kamu bilang ini gila?" ucapnya tak percaya.