~~~
Salma memeriksa setiap detil file yang berada di kartu memori yang selama ini tersembunyi di balik jam tangan itu. Tak ada yang baru, hanya beberapa fakta yang selama ini ia ketahui.
𝑀𝑒𝑖 2015, 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑖 𝑡𝑒𝑝𝑖 𝑗𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑤𝑎𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑤𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑆𝑢𝑝𝑒𝑟𝑂𝑛𝑒 𝐺𝑟𝑜𝑢𝑝, 𝑃𝑜𝑙𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑢𝑟𝑖𝑔𝑎𝑖 𝑎𝑑𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢.
𝑇𝑒𝑝𝑎𝑡 𝑝𝑢𝑘𝑢𝑙 10:43 𝑠𝑖𝑎𝑛𝑔, 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑙𝑎𝑡 𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟 23** 𝑚𝑒𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑑𝑖 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑝𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑗𝑢 𝑗𝑒𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑚𝑖 𝐾𝑎𝑟𝑦𝑎 𝐼𝑛𝑑𝑎ℎ. 𝑀𝑜𝑏𝑖𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑚𝑖 𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑖𝑑𝑢𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑎𝑚𝑖 𝑘𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑏𝑖𝑙 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑛𝑑𝑎𝑙𝑖 ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑘𝑒 𝑗𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟.
𝐵𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛, 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑤𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 '𝑀' 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑖ℎ𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏. 𝑃𝑜𝑙𝑖𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑔𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢. 𝑇𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝐶𝐶𝑇𝑉 𝑑𝑖 𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛, 𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝐷𝑒𝑡𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑊𝑖𝑗𝑎𝑦𝑎 𝑆𝑎𝑝𝑢𝑡𝑟𝑎(39) 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑜𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑝𝑜𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑏𝑎 𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡.
𝐷𝑖𝑑𝑢𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑜𝑝𝑖𝑟 (𝐴𝑙𝑚. 𝑅𝑎ℎ𝑚𝑎𝑛 𝑀) 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑘, 𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛 𝐷𝑒𝑡𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑊𝑖𝑗𝑎𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑡𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎𝑛𝑦𝑎 𝐶𝐶𝑇𝑉 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑚𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑎𝑛. 𝐵𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘, 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑘𝑖𝑚𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘, 𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝐶𝐶𝑇𝑉 𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑓𝑢𝑛𝑔𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑛𝑎, 𝑠𝑒𝑜𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑟𝑎𝑛𝑐𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙.
Salma kembali membaca dan berusaha memahami hal-hal yang ia temukan dalam memori itu. Jika kembali mengingat, saat itu ia baru saja keluar dari pelatihan reporter dan bekerja sebagai jurnalis di perusahaan berita di Jakarta. Kasus kecelakaan itu adalah kasus pertama yang ia tangani.
Salma cukup tertarik dalam hal hukum, ia bahkan mempelajari dasar-dasar hukum selama pelatihan reporter dan berencana untuk ujian negara saat ia sudah yakin dengan keinginannya. Namun, karena kasus fenomenal itu ia melupakan semua mimpinya dan berfokus pada pekerjaannya sebagai jurnalis.
"Dirgantara? Dia masuk kepolisian di tahun yang sama dengan Kak Aryo, apa mereka saling kenal?" gumamnya.
"Kak Salma?!" teriak seorang wanita dengan rok pendek kotak-kotak berjaket hitam yang langsung masuk tanpa mengetuk pintu dan berlari ke arahnya.
Salma dengan cepat menutup laptopnya dan merapikan jam tangan yang ia bongkar tadi lalu berjalan menuju meja belajar dan menyimpan benda-benda itu.
Tiara yang sudah berbaring hanya memperhatikan gerak-gerik Salma dengan penuh rasa penasaran, "ada apa? Jamnya rusak lagi? Ahh sudah gue bilang, beli yang baru saja," ucapnya.
Salma menoleh ke arah Tiara lalu ia duduk di samping gadis itu, "beliin lah, lo banyak uang," kekehnya.
"Ehh kan lo yang sudah kerja Kak," ucap Tiara.
Salma menunjuk sebuah kotak besar di samping meja belajar, "di dalam itu banyak makanan, barangkali kalau lo lapar," ucapnya.
"Oh iya?" tanya Tiara, ia lalu mendekati sebuah kardus besar di sana dan mengambil beberapa camilan, "ini banyak banget Kak, lo kapan belanja," ucapnya.
"Ahh berisik, makan saja habis itu tidur," gumam Salma.
~~~
Dua cangkir kopi yang masih mengepul tersaji di atas meja sebuah kafe yang cukup mewah di pusat kota. Gemericik air hujan membuat jendela kafe berembun. Suara musik yang mengalahkan suara hujan di luar mulai menghilangkan sunyi dan menghangatkan suasana.
Seorang pria berjas baru saja duduk di sana, ia melampirkan mantel coklat tuanya dan membuka kancing jas hitamnya, memberikan kesan santai. Di hadapannya, seorang wanita paruh baya berpakaian mantel merah tua dan mengenakan kaca mata bening.
"Mohon maaf saya terlambat Bu Halimah," ucap pria itu.
"Tidak apa-apa Cahyo, kamu datang itu sudah lebih dari cukup," jawab Halimah sekenanya. "Dokumen itu, apa kamu sudah membacanya?"
Cahyo berdeham sekali, "saya penasaran dengan alasan Pak Ketua Herman memilih gadis asing untuk dinikahi cucunya," gumamnya.
"Bagaimana bisa kamu lupa menghapus jejak mu? Bukankah dulu kamu bilang kalau semuanya selesai? Sebenarnya pekerjaan apa saja yang sudah kamu selesaikan selama ini?" ucap Halimah sebelum menyeruput minumannya.
Cahyo menghela napas berat dan memejamkan matanya sekilas, "itu tidak akan sulit, percayakan sama saya," ucapnya.
"Menurut jawabanmu, berarti kamu mengakui kesalahanmu bahwa masih ada jejak yang belum dihapus. Dia jangan sampai tahu," ucap wanita paruh baya itu.
Cahyo menganggukkan kepalanya tanpa bicara lagi. Seorang Kepala Kejaksaan Agung itu kini menundukkan kepalanya dalam diam.
"Kamu hanya seorang budak miskin yang buta hukum, tapi dia menjadikanmu seorang Ketua di organisasi ini. Kamu harusnya bisa melakukan sesuatu yang memuaskan," ucap Halimah dengan datarnya. Ia kemudian berdiri dan meraih tasnya, "kunjungi suamiku jika kamu masih punya rasa malu," ucapnya lalu pergi dari sana.
Sepeninggal Halimah, Cahyo menggertakkan giginya dengan tangan terkepal di atas meja. "Wanita tua gila itu!" umpatnya.
Ia kembali melihat Halimah yang tengah berjalan menuju mobilnya bersama seorang pengawal yang memayunginya. Sebuah senyuman sinis terukir berkat amarah yang sulit ia tahan. Bagaimana bisa dirinya tak dapat berkutik hanya di hadapan seorang nenek tua.
"Pak Ketua Herman harusnya tahu punya istri dan keturunan psikopat!" dengus pria yang berprofesi sebagai Jaksa itu.
Setelahnya, seorang pria berjas hitam menghampirinya dan menyerahkan sebuah map pada Cahyo, ia kemudian berdiri di samping Cahyo.
Cahyo membuka map itu tanpa ragu, ia mendecih begitu melihat isi dari map tersebut. "Rangga Maulana benar-benar memberi jalan untuk kita. Untuk sekarang, kirim foto ini pada Ketua Herman Maulana, sebagai hadiah," ucapnya sambil tersenyum sinis.
~~~
Ranti membuka pintu sebuah kamar vip di rumah sakit kota, ia berjalan sambil tersenyum menghampiri Herman yang tengah berdiri di tepi jendela bersama infusan yang berdiri di sampingnya. Ia menghampiri sang Kakek dengan senyuman manisnya, "Kakek apa kabar?"
Herman terkekeh, "Kakek baik-baik saja, mungkin minggu depan sudah bisa keluar dari sini," jawabnya.
Ranti meletakan tasnya di atas meja dan mengeluarkan beberapa bungkus makanan lalu ditaruhnya di atas meja. "Kek, aku bawa beberapa kue supaya Kakek bisa makan camilan," ucapnya yang kembali menghampiri Herman lalu memapahnya untuk duduk bersama di sofa yang ada di sana.
Herman membuka salah satu bungkus kue itu dan mulai mencicipinya, "ouh ini enak," gumamnya.
Ranti kemudian mengeluarkan sebuah map di tasnya, "terus ini, tadi di depan ada laki-laki yang ngasih ini katanya buat Kakek," ucapnya sambil menyerahkan map itu.
Herman menerima map itu dan memperhatikannya dalam diam, tak ada nama pengirim. Ia menggelengkan kepalanya heran, "kamu tidak kenal laki-laki itu?"
Ranti terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya, "dia memakai masker hitam dan terburu-buru, tapi mungkin juga dia cuma kurir. Kenapa gak coba dibuka saja?" ucapnya.
Obrolan mereka terhenti ketika pintu terbuka, Halimah datang bersama Alisa yang berjalan di belakangnya. Keduanya berjalan ke arah sofa dimana Ranti dan Herman tengah duduk berhadapan. Ranti berdiri dan memberikan salam pada Halimah dan Alisa.
Halimah kemudian duduk di samping Herman dan memperhatikan map di tangan suaminya itu dengan penuh tanda tanya. "Apa itu?"
Alisa yang baru saja duduk di samping Ranti ikut melirik map berwarna coklat itu dan terdiam.
"Mungkin kontrak baru, bukan hal penting," jawab Herman lalu menyimpan map itu di bawah meja. "Alisa, benar bukan? Apa kabar?" kekehnya.
Alisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Kakek sendiri bagaimana kabarnya?" balasnya menyapa.
"Baik-baik saja. Tapi, bagaimana kalian bisa datang bersama?" tanya Herman yang melirik Halimah dan Alisa bergantian.
"Kami berpapasan di depan, ada Reza juga, makanya kami datang bersama," jawab Halimah.
Reza membuka pintu dan memberikan salam kepada Kakek dan Neneknya lalu berjalan menghampiri mereka dengan berbagai macam buah segar di tangannya. Ia menyimpan parsel berisi buah itu di atas meja lalu duduk di samping Alisa. "Ada Ranti juga?" herannya.
Ranti tersenyum kaku dan mengangguk pelan, "iya Kak," ucapnya pelan.
"Kakek kenapa masih di sini? Katanya sudah membaik," ucap Reza.
Herman terkekeh mendengar ucapan cucunya itu, "Kakek senang karena sejak di sini, seluruh keluarga sering datang ke sini. Bahkan kalian yang sibuk pun datang ke sini," jawabnya.
"Tentu saja, cucu mana yang akan mengabaikan Kakeknya," ucap Ranti.
Setelah pembicaraan itu, mereka satu per satu mulai meninggalkan Herman. Kini tinggallah Herman dan Halimah yang berada di ruangan itu. Sementara Halimah yang membereskan beberapa makanan bekas, Herman mengambil map tadi dan membukanya karena penasaran.
"Halimah, tadi Ranti mengatakan ada laki-laki yang memberikan map ini," ucap Herman.
"Map apa?" tanya Halimah sambil berjalan kembali menuju suaminya.
Herman membuka map itu dan terdiam memperhatikan foto-foto yang ada di sana, foto cucu terakhirnya yang terlihat mabuk dan dibantu berjalan oleh seorang gadis yang ia kenal. "Ini Rangga?" gumamnya.
"Ada apa Pa?" tanya Halimah.
Herman segera memasukkan foto-foto itu pada map-nya semula, "akhir-akhir ini, apa Rangga baik-baik saja? Papa jadi penasaran," gumamnya.