~~~
Salma berjalan keluar dari perusahaan sambil tersenyum, ia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Ia menyipitkan matanya melihat seseorang yang tak asing berdiri di dekat gerbang perusahaan. Ini sudah jam delapan malam, apa yang orang itu lakukan di sini.
"Iya Bu, nanti aku telepon lagi," ucap Salma terakhir kali sebelum ia menutup panggilan dari orang tuanya itu. Ia menghampiri seorang pria yang nampak mondar-mandir di dekat motornya itu. "Kak Alan?" herannya.
Merasa terpanggil, Alan menolehkan kepalanya dan berjalan mendekati Salma. "Ohh Salma? Baru pulang sekarang?"
Salma mengangguk tanpa ragu, "tapi Kak Alan ada keperluan apa ke sini? Gak mungkin-"
"Kak Alan?! Kamu datang juga," kekeh Jenny sambil tersenyum dan menghampiri Alan tanpa menyadari ada Salma di sana. "Terima kasih sudah datang-"
"Ada apa kalian berdua? Kak Alan ke sini jemput Jenny?" ucap Salma terkejut dengan romansa yang tiba-tiba itu. "Sejak kapan hubungan kalian sedekat itu?" ucapnya penasaran.
"Bukan gitu Salma! Ini sudah malam dan Jenny sendirian, makanya gak ada salahnya buat jemput-"
"Kak Alan gak pernah jemput gue selama ini, bahkan pas tengah malam juga gak pernah ada niat nganterin!" protes Salma.
"Lo 'kan punya Revan! Lagian lo selalu ngutamain si Revan daripada gue!" tegas Alan memberikan pembelaan.
"Ahh sudah!" tegas Jenny. "Mbak Salma gak usah cemburu, mobil Pak Daniel juga kosong, lo bisa bareng sama dia. Ayo kita pulang Kak Alan!" lanjutnya dengan bersemangat.
Salma terkekeh pelan, ia mendekati Jenny ketika gadis itu sudah duduk di motor milik Alan. "Jangan lupa, file berita kirim malam ini ya?" bisiknya.
Jenny menganggukkan kepalanya tanpa ragu, "selengkapnya Mbak, tunggu saja!" ucapnya sambil tersenyum.
Salma menganggukkan kepalanya memahami ucapan Jenny, ia melambaikan tangannya begitu kedua orang itu pergi. Seketika, senyum di wajahnya menghilang. Ia menghembuskan napas panjangnya dan menundukkan kepala.
~~~
Halimah membuka pintu ruangan rawat inap suaminya, dengan wajah lesu ia berjalan mendekat dan menarik kursi lalu duduk di sana. Tangannya terangkat, menggenggam tangan Herman yang tengah tertidur. Laki-laki yang ia kenal sejak lebih dari 60 tahun itu nampak terlelap.
"Kamu sampai kapan akan di sini Pa," gumam Halimah, "rumah utama sepi dan anak-anak jarang menghubungi lagi sejak keputusan memilih Rangga waktu itu!" lanjutnya.
"Memilih Rangga adalah keputusan terbaik, Ma!"
Halimah membulatkan matanya akibat terkejut, "Papa? Dari tadi Papa sudah bangun, 'kan?" ucapnya.
Herman terkekeh, ia dengan susah payah berusaha untuk duduk sambil mengerang. Berkat bantuan istrinya, ia pun berhasil duduk dan bersandar pada dinding. Ia menghembuskan napas lelah, "sebelum Rangga menjadi direktur, sepertinya saya pergi lebih dulu, Halimah!"
"Jangan bicara begitu, Papa masih sehat seperti ini," omel Halimah.
Herman melebarkan senyumannya, "kamu benar, Halimah. Sejak keputusan itu, jarang ada yang berkunjung lagi kecuali Rangga. Tapi dia datang hanya untuk mengumpat dan berteriak marah saja," kekeh nya.
"Lagipula kenapa Papa harus memilih Rangga? Wanita yang dibawanya pun bukan seseorang yang kita kenal," ucap Halimah.
"Wanita itu, dia akan sangat membantu Rangga suatu hari nanti," ucap Herman. "Dan, walaupun bukan Rangga yang memperkenalkannya, saya tetap akan memilih wanita itu sebagai menantu di keluarga Maulana," lanjutnya.
Halimah mengerutkan keningnya, "Papa pasti mengenal dia sebelumnya, siapa dia?" herannya.
Herman kembali tersenyum, "ada sesuatu yang harus saya ketahui dari dia," ucapnya. "Ngomong-ngomong, kemarin Nadia datang dan membicarakan Rangga. Dia bilang kalau Rangga menghilang sejak sore dan kembali besok paginya, kamu tahu soal itu Halimah?"
"Rangga? Entahlah, saya tidak mendengar apapun," ucap Halimah. Ia kemudian nampak terdiam, sebenarnya ia menerima sebuah telepon misterius pagi ini namun ia tak terlalu mempedulikannya. Di telepon itu, seseorang menawarkan sebuah informasi mengenai salah satu cucunya.
~~~
Rangga keluar dari mobilnya, sebuah senyuman tercetak di wajah tampannya. Ia yang memakai jas hitam menghampiri seorang wanita dengan rok pendek dan jaket biru tua di pinggir jalan. Nampak alami, ia membukakan pintu mobil miliknya dan mempersilakan Salma untuk memasukinya.
Salma hanya menurut saja dengan ekspresi datar, ia duduk di kursi depan mobil dan berusaha membuat dirinya tampak nyaman. Rangga kembali ke dalam mobil, masih dengan senyuman yang sama. Ia melirik sekilas ke arah pemuda itu dan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia berterima kasih karena Rangga menawarkan tumpangannya, namun sikap tak alami pria itu yang mengganggunya sekarang, apa memang harus sampai segitunya, setidaknya itu yang ia pikirkan.
Rangga memasang sabuk pengamannya dengan tenang, kemudian ia melihat ke arah Salma yang duduk di sampingnya. "Seat belt..." gumamnya pelan sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Salma.
Salma mengangkat tangan kirinya, dengan rasa terkejutnya ia menghentikan Rangga yang hanya membuat suasananya menjadi canggung. "Saya bisa sendiri!" ucapnya. Ia kemudian memasang sabuk pengamannya dengan santai. Ini adalah pertama kalinya ia menaiki mobil milik pemuda itu.
Rangga hanya balas mengangguk saja, setelahnya ia mulai melajukan mobilnya. Entah kemana tujuan mereka, yang jelas suasananya sangat canggung dan sunyi, hanya suara kendaraan saja yang terdengar.
"Pak Rangga?"
"Hmm?" balas Rangga sambil melirik ke arah Salma dan senyuman itu kembali muncul lagi. "Kenapa? Kamu butuh sesuatu? Ada yang mau dibicarakan?"
"Ahh enggak... hanya, saya berterima kasih karena Pak Rangga cukup perhatian..." ucap Salma yang ragu-ragu.
"Saya memang orang seperti itu!" ucap Rangga dengan percaya diri.
"Ahh begitu," singkat Salma sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menghela napas pelan. "Tapi saya lebih senang jika kamu tetap jadi diri kamu sendiri, apa adanya," ucapnya pelan.
Rangga melirik Salma sekilas, ia tak merasa tersinggung sedikit pun, hanya saja ia tak tahu harus memberikan respon seperti apa sekarang.
"Saya tahu Pak Rangga melakukan semua ini demi mendapatkan warisan dan posisi direktur, tapi karena saya sudah setuju untuk membantu Pak Rangga, jadi bukankah sebaiknya Pak Rangga bersikap lebih alami?" ucap Salma.
"Kenapa? Kamu gak suka diperhatikan begini? Kamu bisa turun sekarang!" ucap Rangga merajuk.
"Aish-"
"Bahkan kamu mengumpat sekarang..."
"Ahh bukan begitu Pak Rangga, hanya saja, saya berharap Pak Rangga bersikap lebih alami seperti biasanya. Pak Rangga gak perlu berlebihan ataupun menjadi orang lain hanya untuk sebuah bantuan, karena bagaimanapun, saya akan membantu Pak Rangga!" jelas Salma panjang lebar.
"Kamu mau sesuatu 'kan?" tanya Rangga.
Salma menatap Rangga tak percaya, lama-lama ia menjadi kesal juga. Ia menyesal sudah berniat membantu pemuda dingin dan egois itu. Jika Rangga bukan putra Almarhum Rahman Maulana, ia sudah pasti tak ingin berhubungan dengan pemuda itu.
"Sejujurnya, kamu pasti mengenal Kakek 'kan?" tanya Rangga.
"Kenapa gak tanya Pak Ketua Herman langsung?" datar Salma.
"Kakek bilang kalau lo bakal bantuin gue!" ketus Rangga yang tiba-tiba menggunakan bahasa santai.
Salma terdiam sejenak, "kalau begitu, Pak Rangga harus bantuin saya dulu," ucapnya.
Rangga mendecih dan tertawa sarkas, ia tak percaya dengan Salma juga ucapannya barusan. Namun, ia tak membalasnya. Ia mengarahkan mobilnya menuju sebuah mall besar, memarkirkan mobilnya di tempat parkir bawah tanah.
Rangga melepas seat belt nya dan melirik Salma yang masih terdiam di tempatnya, "ayo keluar," ajaknya.
Keduanya berjalan memasuki mall itu. Rangga berjalan penuh percaya diri menuju restoran di lantai dua dan Salma hanya mengikutinya dari belakang. Ia tersenyum ketika mendapat senyuman dari para staf yang berpapasan dengannya.
Sementara Rangga yang menaiki eskalator dengan santainya, Salma hanya memegangi tas tangannya dengan gelisah di ujung tangga berjalan itu. Ia melirik Rangga beberapa kali namun tak berani untuk memanggilnya. Tangannya bergetar dan ia hanya menarik napas untuk menghilangkan gugupnya.
Rangga membalikkan badannya dan terkejut mendapati Salma tak ada di sana, perasaan gadis itu sejak tadi membuntutinya. Ia kembali ke ujung tangga dan mencibir Salma yang nampak terdiam di bawah tangga. "Kamu ngapain, Salma?" ucapnya agak berteriak.
Salma tersentak dan mengangkat kepalanya menatap Rangga di atas sana, matanya yang hampir berair ia alihkan ke arah lain.
Rangga mengerutkan keningnya, "kenapa dia?" gumamnya. Meski kesal dan setengah hati, ia kembali turun dan mendekati Salma yang menundukkan kepalanya, "kenapa? Ada apa?"
"Saya gak bisa naik," jawab Salma sambil menunduk.
"Apa? Kenapa?"
"Hanya saja..." jawab Salma.
"Tatap saya kalau lagi bicara!" ketus Rangga, ia menarik tangan Salma agar menatapnya. Mata itu, matanya hampir berair dan wajahnya memerah. "Kenapa?" tanyanya yang mendadak penasaran bercampur dengan rasa khawatir.
"Ada jalan lain 'kan? Untuk sampai di lantai dua," ucap Salma.
"Memangnya kenapa dengan jalan ini?"
Salma menggelengkan kepalanya dan kembali menundukkan kepalanya.
Rangga mendecak, tanpa berpikir panjang ia merangkul gadis itu dan pergi bersama menaiki eskalator. "Tenang, kamu gak bakal jatuh," ucapnya.
Salma terkejut namun tak ada yang bisa ia lakukan, ia melirik wajah Rangga yang berada tepat di sampingnya, jarak mereka sangat dekat. Sejujurnya, rasa takut akan eskalator itu menghilang namun ia kini khawatir jika ada yang melihat mereka.
Saat sampai di lantai dua, Salma segera menjauhkan dirinya dari Rangga, suasana terasa canggung.
"Kamu ini sebenarnya kenapa, Salma? Lihat, gak apa-apa 'kan? Naik ini juga," decak Rangga.
"Saya hanya takut, ini pertama kalinya," aku Salma.
Rangga bertolak pinggang di hadapan gadis itu, gadis yang menundukkan kepala di hadapannya, "apa? Pertama kali? Pertama kali ke mall atau pertama kali naik eskalator? Jangan-jangan..."
"Naik eskalator!" jawab Salma dengan lantang, ia mengangkat kepalanya dan merapikan rambutnya namun enggan menatap Rangga. "Saya sering ke mall!" ucapnya.
Rangga mencibir gadis itu sekilas, "rumah sewaan itu 'kan jauh dari mall!" gerutunya. "Pokoknya sekarang ikut saya!" titahnya lalu ia berjalan lebih dulu.
Salma menurut saja dengan mengikuti langkah Rangga yang berjalan di depannya. Tiba-tiba Rangga berhenti yang membuatnya otomatis ikut berhenti.
"Tapi jangan jauh-jauh," peringat Rangga yang kembali berbalik dan menarik tangan Salma lalu menuntunnya.
"Gimana kalau ada yang melihat?" ucap Salma.
"Terserah mata mereka!"
"N-nanti mereka berpikiran aneh-"
"Itu terserah pikiran mereka!" tegas Rangga.
Salma akhirnya terdiam, membiarkan Rangga menggenggamnya dan mereka berjalan bersama menuju restoran di dalam mall itu.