~~~
Rangga membuka pintu ruangan tempat sang Kakek dirawat, ia berjalan mendekati tempat tidur. Nampak Herman sedang memunggunginya. Melihat hal tersebut, Rangga tersenyum sekilas lalu menarik kursi dengan kasarnya hingga menimbulkan suara yang keras.
Herman tersentak kaget dan langsung menoleh, dilihatnya Rangga tengah tersenyum sinis sambil duduk menyilang kaki di hadapannya.
Dengan susah payah, Herman berusaha terduduk dan menampilkan senyuman tipisnya. Ia mengangguk-anggukan kepalanya perlahan, "kamu baru datang ke sini saat semua orang pergi," ucapnya.
"Kakek nampak baik-baik saja, kenapa masih di sini?" tanya Rangga dengan nada datarnya seperti biasa.
Sudah terbiasa dengan perlakuan dingin cucunya, Herman hanya terkekeh. Matanya melirik sebuah keranjang bunga yang ada di atas meja, ia kemudian tersenyum, "kamu bisa datang ke sini dengan tangan kosong, tidak perlu-"
"Anaknya Daniel dirawat di rumah sakit ini, saya berniat mengunjunginya nanti," potong Rangga.
Herman hanya mengangguk, "melihat kamu di sini dengan sikap seperti itu, rupanya kamu belum membaca dokumen yang Darma kirimkan," gumamnya.
Rangga hanya menghela napas malas, ia membenarkan posisi duduknya. Matanya menyipit menatap Herman, "apa pentingnya? Bukankah Ravi-"
"Berarti kamu belum tahu bahwa kamu harus segera menikah!" potong Herman sambil mengelus-ngelus dagunya dengan tangannya yang terdapat infusan di sana.
"Hah?"
Herman tertawa dengan puas, tangannya kini menepuk bahu cucunya beberapa kali. "Bacalah dokumennya!" ucapnya dengan puas setelah melihat wajah Rangga yang nampak penuh kekesalan.
Rangga menepis tangan Herman dengan kasar, ia kemudian berdiri terburu-buru dan berniat pergi ke luar.
"Tunggu dulu!"
Rangga yang bersiap pergi kini kembali menoleh ke arah Kakeknya dan bertanya dengan wajahnya.
Herman menunjuk buah-buahan yang ada di atas meja, "buat putranya Daniel!"
Rangga mengumpat pelan, "dia sudah pulang beberapa hari lalu!" kesalnya lalu pergi dari sana dan membanting pintu dengan cukup keras.
Rangga menjalankannya mobil keluar dari rumah sakit, ia menancap gas lalu bergegas menuju perusahaannya dengan pikiran yang bercampur aduk tak menentu.
Setelah beberapa menit, Rangga memarkirkan mobilnya di depan perusahaan. Dengan cepat ia berlari mencari Maria yang tadi memegang dokumen penting itu. "Maria!" teriaknya sambil berlari ke arah Maria yang sedang berjalan menuju lift.
"Kenapa Pak?"
"Tadi dokumen... dokumen pagi tadi, dimana?" tanya Rangga dengan napasnya yang masih belum stabil.
"Dokumen? Ahh saya menyimpannya di ruangan Bapak," ucap Maria.
Mendengarnya, Rangga langsung menekan lift hingga benda itu terbuka. Ia menarik Maria yang memang sedang berniat menggunakan lift. Lift kembali terbuka, Rangga berlari menuju ruangan pribadinya.
Ia membuka sebuah map yang berada di depan komputernya. Ia berusaha memahami setiap kata dan kalimat yang tertulis di sana. Setelahnya, ia membuang dokumen itu dengan rasa kesalnya. Ia mengusap kepalanya dan berusaha berpikir jernih.
"Ahh Salma? Ahh wanita itu! Sial, bisa-bisanya Kakek milih gue!" ucap Rangga. Ia lalu terduduk dan memperhatikan suasana langit di luar jendelanya, "kalau Salma Natalina mau, dalam 3 bulan gue bisa jadi direktur. Setelah itu, gue bisa cerai sama wanita itu," ucapnya lalu ia tersenyum dengan puas.
~~~
Nadia menghampiri Ravi yang berdiri terdiam di tepi jendela, ia menepuk bahu putranya hingga menoleh ke arahnya. Ia tersenyum, "gak apa-apa Ravi, ini bukan kesempatan kamu," ucapnya.
Ravi hanya mengalihkan tatapannya ke arah lain dan menghela napas berat, "ini satu-satunya kesempatan yang ada, aku bahkan tidak pernah melakukan sebuah kesalahan, tidak seperti Rangga-"
"Rangga harus gagal agar kamu mendapatkan posisi itu!" ucap Anton. Ia menghampiri Ravi dan berdiri di sampingnya, "gadis yang Rangga pilih-"
"Papa!" tegas Nadia.
Anton membuang napas pendek, ia tak mempedulikan panggilan Nadia barusan. "Menurutmu, kenapa Kakek pilih gadis asing itu? Pasti ada sesuatu, kamu harus cari tahu soal itu, dengan itu-"
"Papa!" ucap Nadia untuk yang kedua kalinya, "apa maksud ucapan Papa barusan?"
"Pikirkanlah, Sabila besar di antara keluarga kita, tapi kenapa Papa Herman tiba-tiba memilih gadis asing yang yang diperkenalkan oleh cucu terburuknya? Seandainya itu Reza atau Rizal, masih masuk akal, ini Rangga, Ma! Pikirkanlah beberapa konteksnya!" tegas Anton setengah kesal. "Keluarga Maulana menerima gadis biasa?" ucapnya remeh.
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya!" gumam Ravi tiba-tiba. "Almarhumah Tante Lina, dia wanita miskin yang diterima oleh Kakek hanya karena Almarhum Rahman adalah kesayangannya Kakek! Kalian lupa soal itu?" ucapnya penuh amarah. Ia kemudian meninggalkan kedua orang tuanya dan pergi keluar menuju mobilnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah.
"Lalu mereka berdua meninggal dunia bersama dalam kecelakaan di hari kelulusan putranya! Benar-benar penuh drama," cibir Anton.
Nadia hanya terdiam dan menghela napas lelah, ia berjalan menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua rumahnya. Mendengarkan percakapan dari Anton dan Ravi hanya akan membuatnya lelah dan malas, dua orang dengan emosi dan amarah yang sama.
Sementara, Widya melempar sebuah dokumen dengan penuh amarah. Ia kemudian duduk di kursi kerjanya dan memejamkan matanya. Memikirkan keputusan sang ayah yang berlawanan dengan keinginannya. Ia melakukan apapun demi kedua putranya namun seorang anak tanpa orang tua tiba-tiba mendapatkan posisi yang tak diduga, ia benar-benar tak mengerti kenapa harus Rangga di antara empat cucu Maulana.
Hardi membuka pintu lalu kembali menutupnya dan berjalan menuju istrinya, ia memberikan sebuah lembaran kertas dan satu foto. "Gak ada yang aneh di sini, tapi kenapa Papa Herman harus pilih dia di antara ketiga yang lainnya," ucapnya.
"Salma Natalina, 25 tahun. Dia cuma sekretaris biasa," gumam Widya yang sedang membaca lembaran itu, "wajahnya juga gak secantik itu, kenapa Papa harus pilih dia?" gumamnya.
"Alisa maupun Sabila pasti akan menguntungkan perusahaan, tapi Salma ini bahkan tidak tahu menahu soal perusahaan, itu yang buat Papa heran," ucap Hardi.
Widya terdiam sejenak, "dia pasti punya hubungan sama Papa Herman, atau kalau enggak, berarti sejak awal Papa memang berniat memilih Rangga," ucapnya.
"Tapi dua hal itu benar-benar jauh dari kata mungkin. Papa jarang bertemu orang asing dan kita semua tahu kalau Rangga yang paling dihindari oleh seluruh anggota keluarga, kira-kira ada apa di antara Papa Herman sama kedua orang itu?" ucap Hardi.
Sementara, Reza dan Rizal nampak sedang bersantai di ruang keluarga sambil menikmati camilan dan minuman dingin. Kedua bersaudara itu nampak tenang-tenang saja menghadapi kenyataan yang ditulis oleh sang Kakek.
"Lo kapan ke luar kota lagi?" tanya Reza. Dirinya yang sedang fokus menonton televisi tiba-tiba menoleh ke arah adiknya yang sedang fokus pada laptop di hadapannya.
"Nanti," jawab Rizal singkat.
"Ngomong-ngomong, gue gak terlalu peduli sama keputusan Kakek yang milih Rangga," bisik Reza.
Rizal akhirnya menoleh ke arah saudaranya itu, "selama bukan Ravi, gue gak khawatirin apapun," balasnya mencibir.
"Lagian memang sudah pantas sekarang giliran Rangga yang diberi peran di keluarga, jangan si Ravi mulu yang terus-terusan punya peran penting buat keluarga!" ucap Reza.
"Tapi Za, kenapa Kakek pilih ceweknya Rangga, ya? Dia bukan cewek spesial atau bahkan gak terlalu cantik juga," ucap Rizal.
"Mungkin dari awal Kakek berniat milih Rangga, makanya Kakek gak peduli siapapun cewek yang dinikahi Rangga, asal Rangga menikah. Sejujurnya, seluruh keluarga juga tahu kalau Rangga yang paling buruk dalam segala hal," ucap Reza.
Rizal menutup laptopnya dan memperhatikan tingkah Reza, "wahh sekarang lo banyak ngomong ya Za," kekeh nya.
~~~
Rangga mengetuk pintu ruangan Herman beberapa kali namun sialnya sang Kakek terus menolak kunjungannya. Dengan penuh amarah, ia menerobos masuk melawan dua pengawal yang berjaga di depan pintu.
"Kakek!" teriak Rangga, namun ia tak mendapat balasan. Ia tahu Herman yang membelakanginya pasti berpura-pura tidur demi menghindarinya. "Kakek! Pak Ketua Herman Maulana!" ucapnya lagi kembali berteriak.
"Mohon maaf Pak Rangga-"
"Keluar sana! Tutup pintunya!" teriak Rangga pada pengawal yang menerobos masuk ke dalam.
"Kakek!" teriak Rangga, "saya tahu Kakek gak tidur! Jadi berhenti pura-pura dan bangun sekarang juga!" ucapnya penuh amarah. "Aish aki-aki sial itu!" umpatnya.
Mendengar gerutu sang cucu, Herman membalikkan tubuhnya dan berusaha untuk duduk. Ia memperhatikan Rangga yang berdiri penuh amarah menatapnya. "Sepertinya kamu sudah membaca dokumennya," ucapnya berusaha menebak dengan candaan.
"3 bulan?" teriak Rangga sambil mengacungkan sebuah kertas yang ia pegang di tangan kanannya sejak tadi. "Kakek mau saya nikah dalam 3 bulan?" ucapnya berteriak.
Herman menggaruk kepalanya lalu terkekeh, "setelah itu kamu akan jadi direktur, bukankah selama ini kamu mengejar posisi itu?" ucapnya dengan santai.
"1 tahun!"
"Berarti 3 bulan lagi akan ada yang menikah dan jadi direktur tapi bukan kamu," ucap Herman lagi-lagi dengan santai.
Rangga meremas kertas itu dan menggertak kan giginya kesal, "saya menolak!"
"Ya sudah!" enteng Herman.
Tak tahu harus bicara lagi, Rangga menarik kursi dan duduk di hadapan Herman. Ia membuka kancing jasnya dan menarik dasinya, ia merasa gerah tanpa alasan. "Jadi maksud Kakek, setelah 3 bulan dan saya menikah, saya akan langsung jadi direktur?" ucapnya.
Herman menganggukkan kepalanya tanpa ragu, "ini bukan pertama kalinya kamu membaca hal-hal seperti itu, kenapa penuh keraguan," ucapnya agak menyindir.
"Jadi, siapapun yang saya nikahi Kakek tidak peduli 'kan?"
"Kamu berusaha membuat kesepakatan sekarang?" tanya Herman. "Harus dia! Wanita yang kamu pilih waktu itu!" ucapnya dengan tegas.
"Saya tidak mengenalnya! Wanita itu!" ucap Rangga yang tak mau kalah dengan Herman.
"Memangnya ada wanita yang kamu kenal di dunia ini?" gumam Herman. "Lagipula itu salah kamu yang memilihnya waktu itu! Bukan Kakek yang menyuruh kamu milih Salma," ucapnya.
"Kenapa? Kenapa dengan Salma? Saya tidak mengenalnya Kek, bagaimana bisa saya menikahinya dalam 3 bulan? Kakek tidak memikirkan itu?" ucap Rangga dengan sinis.
"Kamu itu punya banyak waktu untuk mencari calon istri, tapi selama itu kamu malah marah-marah sama Kakek, dan-"
"Ini balasan Kakek?"
"Kalau tidak mau, Kakek bisa ganti nama kamu dengan nama cucu Kakek yang lain, itu mudah," ucap Herman enteng.
"Tapi wanita ini bukan seseorang dalam bidang kita, dia hanya-"
"Dia akan membantumu, Rangga. Percaya sama Kakek," ucap Herman.
Mendengar selaan sang Kakek, Rangga menatap pria paruh baya itu dengan penuh selidik, "jujur Kek, Kakek kenal wanita ini secara pribadi 'kan?"
Herman menggelengkan kepalanya, "Kakek tidak mengenalnya, tapi dia akan membantumu dengan tulus. Percayalah," ucapnya dengan sungguh-sungguh.