~~~
Widya memperhatikan laptop yang menampilkan sebuah foto dari pesta hari ini. Tak ada yang aneh dalam foto itu selain tatapan Herman pada wanita asing yang tangannya digenggam oleh Rangga. Ia berusaha mengingat wajah asing itu namun tetap tak mengingatnya.
Reza kembali dari dapur dan membawa dua gelas teh, ia menyajikan satu teh untuk sang ibu dan satunya lagi ia minum. "Kenapa Ma?" tanyanya usai melihat kekhawatiran di wajah Widya.
"Wanita yang diperkenalkan oleh Rangga, apa kita mengenalnya?" tanya Widya.
"Dia bekerja di DN News, begitu kata sekretaris Papa," ucap Hardi yang baru bergabung dengan kedua orang itu. Ia duduk di samping istrinya dan ikut memperhatikan foto di laptopnya. "Tapi Papa gak kenal wajahnya," ucapnya.
"Apa dia reporter atau apapun itu yang buat berita?" tanya Widya.
"Dia sekretaris di sana," jawab Hardi. "Memangnya kenapa? Mama... jangan-jangan Mama berpikir bahwa dia yang akan dipilih oleh Papa Herman?" tanyanya penuh selidik dan rasa penasaran.
"Ahh omong kosong apa itu Pa?!" sela Reza, "dia hanya sekretaris di perusahaan berita, lihat Alisa yang aku pilih, dia punya perusahaan!" ucapnya.
Widya menutup laptopnya dan menatap Reza dengan tatapan tegas, "kamu yakin sudah tahu semuanya tentang Alisa? Jika ada satu keburukan pun tentang Alisa dan Kakekmu tahu, kamu harus merelakan posisi itu," ucapnya dengan serius.
"Mama harusnya bilang itu ke Rizal, dia milih wanita secara acak," ucap Reza.
Sementara, Ravi keluar dari rumahnya dan menghampiri dua wanita yang sama-sama sedang meminum secangkir kopi hangat di kursi taman. Ia menyimpan sepiring camilan dan menatap Sabila yang sedang duduk mengobrol dengan Ranti, perlahan senyumannya terukir tipis.
"Halo? Saya Ranti Dwitama..." Ranti kemudian berdiri, "Kak, aku pamit ya," ucapnya sambil melambaikan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang hanphone yang didekatkannya pada telinga, ia berjalan menjauh dan masuk ke rumah.
Ravi duduk di samping Sabila, "kamu akrab juga sama Ranti," ucapnya sambil tersenyum.
Sabila menoleh ke arah Ravi yang di sampingnya dan tersenyum, "sebenarnya, aku memang suka kamu Ravi, dan aku gak peduli walaupun kamu nikahin aku karena kamu menginginkan posisi direktur itu," ucapnya.
Ravi mengalihkan tatapannya ke arah lain. Memang benar ia membutuhkan Sabila agar dirinya bisa menjadi direktur SuperOne Group namun perlu diketahui juga bahwa sebenarnya Sabila adalah satu-satunya wanita yang ada di hidupnya selain Ibu dan saudarinya. Ia tak berhubungan dengan wanita mana pun selain Sabila temannya sejak kecil.
Tangan Ravi terangkat dan menggenggam tangan mungil Sabila hingga gadis itu kembali menatapnya. Saat bertatapan seperti ini, Ravi hanya bisa tersenyum. Tangan lainnya terangkat untuk mengelus rambut gadis itu. "Sabila..."
"Hmm?"
"Aku tahu aku jahat karena gunain kamu untuk tujuan aku, tapi..." Ravi mendekatkan tubuhnya pada gadis itu dan membisikkan sesuatu pada telinganya, "kamu tahu aku gak kenal wanita mana pun kecuali kamu..." ucapnya dengan pelan lalu kembali menatap gadis itu.
Sabila tersenyum, dalam jarak sedekat ini ia bisa mendengar detak jantung Ravi. Dengan langkah yang cepat, ia mendaratkan satu kecupan di bibir laki-laki itu dan menjauhkan tubuhnya dari Ravi, seolah tak terjadi apapun.
Ravi yang terkejut dengan tindakan Sabila hanya bisa menyunggingkan senyum miring lalu meraih tubuh gadis itu dan mendaratkan bibirnya pada bibir mungil gadis itu. Tangannya terangkat dan memegang kedua bahu gadis itu. Ia melepaskan tautan bibir mereka yang sempat bersatu bersamaan dengan deru napas keduanya dan angin yang berhembus. Tangannya mengelus pipi gadis itu dan tersenyum tipis.
Sabila terkekeh pelan lalu ia memeluk Ravi erat dengan perasaan yang sulit ia gambarkan. Jantungnya berdebar, pipinya merona dan hatinya akan meledak akibat tindakan Ravi barusan. Laki-laki yang ia sukai sejak lama itu akhirnya merebut ciuman pertamanya dengan cara yang mengejutkan namun ia sangat senang akan hal itu.
Ravi mengunggingkan senyum sinisnya, mata yang hangat itu telah menghilang. Sepasang mata tajam penuh ambisi kini nampak terlihat di wajahnya. Sangat mudah menaklukan wanita, setidaknya itu yang ia pikirkan.
Salma berjalan menuju kamar kontrakannya, ia mengeluarkan kunci dari tas selempangnya dan sempat menoleh saat ia merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Tak mau berspekulasi apapun, ia dengan cepat masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Salma tersenyum tipis melihat Tiara yang sudah tertidur lelap padahal ini belum tengah malam. Ia menggantung jaket yang ia kenakan lalu menarik kursi dan duduk di meja belajarnya. Ia membuka laptopnya dan melihat ada sebuah laporan untuk penayangan berita besok. "Kamera?" gumamnya.
Ia berdiri dan mencari tas yang ia bawa ke acara keluarga tadi, dan benar saja kamera itu masih ada di sana. Ia membuka kameranya dan melihat-lihat foto yang ia ambil seharian ini. Senyuman di wajahnya menghilang begitu ia mengingat hal lain yang terjadi selama acara.
"Alisa ada di sana?" gumam Salma. Ia menyimpan kameranya dan beralih fokus menuju laptopnya. Ia mengetik nama Herman Maulana dan membaca beberapa artikel di sana. "Kenapa gak ada satu berita pun yang menjelaskan suasana yang terjadi tadi? Kenapa juga tadi dia nyuruh gue perkenalan? Ahh cowok tadi siapa ya?" herannya. "Gue tahu Ravi Aryatama cucunya Herman, tapi yang tadi siapa ya? Bukannya dia... ahh dia, cowok yang sering ketemu sama Pak Daniel ?" lanjut Salma.
~~~
Salma memasukkan beberapa benda yang kiranya akan ia perlukan pada tas tangannya yang lalu ia gantungkan di tangan kanannya. Ia sudah siap dengan kunci pintu kamarnya dan Tiara juga sudah pergi beberapa saat lalu. Namun dirinya masih enggan pergi dari ambang pintu yang sudah terbuka lebar.
Ia merobek salah satu buku yang ada di rak lemarinya dan menuliskan sesuatu lalu ia menaruh secarik kertas itu di dalam laptopnya dan kembali menutup laptopnya. Setelahnya, baru ia pergi ke luar untuk bekerja.
Daniel menghela napas berat dan membuangnya ke udara, ia kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa tunggal yang ia duduki. Memejamkan matanya dan kembali menghembuskan napas.
"Pak Daniel?"
"Masuk saja Salma!" jawab Daniel sambil menegakkan badannya dan menyuruh Salma untuk duduk di sofa panjang.
Salma menyimpan kamera di atas meja dan memperhatikan wajah direkturnya itu dengan seksama, "Pak Daniel? Apa ada sesuatu yang terjadi?" ucapnya dengan ragu-ragu.
Daniel menggelengkan kepalanya, ia kemudian mengecek kamera itu dan kembali meletakannya di atas meja. "Ini kamu kasih langsung saja ke Jenny, dan tolong persiapkan rapatnya ya? Kamu boleh kembali," ucapnya sambil tersenyum.
Salma menganggukan kepalanya menandakan ia menyanggupi permintaan Daniel. "Pak Daniel, kalau ada yang mengusik pikiran kamu, saya siap mendengarkan cerita Pak Daniel, jadi enggak perlu sungkan sama saya," ucapnya sambil tersenyum lalu ia berdiri, "saya permisi," pamitnya dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
Daniel hanya terdiam, ia kemudian mengusap wajahnya frustasi dan berdiri lalu berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di sana dan memperhatikan sebuah foto yang menunjukkan dirinya sedang menggendong putranya yang masih berusia 4 tahun.
Salma menaruh kamera di meja Jenny yang membuat gadis termuda itu menoleh. Ia tersenyum, "ada beberapa foto yang bagus, kita bisa cetak," ucapnya.
Jenny mengambil kamera itu dan mengeceknya, "tapi Mbak, kenapa Pak Daniel larang kita buat rilis berita tentang acara kemarin, ya?" tanyanya.
Salma hanya terdiam, ia juga tak tahu menahu soal itu. "Pokoknya kalau dilarang ya jangan saja," ucapnya.
"Ngomong-ngomong lo tadi ketemu sama Pak Daniel 'kan? Dia kelihatan lagi sedih gak sih?" tanya Rania.
"Dia lagi ada masalah?" tanya Salma.
Rania menggelengkan kepalanya, "dia tertutup jadi sulit buat cari tahu," jawabnya.
~~~
Rangga membuka lembar demi lembar proposal untuk produk terbaru mereka. Sementara, Maria sang sekretaris sedang menjelaskan isi proposal tersebut. Meski begitu, fokus Rangga hilang entah kemana perginya. Ia mungkin membolak-balik lembaran itu namun pikirannya tak berada di ruang rapat seperti tempatnya sekarang.
𝐷𝑟𝑡𝑡 𝑑𝑟𝑡𝑡
Rangga mengangkat tatapannya dan melirik ke arah Maria yang duduk di samping kirinya, "angkat saja!"
Maria yang tadinya berniat menolak pun kini berdiri dan menekan tombol terima panggilan itu. "Iya, saya Maria dari SuperMall... Oh Pak Rangga?"
Mendengar namanya disebut, Rangga menoleh, tanpa bicara ia menarik tangan Maria dan merebut ponselnya. Ia terdiam melihat nama seseorang yang sedang melakukan panggilan itu, "kenapa, Ranti?"
Maria kembali duduk di kursinya dan memperhatikan Rangga dalam diam.
Rangga mengangguk-anggukan kepalanya, "hmm Ok! Iya, aku ke sana nanti!" singkatnya lalu menutup panggilan itu dan menyerahkan benda tipis itu pada pemiliknya.
"S-semua baik-baik saja, Pak?" tanya Maria dengan ragu dan berhati-hati.
Tanpa menoleh, "tidak!" ketus Rangga yang kembali fokus pada lembaran proposal di hadapannya. "Semuanya akan baik-baik saja kalau handphone kamu mati dan gak ada yang nelepon!" ucapnya dingin.
"Maaf, Pak," ucap Maria dengan pelan dan menundukkan kepalanya dalam.
Rangga berdiri, ia merapikan jas dan dasinya. "Rapat selesai!" singkatnya lalu mengambil satu proposal dan pergi dari ruangan rapat tanpa menoleh.
Sepeninggal sang direktur, nampak para ketua yang menghadiri rapat mulai bisa bernapas lega. Seperti Aldi, ia mulai berdiri dan menghampiri Maria yang memang cukup akrab dengannya.
"Siapa yang nelepon?" tanya Aldi.
"Ranti Dwitama," jawab Maria.
Sementara, Rangga membanting pintu ruangan pribadinya dengan keras dan berjalan menuju meja kerjanya. Di sana, ia berdiri dan memperhatikan jalanan di bawah sana. Barusan Ranti memberitahunya bahwa Herman kembali masuk rumah sakit dan seluruh keluarga sudah berkumpul di rumah utama, sedangkan Halimah dan Ravi ikut dengan Herman ke rumah sakit.
"Si Ravi munafik itu pasti nyari perhatiannya Kakek, gue gak bisa diam saja dan nonton di sini!" ketus Rangga.