Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 7 - Bagian Tujuh : Makan Malam Perusahaan

Chapter 7 - Bagian Tujuh : Makan Malam Perusahaan

~~~

"Ini biodatanya, Pak."

Sore itu, seorang pria ketus yang sedang melamun di balkon rumahnya pun menoleh, mengambil sebuah map yang baru saja diberikan oleh ajudan pribadinya. Ia menyimpan segelas kopi yang barusan dipegangnya dan menduduki kursi yang ada di sana.

"Dia sekarang bekerja di DN News?" gumam pria itu setelah membaca lembarannya.

Sang ajudan mengangguk, "baru sekitar dua minggu, posisinya cukup tinggi sebagai seorang sekretaris."

Pria itu terkekeh, tangannya meremas kertas itu dan melemparnya dengan kasar, "apa saja yang diketahuinya? Dia bertemu seseorang dari keluarga Maulana?"

Ajudan muda itu terdiam sebentar, "sebenarnya, direktur DN News adalah teman dekatnya cucu terakhir Maulana, bahkan akhir-akhir ini Rangga Maulana sering mendatangi kantor DN News."

"Benarkah? Lalu apakah Salma ini mengenali Rangga Maulana?" tanya pria itu.

"Menurut pengantar makanan di hari itu, Salma dan Rangga sempat berpapasan namun tak ada pertemuan lagi selain itu, Pak Kepala Jaksa."

"Yang penting bukti! Wanita itu pasti memiliki sesuatu di balik sikap sombongnya," ucap pria itu dengan tatapan menyelidik dan terlihat ambisius. "Coba cari tahu! Ikuti terus dia!"

Ajudan itu mengangguk dan segera meninggalkan tuannya yang masih duduk di kursinya dengan santai.

"Tak seharusnya kamu menyentuh ini, Nak. Sekali lagi bertemu Pak Ketua Herman, kita pasti bertemu lagi, Salma!" ucap pria itu sambil tersenyum dan kembali menyeruput kopinya.

~~~

"Ini makan malam perusahaan kedua kita setelah kedatangan anak baru, dan akhirnya Sekretaris Salma bergabung dengan kita untuk pertama kalinya!" ucap Rania yang dibalas sorakan oleh beberapa pegawai yang hadir dalam acara makan malam itu.

Salma yang duduk di samping Jenni hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas sambutan barusan.

"Makan yang banyak ya, ayo silakan!" ucap Daniel pada Salma yang duduk di hadapannya.

"Terima kasih!" jawab Salma sambil tersenyum.

Suasana malam itu benar-benar meriah, seperti pada minggu-minggu sebelumnya. Sekitar dua minggu sekali Daniel akan menyewa restoran di depan kantor perusahaannya dan menghabiskan malam bersama para pegawainya. Hari ini pun lebih dari 15 orang hadir dan makan malam bersama.

Merasakan sebuah getaran di sakunya, Salma mengambil handphone-nya dan menggertakan giginya kesal lalu menolak panggilan itu.

Sementara, tepat setelah selesai makan malam dan para ketua tim sedang berbincang, Jenni tiba-tiba berdiri dan mendekati Daniel yang sedang berbincang dengan Rania dan Salma.

"Permisi, Pak Daniel..."

Daniel menoleh dan memperhatikan Jenny yang sudah memakai jaket dan memegangi tas tangannya, "kamu mau pergi ke suatu tempat?" tanyanya.

Jenny terkekeh sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya, "sebenarnya, saya harus pergi ke suatu acara, jadi saya izin pergi lebih dulu," ucapnya.

Daniel mengangguk mengerti, "iya, silakan kalau begitu, hati-hati di jalan," ucapnya sambil tersenyum.

Jenni mengangguk, ia menyempatkan dirinya untuk melambaikan tangan kepada para ketua tim yang berada di sana.

"Jenny kemana?" tanya Rania pada Daniel yang berada di dekatnya. Mungkin karena sudah lama bekerja sama, ia terlihat sangat dekat dengan Daniel yang merupakan atasannya.

"Katanya ada keperluan, tapi-"

𝐷𝑟𝑟𝑡 𝑑𝑟𝑟𝑡

Ucapan Daniel terhenti setelah suara telepon bergetar barusan, ia melirik Salma yang duduk di depannya. "Angkat saja!"

Salma mengangguk kikuk, ia berdiri mengambil hanphone-nya dan berjalan ke luar restoran. Aryo yang meneleponnya, selalu saja seperti itu. Ia menolak panggilan itu dan kembali masuk ke restoran.

Sementara, di depan sebuah gedung tinggi, tepat di depan restoran ayam yang cukup terkenal. Seorang laki-laki berjaket jeans mengumpat sambil memperhatikan handphone-nya.

Seorang laki-laki bercelana pendek yang sedang menyeka keringat dengan handuk kecil menghampiri laki-laki bertubuh jangkung yang nampak kesal itu. "Nelepon siapa?"

"Salma, Bang. Tapi gak diangkat," jawab Aryo masih dengan pose yang sama.

Jordy hanya mencibirnya tak peduli, ia kemudian memasuki restoran itu dan nampak Jaenal dan Revan sudah ada di sana. "Malam Bang Jaenal," sapanya.

"Bang, si Aryo ngapain?" tanya Revan, ia memakan beberapa gorengan yang ada di atas meja.

Jordy mengambil duduk di tempatnya seperti biasa, di tengah-tengah antara tempat milik Alan dan Yumi. Sementara kedua bersaudara tak akur itu masih sibuk menggoreng ayam.

"Dia nelepon Salma, gak diangkat katanya," jawab Jordy sambil meneguk segelas air mineral.

"Salma mungkin sibuk karena bekerja di perusahaan besar pasti banyak kerjaan," ucap Yumi yang baru saja menaruh sepiring ayam goreng di atas meja lalu duduk di samping Jordy.

"Atau mungkin Salma capek juga karena tempat tinggal dia jauh dari sini sekarang," ucap Jaenal sambil mengambil satu potong ayam dan memakannya.

"Salah siapa juga Salma gak di kasih kamar di gedung ini padahal anak baru di kasih," sindir Revan.

"Apaan? Ada anak baru? Di gedung ini?" kepo Alan yang baru bergabung dengan duduk di samping Jordy dan menaruh sepiring ayam goreng lainnya di meja.

Jaenal terkekeh sambil membetulkan kacamatanya, "kata siapa?"

"Bang Jaenal sendiri yang bilang sama saya, cewek katanya!" celutuk Aryo yang baru tiba dan duduk di tengah-tengah antara Revan dan Jaenal yang di ujung kursi.

"Cewek? Pasti cantik!" ucap Revan yang tiba-tiba bersemangat, ia mengguncang-guncang tubuh besar Aryo yang ada di sampingnya.

Akibat guncangan Revan, Aryo terbatuk dan dengan cepat mengambil gelas berisi air yang diberikan oleh Yumi. Ia menepis pemuda itu dan menyumpahinya, "g****k lo mau mati hah?" ucapnya.

Yumi menertawakan tingkah konyol bersaudara itu, lalu fokusnya pada Jaenal yang nampak bersantai dengan segelas kopi di tangannya, "kalau Salma tahu Abang ngasih ruangan ke cewek cantik, dia pasti kecewa loh," ucapnya dengan serius.

Jordy tertawa mendengar ucapan Yumi yang di sampingnya, "kalau gak cantik gak bakal diterima lah sama Bang Jaenal," celutuknya.

Jaenal mendengus sebal, kelima adik yang menyebalkan itu membuatnya tak bisa berkata-kata. "Jangan salah paham, ayolah! Ahh bahkan Yumi juga ikut-ikutan? Jordy main setuju saja sama omongan Yumi, lagian-"

"Kenapa kalau saya setuju sama Yumi?" potong Jordy. Pria berotot itu menatap Jaenal meminta penjelasan.

Jaenal semakin tak bisa berkata-kata, apalagi Jordy adalah orang yang paling ia takuti. Ia menghela napas berat, "E-enggak begitu, Jordy. Enggak apa-apa lo setuju sama Yumi juga," ucapnya pelan yang ditertawakan oleh kelima orang itu.

Aryo terkekeh, "cuma Bang Jordy yang bisa bikin Bang Jaenal diam!" ucapnya.

"H-hallo semuanya..."

Keenam orang itu melirik ke arah suara berasal, seorang gadis muda dengan rok pendek dan kameja putih berjalan kikuk ke arah meja yang penuh dengan makanan dan minuman itu.

Jaenal berdiri menyambut gadis itu dan mempersilakannya untuk duduk di samping Yumi yang kosong. Setelahnya, ia kembali duduk, "ini penyewa baru di atas, namanya Jenny," ucapnya.

Mata Revan yang tadinya nampak lelah kini terbuka lebar dan memfokuskannya pada gadis muda berwajah cantik yang duduk di samping Yumi. "Saya Revan," ucapnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Jenny nampak heran namun ia menyalami tangan Revan, "gue Jenny Juniana," ucapnya dengan tegas dan percaya diri.

Aryo membulatkan mata dan bibirnya bersamaan dengan kedua tangannya yang terangkat refleks, "wahh, kalau gitu gue Aryo, gue detektif," ucapnya dengan bangga.

Jenny tersenyum lebar, "Bang Jaenal, Aryo, Revan..."

"Gue Alan, asisten koki di sini," ucapnya sambil menunjuk apron hitam yang ia kenakan.

"Alam?" heran Jenny.

"Alan!" tegas Alan.

Jenny tertawa, "ahh Alan? Ok! Alan. Terus ini dua siapa namanya?"

"Saya Jordy," ucap Jordy dengan gaya santainya seperti biasa.

"Dia istrinya, Mbak Yumi!" celutuk Aryo.

"Wah? Suami istri?" ucap Jenni.

Yumi menggeleng tegas, "enggak Jenny! Saya Yumi, pemilik restoran ini," ucapnya.

Jenny mengangguk paham, gadis berkarakter bebas dan menyenangkan itu mengambil sepotong ayam goreng dan langsung melahapnya tanpa mempedulikan kelima orang yang nampak heran dengannya.

"Jenny ini-"

"Gue Jurnalis pemula di DN News," potong Jenny.

Aryo mengangguk, "ahh jurnalis rupanya."

Alan tiba-tiba terkekeh setelah melihat wajah Jaenal yang ucapannya dipotong oleh Jenny barusan. "Tapi, barusan Jenny motong omongannya Bang Jaenal loh!"

"Tapi tetap gak ada yang peduli!" celutuk Revan.

Sementara, setelah saling berpamitan, Salma berjalan menuju halte bus sendirian. Ia sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Beberapa kali ia mengecek ponselnya namun belum ada notifikasi apapun. Apakah keputusan yang ia ambil hari ini salah? Ia menolak panggilan dari Aryo dan ikut makan malam, sekarang ia menolak ajakan Rania dan Daniel yang berniat mengantarnya demi menunggu Tiara, namun anak itu masih saja belum muncul hingga kini.

"Kak Salma?"

Sebuah panggilan mengejutkan Salma yang melamun, ia kemudian berdiri dan menghampiri mobil yang baru saja berhenti di seberang jalan. "Baru pulang?" ucapnya yang kini sudah menaiki taksi itu.

Tiara mengangguk, "telat gak? Maaf kalau lama," ucapnya.

Salma menggeleng dan hanya tersenyum pada gadis itu. Namanya Tiara Agustina, berusia dua tahun lebih muda dari Salma dan sedang berkuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Dulunya Tiara adalah adik kelas Salma yang populer, karena banyak kejadian di sekolah, mereka pun jadi dekat hingga sekarang. Dan terkadang, Tiara tidak pulang ke rumahnya melainkan menginap di tempat Salma di manapun itu. Oleh karenanya, kini hubungan mereka sangat dekat.

Salma dan Tiara turun bersama di depan kontrakan Salma. Sementara Tiara yang sibuk dengan ponselnya, Salma membayar ongkos taksi dan keduanya pun mulai berjalan bersama menuju kamar kontrakan.

Tiara mengantongi ponselnya dan meraih tas selempang Salma lalu merangkul wanita yang sudah seperti kakaknya itu sambil tertawa.

Salma membuka kamar kontrakannya dan terkejut karena Tiara langsung berlari menuju kamar mandi begitu pintu dibuka. "Ngagetin banget sumpah!" ucapnya.

Di dalam kamar mandi, Tiara hanya balas tertawa, "maaf Kak!"

Salma hanya terkekeh lalu mengambil charger di tasnya kemudian mengisi baterai handphone-nya. Ia menarik kursi dan membuka laptop yang ada di atas meja lalu menyalakannya. Ia tersenyum melihat sebuah gambar yang menampilkan beberapa orang yang tengah makan malam bersama.

"Rayhan... tadi gue makan malam lagi, tapi gak enak karena gak ada lo. Tapi tim jurnalis semuanya seru, terutama Rania," ucapnya sambil terkekeh memandangi foto itu.