~~~
Widya memejamkan matanya dan melepas kacamata yang ia kenakan, ia memijat pepilisnya karena merasa pusing dan kelelahan. Sudah berjam-jam ia membolak-balik halaman berisi identitas para gadis yang kira-kira akan cocok dengan kedua putranya dan pastinya gadis yang akan disukai oleh Papanya, Ketua Herman Maulana.
Hardi yang memakai kaos pendek bercelana panjang duduk di samping istrinya dan menyimpan teh hangat yang baru saja ia buat, "sampai kapan sih Ma mau lihatin itu?" ucapnya.
"Papa mau kalau pacarnya Ravi yang dipilih nanti? Sudah jelas Ravi kesayangan Papa Herman dan anak itu juga berhubungan dengan Sabila Alexandra, putranya Pak Alex. Kalau begini, Reza ataupun Rizal gak akan punya kesempatan untuk dipilih!" jelas Widya.
"Tetap saja Ma, kenapa gak biarkan Reza atau Rizal saja yang memilih wanita yang disukainya? Lagipula, jika Papa Herman setuju maka mereka harus langsung menikah, terus bagaimana jika anak-anak kita tidak menyukai wanita itu?" ucap Hardi.
"Kalau Papa Herman saja suka sama wanita itu, kenapa anak kita enggak suka? Yang terpenting untuk sekarang, kita harus mencari calon yang tepat untuk Reza dan Rizal. Dan... mengalahkan si Ravi itu!" ucap Widya dengan bersungguh-sungguh.
"Hanya Ravi? Rangga bagaimana?" ucap Hardi.
"Rangga?" gumam Widya lalu tersenyum miring, "dia pasti sudah menyerah sejak awal, ditambah lagi dia enggak ada yang bantu ataupun bimbing. Tahu sendiri dia yatim piatu!" ketusnya.
"Tetap saja, bagaimana jika Rangga yang terpilih?" ucap Hardi sambil meminum teh hangat buatannya sendiri.
"Enggak mungkin, Pa! Jangan bicara sembarangan! Reza yang bakal terpilih!" tegas Widya.
Sementara, berbeda dengan keluarga Widya, Nadia sedang makan siang bersama dengan seorang gadis cantik yang berambut panjang lurus dan diurai. Nadia bersama suaminya Anton, juga kedua putra-putrinya tengah berada di restoran bergengsi yang juga dikelola oleh Anton sang suami.
Nadia tersenyum melihat gadis cantik yang nampak menyantap hidangannya dengan tenang dan elegan itu, "Tante berharap kamu secepatnya menjadi menantu di rumah Tante!" ucapnya.
Ravi yang sedang meminum sup kuah langsung terbatuk hingga dengan cepat ia mengambil air minum dan meminumnya. Pria berwajah ketus itu kini melirik ibunya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Sementara Sabila hanya terkekeh pelan, ia lalu melirik Ravi yang duduk di sampingnya, "kenapa, Ravi?" ucapnya pelan.
"Kenapa jadi Kak Ravi yang segugup itu?" gumam Ranti yang duduk di samping Sabila.
Ravi hanya mendeham lalu menggeleng tegas, "tidak apa-apa!" singkatnya.
Anton perlahan tersenyum, "Ketua Alex juga sudah sering memberikan restu, jadi tunggu apa lagi?" kekehnya.
Sabila terkekeh dan menunjukkan senyum menawannya yang berpadu dengan lesung pipi yang membuat wajahnya semakin manis kala tersenyum. "Kalau Ravi setuju, jawaban saya sudah tidak diperlukan lagi," ucapnya dengan pipi yang merona karena tersipu malu.
"Wah! Jawabannya... Kak Ravi harus setuju!" ucap Ranti dengan nada bercanda lalu ia melirik saudaranya yang nampak terdiam itu, "jawab Kak! Telinga kamu merah tuh!" bisiknya.
Karena Ranti berbisik di belakangnya, otomatis Sabila mendengar bisikan itu yang membuatnya terkekeh. Ia kemudian melirik Ravi dan memukul pelan bahu laki-laki itu, "jawab dong!" ucapnya.
"J-jawab apa sih?" ucap Ravi yang lagi-lagi malah memalingkan wajahnya.
Nadia dan Anton terkekeh melihat Ravi yang salah tingkah di depan Sabila. Setelahnya, Nadia mengajak Sabila untuk belanja bersama dan Ravi memilih untuk berdiam diri di restoran bersama Anton.
"Sabila yang akan dipilih Papa Herman, Papa yakin akan hal itu. Kamu hanya perlu menikahinya!" ucap Anton.
Ravi hanya menghembuskan napas dan mengangguk. Ini bukan perebutan tahta atau apapun, namun semua orang nampaknya sangat serius. Meski begitu, keinginannya hanya satu, jika bukan dia yang menjadi direktur, maka Rangga juga jangan menjadi direktur. Ia akan melakukan apapun untuk hal itu.
Rangga melempar dokumen yang sejak pagi ia baca di ruangan pribadinya. "Kenapa di dunia ini gak ada satu cewek pun yang menarik?!" ucapnya dengan agak mengumpat. Ia menekan panggilan di telepon kantornya, "cepat ke sini, Maria!"
Maria membuka pintu setelah ia mengetuknya beberapa saat tadi. Ia dengan kepala yang menunduk mulai mendekati meja direktur itu, "Ada perlu apa, Pak Rangga?"
"Kamu yakin ini sudah semuanya? Daftar wanita yang mungkin dipilih oleh Kakek!"
Maria mengangguk, "i-iya Pak Rangga!"
"Kalau begitu saya harus menyerah untuk jadi direktur SuperOne!" ucap Rangga penuh amarah.
"K-kenapa, Pak?"
"Kenapa lagi? Semua wanita rendahan itu sama sekali tidak menarik di mata saya! Ahh saya bahkan tidak berniat untuk menikah!" gumamnya. "Sekarang singkirkan itu!" titahnya sambil menunjuk dokumen tadi. Ia kemudian merapikan kemejanya dan memakai jasnya, "saya akan pergi keluar! Rapat dibatalkan!" tegasnya lalu pergi dari sana.
Maria hanya mengangguk dan melaksanakan perintah atasan yang super pemarah itu. Kemudian ia ke luar dari ruangannya dan bertemu para pegawai yang nampak penasaran dengan apa yang terjadi di ruangan itu.
"Terus, Pak Rangga milih siapa?" bisik seorang pegawai.
Maria menarik napas lalu tersenyum, "itu urusan dia! Yang penting bukan kita yang di ajak nikah!" ucapnya.
Para pegawai hanya mengangguk menyetujui ucapan Maria. Setelahnya, mereka hanya bercengkerama membicarakan Rangga sang direktur.
"Lagian cewek mana yang tahan sama Pak Direktur? Kita pegawainya saja sudah muak!"
"Sebenarnya, selain sifat jahatnya yang pemarah itu, Pak Rangga sempurna loh! Masih muda, ganteng, jabatannya tinggi!"
"Wajah ganteng punya sifat iblis mau diapain!"
Rangga yang masih berdiri di balik pintu sebuah ruangan hanya mengepalkan tinjunya dengan wajah penuh amarah. Inilah alasan ia tak bisa percaya pada pegawai yang ternyata membicarakannya dari belakang. Meski yang dibicarakan memang tak ada salahnya, tapi tetap saja ia sudah menggaji mereka setiap bulan bukan untuk membicarakan keburukkannya.
Salma berjalan menuju lift dan menaikinya, ia menekan tombol naik dan menghela napas perlahan. Ia tersenyum samar sambil membetulkan rambutnya. Lift berhenti, ia berjalan menuju ruangan pribadi milik Daniel yang sedikit terbuka.
"Pak Daniel?" panggilnya pelan.
"Silakan masuk!"
Salma berjalan perlahan menuju meja Daniel lalu meletakan sebuah dokumen di sana, "daftar yang Bapak minta!"
Daniel menoleh lalu mengangguk dan mengambil dokumen itu lalu membacanya sekilas dan kembali menyimpannya. "Terima kasih ya Salma!"
Salma mengangguk sambil tersenyum, "untuk jadwal hari ini, saya sudah mengirimkannya lewat surel!" ucapnya.
Daniel mengangguk, "iya, saya sudah memeriksanya. Dan makan malam nanti, kamu harus hadir ya?"
"Pastinya, Pak. Saya akan hadir," kekeh Salma, "t-tapi, Pak, boleh tanya sesuatu?"
Daniel yang tadi fokusnya pada layar komputer kini menatap Salma yang juga melihat ke arahnya, "kenapa Salma?"
"Daftar yang tadi Bapak minta itu buat apa, ya? Maaf kalau saya lancang," ucap Salma lalu menutup rapat mulutnya.
Daniel terkekeh pelan, "ahh ini? Teman saya mau nyari calon istri katanya," ucapnya.
"Calon istri?" heran Salma yang dijawab anggukan oleh Daniel, "tapi, dia bisa mencari seseorang terus berpacaran dan menikahinya, kenapa harus..." ucapnya ragu. "Kenapa harus minta daftar wanita berpengaruh di Indonesia segala?"
Melihat Salma bicara seperti itu membuat Daniel tertawa, "masalahnya, dia penjahat yang enggak bisa jatuh cinta. Jadi, ya begitulah, kamu gak perlu memikirkan hal ini."
Salma mengangguk, "kalau begitu saya permisi," pamitnya lalu berjalan ke luar dari sana.
Ia menutup pintu ruangan itu pelan dan membetulkan pakaian serta rok pendek putihnya dan kembali berjalan menuju lift.
Rangga ke luar dari lift dengan langkah yang terburu-buru lalu tanpa sengaja bertabrakkan dengan seorang wanita yang sedang berjalan ke arahnya.
Salma kehilangan keseimbangan saat seseorang menabraknya hingga membuatnya terjatuh. Namun, saat ia terjatuh di lantai, laki-laki itu dengan tenangnya melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apa pun.
Rangga memasuki ruangan milik Daniel dan membanting pintunya keras lalu melepaskan jas nya dan merebahkan diri di sofa yang ada di sana.
Salma kembali berdiri dengan ekspresi wajahnya yang masih penuh amarah. Bagaimana orang bisa tidak sopan seperti itu. Terpaksa ia kembali merapikan pakaiannya.
Daniel melempar sebuah dokumen di hadapan Rangga, lalu ia duduk di sofa tunggal dan menyilangkan kakinya. Melirik pemuda dingin itu sekilas, "baca itu!" titahnya.
Rangga mengubah posisinya dan mengambil dokumen itu lalu membuka lembar demi lembarnya, tak beda jauh dengan yang ia baca tadi pagi. Ia kembali melemparnya dengan kasar. "Gak ada yang menarik!" ketusnya.
"Seenggaknya hargain lah! Sekretaris gue sudah kerja keras berjam-jam demi ini!" ucap Daniel sambil memungut dokumen yang tergeletak itu.
"Lo punya sekretaris?" ledek Rangga.
Daniel mendelikkan matanya, "sudah dua minggu!" ketusnya. "Lagian lo mau calon istri seperti apa sih?" kesalnya.
"Yang bakal di pilih Kakek!" jawab Rangga.
"Katanya gak mau nikah?!"
"Emang enggak! Formalitas sambil berharap saja! Gue gak mau si Ravi yang jadi direktur!"
Daniel menggertakkan giginya, "menurut gue, kalau gak berniat mending-"
"Bayangan si Ravi jadi direktur itu benar-benar menantang! Gue gak akan rela jika si Ravi bermuka dua itu jadi pewaris asetnya Kakek! Kalau Reza sama Rizal, gue gak peduli!" potong Rangga dengan segala amarahnya.
"Jalannya ya satu, lo harus nikah! Apa susahnya sih? Daftar cewek juga sudah ada!" balas Daniel yang kesal.
"Lo pikir nikah itu menyenangkan? Lo pikir gue punya waktu untuk senang-senang, hah? Pernikahan lo saja gagal, gimana gue bisa percaya sama lo!"
Daniel perlahan menghela napas dan membuangnya sambil terkekeh. Ia melempar dokumen itu dan berdiri lalu berjalan menuju mejanya. Dengan wajah datarnya, ia berusaha tersenyum, "pernikahan gak akan gagal kalau bertemu orang yang tepat. Lagipula, tujuan lo menikah hanya untuk posisi direktur. Kenapa lo harus peduli sama cewek yang bakal lo nikahin!"