Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 3 - Bagian Tiga : Harta, Tahta dan Harga untuk Itu

Chapter 3 - Bagian Tiga : Harta, Tahta dan Harga untuk Itu

~~~

Rangga keluar dari ruang rapat dan memijat kepalanya. Banyaknya proyek yang harus ia selesaikan membuatnya terpaksa harus berada di kantor. Ia berjalan menuju ruangan pribadinya agar bisa beristirahat.

"Pak Rangga?"

Baru saja memegang kenop pintu sudah ada yang memanggilnya, ia menoleh pada Aldi yang berada di sana. "Rapatnya baru selesai, ada apa lagi ini?" ketusnya.

"Sopir keluarga Maulana baru saja tiba!" ucapnya.

"Terus?" balas Rangga ketus.

Aldi tak terkejut dengan tanggapan singkat itu, ia hanya berusaha tersenyum, "bukankah seharusnya anda pergi?" ucapnya dengan ragu.

"Kamu ngusir saya di perusahaan saya sendiri?" ucap Rangga dengan wajahnya yang ketus. "Oke! Saya pergi!" ketusnya lalu ia pergi begitu saja dari hadapan Aldi.

"Pak, b-bukan seperti itu maksud..."

Rangga bergegas menuju lift, menekan lantai dasar dan terlihatlah mobil hitam terparkir rapi di depan perusahaannya. Ia menggertakkan giginya kesal namun tetap berjalan menuju mobil itu. Ia membanting pintu mobil dengan keras hingga sang sopir menoleh karena terkejut.

"Kenapa?" ketus Rangga.

"Tidak, Pak!"

"Pak, ini di rumah ada acara apa lagi?" tanya Rangga.

"Bukankah Pak Ketua Herman Maulana sudah mengumumkan makan malam keluarga, Pak Direktur?" jelas sopir itu.

"Makan malam keluarga? Cih! Aki-aki itu baru saja keluar dari rumah sakit!" gerutu Rangga.

Sementara itu, di kediaman rumah berlantai tiga dengan luasnya yang mirip seperti hotel, para pembantu nampak sibuk dengan kegiatannya. Para koki keluarga berpakaian seragam putih tengah memasak dengan serius dan pembantu lainnya sedang menata meja makan yang super mewah.

Di rumah yang layak disebut istana itu, terlihat seorang gadis muda berpakaian mewah baru saja turun dari lantai atas dan berjalan menuju pintu utama. Rambutnya terurai panjang cocok dengan wajahnya yang cantik. Ia melirik jam di tangannya dan menghela pelan. Ia menyimpan tas tangan mewahnya di meja yang ada di luar rumah lalu duduk di kursi yang ada di sana.

Sebuah mobil berhenti, seorang pria berusia enam puluhan keluar dari sana lalu membukakan pintu mobil lainnya untuk sang istri. Keduanya berjalan menuju pintu utama rumah mewah itu dan disambut oleh gadis muda tadi.

"Selamat datang Om Hardi dan Tante Widya," sapa gadis itu sambil berdiri dan memberi penghormatan dengan sedikit membungkukan tubuhnya.

Wanita bergaun putih mewah selutut itu menampilkan senyumannya, "terima kasih, Ranti," balasnya.

Hardi yang mengenakan jas hitam mewah pun ikut tersenyum, "mari ke dalam," ajaknya pada gadis itu.

"Silakan duluan," ucap Ranti, masih mempertahankan senyumannya.

Hardi dan Widya mulai memasuki rumah mewah itu dengan santainya. Mereka berjalan menuju sebuah kamar tidur di pojok kanan, dimana di sanalah sang pemilik tengah beristirahat karena penyakit yang membuatnya harus berada di rumah sakit selama beberapa hari terakhir.

Ranti tersenyum begitu melihat ketiga orang yang sedang berjalan ke arahnya. Orang pertama, seorang pemuda tampan nan tinggi yang memakai jas mewah tersenyum padanya. Selanjutnya, pria yang sudah cukup berusia tua beserta istrinya yang bergaun biru selutut dengan rambut yang digelung.

"Sudah lama?" tanya Ravi pada adiknya itu.

Ranti menggeleng pelan lalu berjalan memeluk wanita yang baru saja tiba itu, "selamat datang, Mama, Papa!" ucapnya.

Anton mengelus rambut putrinya dan terkekeh pelan, "mari masuk," ajaknya.

"Silakan duluan saja, aku masih menunggu yang lain, Pa," ucap Ranti.

"Siapa yang belum datang? Ini sudah malam padahal," ucap Nadia.

"Kak Reza, Kak Rizal sama Rangga belum datang, Ma," jawab Ranti.

"Rangga akan datang?" gumam Nadia.

Ravi masih berdiri terdiam di tempatnya, "Mama sama Papa silakan duluan, saya sama Ranti akan di sini untuk sementara," ucapnya sambil tersenyum.

Nadia tersenyum dan mengangguk lalu ia bersama suaminya mulai memasuki kediaman orang tuanya itu, meninggalkan kedua putra-putrinya yang masih berada di luar.

"Kamu selalu mempedulikan Rangga," ucap Ravi.

Ranti menoleh singkat, "orang-orang di rumah ini hanya peduli dengan keturunannya saja, orang tua Rangga sudah meninggal dunia jadi enggak ada yang peduli sama Rangga lagi."

"Kamu dan Rangga enggak satu turunan, Ranti!"

"Dia masih sepupu kita Kak! Rangga, dia masih saudara kita!" tegas Ranti. Ia kemudian berdiri mengambil tas tangannya dan tersenyum menyambut Rangga yang baru saja tiba, "hai, Rangga!"

"Apa kabar, Ranti?" singkat Rangga lalu ia melirik Ravi sekilas dan bergegas masuk ke dalam rumah bersama Ranti yang mengikutinya dari belakang.

Ravi menyunggingkan senyum sinisnya dan terkekeh pelan, "satu-satunya yang bernama Maulana," gumamnya.

Herman Maulana, pria tua yang merupakan pendiri sekaligus pemilik SuperOne Group, perusahaan yang cukup terkenal di seluruh negeri. Ia duduk di kursi yang ada di dekat jendela, melihat langit malam yang sunyi. Matanya menyipit melihat seorang pemuda yang baru saja turun dari mobil, "Rahman, Lina, putra kalian Rangga akhirnya mau menginjakkan kaki di sini. Kalian melihatnya, 'kan?" ucapnya sambil tersenyum.

"Papa? Semuanya sudah tiba," ucap seorang wanita seumurannya yang mengenakan dress coklat muda sambil berjalan ke arahnya.

Herman menoleh dan tersenyum melihat istrinya, "Halimah, Rangga benar-benar datang?"

Halimah mengangguk dan tersenyum, "akhirnya putra Rahman datang untuk pertama kali setelah lima tahun," ucapnya dengan wajah yang menggambarkan kegembiraannya.

Herman berdiri dan duduk di kursi roda, penyakit komplikasi yang dideritanya kini mulai melemahkan sekujur tubuhnya. Ia awalnya menderita kolesterol namun kini penyakit itu menjalar hampir ke seluruh tubuhnya. Mungkin faktor usia juga mempengaruhi tubuhnya yang semakin melemah.

Halimah mendorong Herman menuju ruang makan, di sana sudah berkumpul seluruh keluarga besar Maulana yang nampak menyambut kedatangan keduanya.

Widya Maulani yaitu anak pertama keluarga Maulana, ia menikah dengan Direktur MH Group yang bernama Hardi Mahendra. Dari pernikahan itu, ia memiliki dua orang putra yang dinamai Reza Mahendra dan Rizal Mahendra.

Sementara, Nadia Maulani adalah putri kedua keluarga Maulana. Ia menikah atas perjodohan keluarga dengan pewaris perusahaan perhotelan internasional, Anton Aryatama. Meski dijodohkan, mereka saling mencintai hingga melahirkan dua orang anak yang bernama Ravi Aryatama dan Ranti Dwitama.

Reza kini mengelola hotel milik SuperOne yang berlokasi di Jakarta Selatan, sedangkan Rizal mengelola hotel kedua yang berada di Jakarta Utara. Ranti Dwitama mengelola Pink Fashion yang merupakan milik Super Fashion milik SuperOne, sementara Ravi bersama Papanya, Anton bekerja sama mengembangkan hotel dan vila di pantai dan perbukitan.

Sementara mengobrol dan bercanda ria, Rangga yang duduk sendirian di ujung meja hanya menghela malas memperhatikan setiap gerak-gerik keluarga itu. Orang tuanya meninggal dunia enam tahun lalu yang membuatnya kini sendirian.

Herman mengambil tempat di paling ujung, tempatnya seperti biasa, yang membuatnya berhadapan dengan Rangga, cucu bungsunya yang pendiam. Di sampingnya, Halimah menarik kursi dan duduk di sana.

Herman dan Rangga tak sengaja berkontak mata dimana Herman tersenyum dan Rangga mengalihkan tatapannya ke arah lain. Herman terkekeh pelan, ia kemudian melirik putra-putri dan cucu-cucunya sambil tersenyum, "silakan dinikmati," ucapnya.

Makan malam terlaksana dengan suasana yang senyap hampir tak terdengar suara apapun, karena itulah peraturan dasar di keluarga ini. Sementara yang terdengar hanya suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring, Ranti diam-diam memberikan sepotong daging pada Rangga.

Rangga menoleh pada Ranti keheranan namun gadis itu hanya tersenyum dan mengisyaratkan untuk segera memakan hidangan itu, membuat Rangga mengangguk singkat.

Makanan utama sudah dihidangkan, kini makanan penutup mulai dihidangkan. Saat inilah, Herman Maulana akan mengatakan maksud dari makan malam keluarga itu.

"Sekarang Papa sudah tua dan kesulitan mengelola SuperOne Group..."

Sama seperti tadi, suasana kembali senyap dan fokus mereka hanya tertuju pada Herman yang mulai membuka mulutnya.

"Papa... Herman Maulana, akan memilih salah satu dari empat cucu laki-laki untuk menjadi pewaris sah dari SuperOne Group. Sekarang, Pengacara kita, Pak Darma S.H. sedang berdiskusi dengan penasehat hukum untuk rincian surat wasiat dan syarat bagi cucu laki-laki yang akan menjadi pewaris SuperOne." Ucap Herman dengan tenang dan santainya.

"Kakek masih sehat, kenapa harus sekarang?" ucap Reza.

"Kenapa diberikan kepada cucu, Kek?" tanya Ranti.

Herman terkekeh pelan, di sampingnya sang istri juga ikut terkekeh. "Ranti, kamu mungkin kecewa karena tidak termasuk calon pewaris, 'kan?"

Ranti menggeleng tegas, "tidak Kek, sama sekali tidak," kekehnya.

Nadia ikut terkekeh melihat tingkah menggemaskan dari putrinya, "Ranti, kamu itu..." ucapnya terhenti karena tertawa.

Herman pun ikut terkekeh oleh tingkah Ranti, satu-satunya cucu perempuan di keluarga Maulana. "Kalau begitu, menurut Ranti, siapa yang cocok untuk menjadi pemilik SuperOne?"

"Dia saudaranya Ravi, pasti Ravi lah," celutuk Rizal yang membuat Herman terkekeh. Bungsu keluarga Mahendra itu kini terdiam saat mendapat lirikan tajam dari sang ibu, Widya yang sama sekali tak tersenyum sedikit pun.

"Ranti, kamu harus netral loh ya," ucap Hardi sambil terkekeh.

"Ahh... kalau begitu, mungkin Rangga!" jawab Ranti yang membuat suasananya jadi sunyi dan canggung. Ia pun terkekeh, "a-atau Kak Reza juga cocok," lanjutnya.

"Rangga? Rangga, kamu mau, 'Nak?" tanya Halimah dengan nada bercanda.

Rangga hanya menghela malas, ia menyimpan sendok dan garpunya, "masih ada yang lain yang lebih baik dari saya, Nek!" ucapnya dengan senyum yang ia paksakan.

"Kalau memenuhi syarat, bisa jadi bakal terpilih," ucap Ravi sambil melirik Rangga sekilas, "betul 'kan Kek?"

Herman mengangguk puas, "datanglah di makan malam selanjutnya, Rangga. Ini permintaan Kakek!" ucapnya.

Rangga hanya mengangguk sebagai balasan. Entah kapan makan malam yang dimaksud, yang jelas ia tak peduli dengan semua hal melelahkan itu. Ia bahkan tak terlalu senang mendengar wasiat sang Kakek, ia hanya datang sebagai formalitas saja.