Chereads / Everything Can Be Something / Chapter 4 - Bagian Empat : Hari Pertama

Chapter 4 - Bagian Empat : Hari Pertama

~~~

Salma berdiri di depan cermin dan merapikan rambut panjangnya yang ia urai lalu tersenyum. Setelahnya, ia mengambil tasnya lalu memasukkan handphone, ikat rambut, buku catatan kecil dan sebuah obat. Ia meraih jam tangan berwarna emas merah muda yang tergeletak di atas meja lalu memakainya.

Ia meminum obat kecil berwarna putih lalu meneguk segelas air. Kemudian ia menutup pintu kontrakan kecil itu dan menguncinya. Baru sekitar dua minggu ia tinggal di tempat ini dan sekarang adalah hari pertamanya bekerja.

Setelah menaiki bus selama dua puluh menit, akhirnya ia sampai di perusahaan berita ternama di Jakarta. Gedung bertingkat tinggi itu bertuliskan DN News dan di luarnya saja sudah nampak terlihat orang-orang sibuk dengan pekerjaannya.

Salma menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Ia dengar hari ini ada tiga pegawai baru termasuk dirinya yang baru saja direkrut. Meski ia pernah mendapat tamparan dari Alisa di tempat ini, ia sebisa mungkin harus melupakan moment itu seakan tak pernah terjadi.

Daniel membuka pintu ruangan pribadinya sambil membaca beberapa lembar kertas yang dipegangnya. Baru saja melangkah, ia sudah mendengus sebal melihat seorang pria berkemeja putih tengah merebahkan tubuhnya santai dengan kaki yang menyilang di sofa panjang miliknya.

"Lo ngapain lagi di sini?" dengusnya sambil duduk di sofa tunggal dan melempar lembaran kertas itu sembarangan.

Rangga yang awalnya merebahkan diri kini membetulkan posisinya dan terduduk dengan wajah ketusnya seperti biasa.

"Kenapa lagi? Gue dengar kemarin makan malam bahas wasiat, iya?"

Rangga mengangguk-anggukan kepalanya namun wajahnya masih saja datar tanpa ekspresi.

"Terus kenapa murung? Bukan lo yang dapat? Katanya lo satu-satunya cucu yang bernama belakang Maulana," ucap Daniel yang kini kembali fokus pada lembaran kertas itu.

"Wasiatnya belum muncul, makanya gue butuh bantuan lo," ucap Rangga.

Daniel menatap Rangga malas, "bantuan apa?"

"Darma S.H. lo kenal 'kan? Itu teman lo," ucap Rangga.

"Darma kenapa? Dia pengacara keluarga Maulana, 'kan?"

Rangga mengangguk, "makanya tolong cari tahu isi wasiat aki-aki itu buat gue, karena lo akrab sama pengacaranya!" ucapnya sambil tersenyum.

"Enggak!" tegas Daniel, "gue sibuk! Hari ini ada tiga pegawai baru!" lanjutnya.

Rangga mencibirnya perlahan, "salah satunya bakal jadi sekretaris, 'kan?" tebaknya.

"Bukan urusan Direktur SuperMall!" ucap Daniel.

Rangga terkekeh mendengarnya, "kenapa juga para pegawai lo berhenti mendadak? Perlu gue cariin-"

"Gue gak butuh bantuan! Sana pergi!" usir Daniel dengan ketus.

Rangga menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, "siapapun pewarisnya asal jangan si Ravi," keluhnya.

"Makanya lo mau curang dengan cari tahu lebih dulu isi wasiat itu?" ucap Daniel.

"Hmm!"

Daniel mendecih, "walaupun curang, belum tentu bakal menang kali. Peluang menangnya satu berbanding empat!"

"Lo pikir keluarga si Ravi gak bakal curang? Bapaknya si Anton Aryatama yang 'sok Amerika pasti melakukan sesuatu!" ketus Rangga.

Daniel menghela napas perlahan lalu berdiri, mengambil beberapa lembaran kertas itu dan membetulkan kerah kemejanya, ia melirik Rangga yang nampaknya masih belum berniat pergi, "gue mau nemuin pegawai baru! Pergi sana!" dengusnya lalu berjalan ke luar tanpa mempedulikan Rangga.

Tiga wanita yang nampak masih muda berbaris di depan meja milik direktur. Diantaranya seseorang dengan rambut terikat mengenakan rok pendek, seseorang berambut pendek sebahu dengan celana panjang berjas hitam dan seseorang dengan rambut panjang yang diurai dengan setelan berjas berwarna biru.

"Baiklah! Di antara kalian bertiga, siapa yang tertarik menjadi sekretaris saya?" ucap Daniel.

Ketiga gadis itu hanya saling menatap dan kemudian menundukan kepalanya. Daniel keheranan dengan sikap mereka.

"Jenny Juniana, kamu ingin menjadi jurnalis?" tanya Daniel.

Wanita dengan rok pendek itu mengangguk, "saya sangat berharap bisa menjadi salah satu jurnalis di sini. Saya akan berusaha keras dan banyak belajar dari para senior!" ucapnya meyakinkan.

Daniel membuang napas panjang lalu mengangguk paham, "kemudian, Nina Oktarani, kamu keberatan jika saya angkat menjadi sekretaris?"

Wanita berambut pendek itu semakin menenggelamkan kepalanya dan melirik ke kiri dan ke kanan bergantian. Ia membuang napas pendek lalu mengangkat kepalanya, "saya akan sangat menghargai posisi saya sebagai penulis muda di sini, tetapi menjadi seorang sekretaris terlalu beresiko untuk saya. Mohon dimaklumi, Pak Direktur!" ucapnya.

Kini Daniel melirik wanita dengan pakaian serba biru muda yang berada di pojok. "Berarti tak ada pilihan lain, Salma Natalina akan menjadi sekretaris saya!" putusnya dengan tegas.

Setelah keputusan itu, terdengar sorak tepuk tangan dari seisi ruangan. Sementara yang namanya disebut hanya keheranan dan merasa bingung dengan keadaan.

"S-saya?" heran Salma sambil menunjuk dirinya sendiri.

Daniel mengangguk, "kamu berpengalaman sebagai jurnalis selama hampir empat tahun, dan tugas sekretaris jauh lebih mudah daripada jurnalis yang harus pergi mencari berita dan menuliskannya! Bukankah begitu?"

Salma masih menganga, bukan ini yang ia rencanakan. Ia harus menjadi jurnalis dan mencari berita lalu menuliskannya, itu tugas yang ia inginkan. Meski memang benar, menjadi sekretaris mungkin takkan seburuk itu tapi tetap saja ini terlalu mendadak baginya.

"Sekretaris Salma, bersihkan mejamu lalu pergi ke ruangan saya dalam 30 menit!" ucap Daniel lalu pergi berjalan menuju lift.

Rangga membetulkan dasi hitam yang ia kenakan sambil menyunggingkan senyum sinisnya melihat Daniel yang baru saja menunjuk sekretaris baru di perusahaannya. "Enam bulan juga gak mungkin bertahan!" ucapnya meremehkan. Ia merasa sakunya bergetar dan mengambil ponselnya lalu menerima panggilan masuk itu, "saya ke sana sekarang!"

Salma berjalan menuju meja miliknya, berada di paling ujung dan berdekatan dengan meja milik Daniel sang direktur. Ia membereskan berkas-berkas yang sepertinya sudah tak terpakai lalu mengumpulkannya untuk ia buang nanti.

Seorang wanita berkemeja putih dengan rok sepan hitam berjalan mendekati Salma lalu menaruh sebotol kopi dingin di mejanya. Ia tersenyum, "selamat datang Sekretaris Salma, gue Rania, ketua jurnalis di sini," bisiknya.

Salma mengangguk tersenyum, "saya Salma," ucapnya pelan, "tapi, kalau kamu ketua jurnalis, kenapa bukan kamu yang jadi sekretaris?" tanyanya sambil berbisik.

Rania melihat sekelilingnya sekilas, lalu mendekati Salma, "pegawai di sini mungkin banyak, tapi gak ada satu pun yang tertarik jadi sekretaris. Bahkan sekretaris yang dulu hanya bertahan dua bulan!" bisiknya.

Salma mengerjapkan matanya beberapa kali, apa yang baru saja didengarnya sungguh membuatnya penasaran. Ia menyipitkan matanya ke arah Rania dengan penuh keingin tahuan. "Benarkah?"

Rania mengangguk tanpa ragu, "kalau bertahan lebih dari enam bulan, berarti lo hebat!" ucapnya sambil terkekeh, "diminum kopinya! Mbak Sekre... taris Salma!" ucapnya sambil tertawa dan berjalan meninggalkan Salma yang masih termenung di tempatnya

Salma menghela napas lalu mencoba duduk di sana, "wah nyaman juga!" gumamnya sambil tersenyum.

Salma kemudian kembali berdiri dan melanjutkan pekerjaannya. Setelahnya, ia berjalan menghampiri Rania yang terlihat sibuk dengan komputer di depannya. "R-Rania, hmm..."

"Iya? Kenapa Mbak Sekre?" tanya Rania.

"Mbak Sekre apa sih," dengus Salma sambil terkekeh canggung, "itu, ruangan Pak Daniel di mana ya?" tanyanya dengan ragu.

"Itu di sana!" tunjuk Rania pada sebuah ruangan kosong di samping meja direktur. Ruangan tempat rapat.

Dengan bodohnya Salma mengikuti arah tunjukan Rania, padahal ia tahu Daniel tidak ada di sana. "A-ahh maksudnya, ruangan pribadinya, dimana ya?"

"Bilang dong!" ucap Rania sambil tertawa, "ada di lantai 2, naik saja ya liftnya di sebelah kiri!" kekehnya.

Salma mengangguk mengerti, lalu sesuai ucapan Rania ia terlebih dulu mencari lift. Setelah berada di depan lift, ia menunggu beberapa saat karena lift sedang digunakan.

Lift terbuka, Salma beranjak masuk, "akhhh!" ringisnya saat tak sengaja tergores oleh pintu lift akibat tabrakan dari seorang laki-laki yang baru saja ke luar dari sana dan nampak terburu-buru hingga menabraknya dengan kasar. Meski begitu, ia berusaha tersenyum dan menoleh pada laki-laki itu, "enggak apa-apa, 'kan?"

"Akhh cewek!" dengus Rangga sambil merapikan jas hitamnya. Gara-gara kunci yang tertinggal, ia harus kembali menaiki lift sialan itu. Tanpa menjawab, ia langsung pergi dari sana dengan dingin.

Berusaha tak peduli, Salma menekan tombol naik dan merenggut sendiri di sana. "Kok gak sopan, padahal gue sekretaris! Tinggi mana jabatan cowok itu sama gue?!" gumamnya.

Salma mengetuk pintu sebuah ruangan yang bertuliskan Direktur Daniel di ujung lantai dua. Setelahnya ia memasuki ruangan itu dengan senyuman yang tercetak nyata di wajahnya. "Siang, Pak Daniel!" sapanya.

Daniel mengangguk dan tersenyum, "Salma Natalina, pertama terima kasih sudah bersedia menjadi sekretaris di sini. Seperti yang kamu tahu, di sini hampir tidak ada waktu untuk diri kita sendiri karena kebutuhan berita yang harus tersedia dalam waktu yang ditentukan. Hmm, lalu, selain mengurus berita-berita, kamu juga harus ikut saya dalam berbagai pertemuan khusus."

Salma berusaha memahami ucapan direktur itu namun tetap saja ia kebingungan. "Baik, Pak!"

"Akan sangat panjang jika dibicarakan langsung, saya mengirim proposal jadi tolong dibaca dan dipahami, itu semua tugas sekretaris di perusahaan ini. Sekarang kamu boleh kembali! Terima kasih!"

Salma mengangguk, "permisi Pak!" pamitnya lalu beranjak pergi dari sana. Sepanjang perjalanan ia hanya melamun sembari memperhatikan dekorasi menakjubkan dari perusahaan ini yang didominasi oleh warna biru cerah.

Ia kembali ke meja sebelumnya dan sudah terdapat tumpukkan kertas di sana, ia melirik Rania yang kebetulan lewat, "apa ini?"

"Kumpulan laporan dari kami!" bisik Rania sambil berlalu.

"Laporan?" gumam Salma yang keheranan. Ahh entahlah, ia kemudian memeriksa komputernya dan melihat satu pesan masuk yang merupakan proposal seperti ucapan Daniel tadi.

Ia membuka proposal itu dan langsung menganga, "kok banyak banget?" gumamnya yang masih saja terkejut melihat halaman proposal itu yang mencapai lebih dari seratus. Setelahnya, ia dengan otomatis melirik barisan meja pegawai di sana yang tersenyum dan mengacungkan jempol mereka. Ia hanya balas tersenyum miris. "Apa-apaan ini?" ucapnya pelan.