Gadis dengan rambut yang diikat itu tengah melongo di ambang pintu. Ia lupa bahwa dirinya ke kelas tadi tak hanya ingin menemui Andra saja, melainkan masih harus mengambil barangnya di dalam tas.
Andra yang telah usai berpakaian olah raga itu pun mulai menoleh ke belakangnya, dan diam sejenak. Ditatapnya Luna yang menunduk dan berjalan pelan ke arahnya, kea rah bangkunya sendiri lebih tepatnya. Anak laki-laki yang mulai berjalan keluar kelas tak menyadari bahwa Luna telah melihatnya yang berganti pakaian dengan sembarangan di kelas tersebut.
"Mata gue ternodai," gumam Luna, mulai duduk di bangku dan menunduk sembari menopang dahinya dengan tangan kanan.
Gadis itu menyesal telah kembali ke kelas untuk mengambil uang, yang mana hal itulah yang menjadi tujuan awalnya kembali ke kelas.
"Lagian, kenapa pintu nggak dirapetin dulu, coba? Padahal ada kuncinya juga." Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja dan mengerang kesal.
***
Sesampainya di lapangan, Andra langsung bergabung dengan tim permainan bola voli. Anak itu tak terlalu peduli dengan tatapan beberapa anak yang mulai julid akan keterlambatannya, padahal Andra merupakan seorang ketua kelas.
"Dari mana? Kok, baru dateng?" tanya anak laki-laki berperawakan tinggi yang Andra ikuti tim volinya.
"Kesiangan," jawab Andra dengan singkat, dan langsung memosisikan diri di bagian paling depan.
Tanpa adanya jawaban dari anak tinggi yang bernama Rafiq itu, permainan bola voli pun dimulai. Bola terus melayang dan dpukul ke daerah lawan. Semuanya bermain dengan serius, tapi tidak dengan Andra. Anak itu justru hanya diam mematung di lapangan voli, dan memperhatikan bola yang melayang saja.
Anak-anak bermain dengan baik, meskipun skor dari tim Andra cukup rendah dibanding dengan tim lawan. Awanya guru olah raga tak memerhaikannya, tapi salah satu anak melapor bahwa Andra tak ikut bermain dan hanya berdiam diri tak berguna di tengah lapangan saja.
"Kamu yang dari tadi nggak ikut bermain!" panggil guru tersebut pada Andra. "Kemari, cepat!"
Diteriaki demikia, Andra terlihat tenang karena tak merasa bahwa guru tersebut tengah memanggil dirinya. Anak itu justru asik melihat bola voli yang terus melayang oleh pukulan dan servis timnya juga lawan.
"Hei!" Kembali guru itu meneriaki Andra. Namun, anak tersebut masih tak menggubrisnya.
Berkali-kali guru itu berteriak, tapi justru anak-anak lain yang menoleh ke arahnya. Bahkan karena anak-anak yang bermain voli berhenti bermain, Andra baru menyadari kalau guru itu sedari tadi tengah berteriak. Seketika Andra kebingungan oleh tatapan datar nan dingin si guru padanya.
"Kamu!" sentak si guru seraya menatap tajam dan juga menunjuk Andra.
Anak laki-laki yang disentak itu menoleh ke samping kanan dan kirinya, melihat apakah ada anak lain yang dimaksud oleh bapak itu. Namun, teman-temannya yang lain justru dengan kompak menatap dirinya yang terlihat bodoh dan linglung di tengah lapangan voli.
"Woy, Rapik! Dipanggil pak guru, noh!" bisik Andra dan menyenggol Rafiq yang tak jauh darinya.
"Ada juga elo kali yang dipanggil," balas Rafiq dengan santainya.
"Lah ngapa?" Andra terkejut dan masih menatap Rafiq.
"Ya ndak tau, kok nanya saya." Rafiq mengendikkan bahunya, tak peduli.
"Malah ngobrol?!" Suara guru itu kembali menggema, kini semakin kencang karena mulai naik pitam.
"Siapa anak itu?" tanya guru tersebut pada murid perempuan yang berdiri di sampingnya.
Sinta, yang tengah berdiri melamun itu terkejut dan kontan menoleh ke arah si guru olah raga. "A-Andra, Pak, Namanya. Dia ketua kelas," jawabnya dengan gugup.
Mendengar kenyataan tersebut, guru olah raga itu justru semakin geram melihat kelakuan Andra. Sudah telat, tak menyapa guru dan teman-temannya yang telah memulai pemanasan duluan, langsung menyerobot tim voli, dan bahkan dalam tim tersebut Andra hanya diam tak berguna.
Andra yang mulai paham dengan keadaan pun tersadar akan kebodohan juga ke-cepu-an kawannya yang bernama Sinta itu. Dengan susah payah Andra berusaha menelan salivanya sendiri, hingga akhirnya guru olah raga bertubuh kekar tinggi tersebut telah berada tepat di hadapannya.
"Berani sekali kamu bermalas-malasan di jam pelajaran saya?" Kalimat itu keluar dengan deep voice sang guru yang terdengar sangat mengerikkan.
Guru itu telah berdiri di hadapan Andra, membuat anak berkulit putih itu tertegun dan tak dapat berkata.
"Katanya ketua kelas. Ketu akelas kok telat," cibir guru itu di depan Andra.
Mendengar ucapan sang guru, Andra pun mengernyit. "Kata siapa saya ketua kelas, Pak?"
"Iya, Pak. Dia emang ketua kelas."
"Bener, tuh, Pak."
"Iya, Pak. Dia ketua kelas."
Teman-temannya kompak mengatakan hal tersebut, sehingga sang guru semakin meninggikan dagunya dan menatap Andra dengan songong.
Andra menghela napas panjang dan menunduk sejenak. "Tapi bukan saya, Pak, yang mau jadi ketua kelas," jawabnya dengan lesu.
"Tetep kan kamu ketua kelasnya."
"Ya, tapi bukan saya, Pak, yang minta!"
Mendengar nada ucapan Andra yang meninggi, guru itu pun semakin menegakkan tubuhnya dan menatap semakin tajam anak yang ada di hadapannya itu.
"Berdiri di depan tiang bendera sampai jam olah raga selesai!" putusnya pada Andra.
Andra melongo dan berkedip beberapa kali. "Gimana, Pak?" tanyanya, berharap yang ia dengar adalah hal yang salah.
"SEKARANG!!" sentak guru olah raga tersebut dengan tegas.
Dengan kikuk Andra mengangguk dan langsung berlari menuju lapangan gedung timur, di mana tiang bendera berdiri dengan tegak. Setelah ia temukan tiang bendera tersebut, Andra pun langsung berdiri dan menghormat ke atas, meskipun tak ada seruan untuk menghormat ke atas oleh sang guru. Hanya saja Andra memang cukup bodoh dan justru melakukan hal yang seharusnya tak perlu.
Beberapa kelas bawah yang pintu kelasnya tak ditutup, pun bisa melihat Andra yang berdiri sendiri menghadap bendera. Mata Andra tampak sayu dan ia mulai mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat dan ia menggeleng cepat. Tak lama kemudian, tubuhnya terasa lemas dan ia mulai sempoyongan hingga hampir tersungkur jatuh.
Gadis yang kebetulan lewat di koridor depan kelas bawah tak sengaja melihat Andra yang hampir terjatuh. Dengan alis yang saling bertautan ia berusaha memastikan bahwa yang ia lihat benar adalah Andra. Namun, sedetik setelahnya Andra langsung jatuh dan telungkup ke lantai lapangan.
"And-"
"ANDRA!!"
Teriakan yang sangat kuat terdengar menggema, memotong ucapan si gadis yang belum tuntas. Sejenak Laras terdiam, lalu segera ia ikut berlari ke arah Bima yang telah menopang kepala Andra di pangkuannya.
"Bangun, woy! Beruk, lu ngapa nyongsor ke tanah, sik?!" ujar Bima dengan sangat cepat.
Laras yang telah di samping Bima pun hanya diam, tak tahu bagaimana harus bereaksi. Yang ia lihat justru raut khawatir Bima yang sangat mencolok. Selain rasa kesal yang besar yang Bima tunjukkan ketika dengan Andra, Laras akhirnya melihat kekhawatiran sang kakak pada adik dari kejadian tersebut.
*****
Lamongan,
Rabu, 20 Oktober 2021