[PROLOG]
"K-Kau siapa?" tanya Ginnan di tengah-tengah hujan badai. Saat itu tubuhnya sakit. Jiwanya berantakan. Kewarasannya bisa lepas kapan saja seandainya sosok itu tidak mendekat dengan payung berwarna hitam.
"Namaku samasekali tidak penting..." Wajah sosok itu tidak terlihat. Bayang-bayang awan gelap membuat kedua mata jernihnya luput dari mata Ginnan. Hanya sepatu boot basah yang bisa Ginnan lihat diantara gelimpangan bak sampah karatan. Tikus-tikus korengan mencicit, mereka seperti tengah mengejek Ginnan sembari berlarian ke sana ke mari membawa remah-remah curian.
"Tidak! Pergi kau! Pergi! Pergi!" teriak Ginnan. PRANG!!
Ginnan melempar botol-botol sisa bir hingga pecahannya bermuncratan di udara. Dia gemetar. Wajahnya pucat, namun sosok itu melangkah terus mendekat padanya, bahkan tak ragu melepas mantel untuk menutupi seluruh tubuh telanjangnya.
"Jangan takut..."
Suara itu berbisik rendah, lembut, dan Ginnan tahu itu samasekali bukan Renji.
"Jangan—"
Suara parau Ginnan langsung tertelan ketika dua mata beda warna itu menatapnya lurus. Biru dan Hijau. Ada coretan bekas luka di kening kanan yang menyorot redup selayaknya bintang-bintang.
"Di sini. Letakkan tanganmu di bahuku." Sosok itu menunduk. Berlutut. Dan sedetik setelahnya tubuh Ginnan sudah melayang di udara.
"K-Kau..."
Saat payung hitam itu jatuh ke tanah, Ginnan pun bisa melihat wajah di depannya dengan jelas.
"Maaf aku sudah terlambat..." kata pria itu. Singkat, namun bisa membuat Ginnan tergugu diam. Ginnan boleh lupa dengan semua kenangan buruknya di masa lalu. Namun, rasa bersalah yang mengakar kepada sosok ini membuatnya ingat sekaligus.Mereka bertatapan, sangat dekat, hingga Ginnan lupa darah yang masih mengalir dari sekujur kulitnya saat ini.
"A-Aku…" Jari jemari Ginnan gemetar hebat. Dia ragu, namun meraih wajah itu perlahan-lahan seolah tengah menghadapi ilusi tanpa nyawa dalam mimpi. "Aku—aku sungguh-sungguh minta maaf—" Darah yang lain pun keluar ketika Ginnan terbatuk begitu keras. Dia menatap nanar telapak tangan yang penuh cairan merah itu. "Aku… w-waktu itu… aku sungguh-sungguh tak bermaksud membuatmu—" Syal panjang yang semula melingkari leher itu mendadak melorot jatuh. Angin kencang di sekitar mereka lah yang menjadi pelaku. Ginnan mendongak. Dia balas menatap, tanpa sadar meremas mantel itu sekuatnya.
"Kubawa kau pergi dulu dari sini," katanya. Ginnan mengangguk sebab dia tahu ini bukan mimpi. Pemandangan gang bekas restoran terbakar di depannya memang nyata. Aroma besi, amis, busuk—semua bercampur dengan asap-asap pabrik yang bergelung pada langit yang murung. "Rumahku dekat, tapi jika kau benci di sana … aku tidak keberatan pergi ke tempat lain."
Ginnan tidak tahu kenapa saat itu matanya mengalir lebih deras daripada hujan. Dia tidak sedih, dia tidak senang, dia juga tidak takut lagi dengan sosok ini. Hanya saja … dadanya sakit. Sekilas memori tentang melukai seseorang, ternyata lebih mengerikkan untuk dia tanggung saat ini. Rasanya begitu menyembilu. Namun sosok itu justru membagi syal panjang untuk dirinya. Hati-hati. Nyaris selembut saat menarikan kuas lukis ke kanvas-kanvasnya di masa lalu.
"Aoki—"
"Jangan bicara, jangan bergerak. Lukamu bisa-bisa akan semakin terbuka nantinya." Lidah Ginnan terasa kelu. Sudah lama sekali dia tak menyebut nama itu. Kapan? Di mana? Ini sudah lewat berapa tahun?
Ginnan pun memeluk sosok itu kali ini. "B-Bawa aku…" pintanya pelan. "Ke mana pun. Sembunyikan aku dari dia dan mereka." Tak ada jawaban yang terdengar. Namun Ginnan tahu, saat sepasang lengan kuku itu mendekapnya semakin erat, tak boleh ada penyesalan lagi saat menghadapi masa depan nanti.
.
.
.
8 Bulan Lalu…
Sebut Haru tolol, tapi dia benar-benar tak mengerti apa yang harus dilakukan ketika lubang pistol laras pendek itu ditodongkan di depan keningnya. Kejadian tersebut tepat setelah pintu depan dibuka, dan Haru mengerti itu bukan cara orang Jepang menyerang seseorang.
Kaliber 22, isi 10 peluru, dan seorang pria asing dengan rambut brunette menatapnya lurus-lurus. Clak! Clak! Suara pelatuk disiapkan menegakkan bulu roma. Tak hanya satu pria. Tapi ada wanita rambut pirang berkepang di sebelahnya sedang mengangkat pistol yang sama. Mereka berdua menodong bahkan setelah Haru mundur dengan mengangkat kedua tangan di sisi kepala.
"K-Kalian siapa…" Haru pucat seketika. "Apa aku mengenal kalian?" tanyanya. "Kalian ingin apa di rumahku? Sumpah aku tidak punya uang cukup banyak jika ingin mengambil sesuatu dari sini—"
Wanita itu menjambak kerah lehernya. "Tunjukkan aku di mana Sheila dan Sherly," katanya. Haru melirik ke pria tinggi besar yang berdiri tegap di belakangnya. "Aku tahu kau sekarang menyembunyikan mereka. Fuck you, Bastard! Aku tidak akan memaafkanmu dengan mudah kalau merebut mereka dari kami!"
Haru cukup paham situasi saat ini setelah perasaan gila beruntun menyerbu dirinya. "Kalian tidak berhak atas dia lebih daripada aku!" bentaknya. "Aku ayah mereka berdua! Siapa kalian berani kemari dan menanyakan soal itu?"
"Damn it!"
BRAKH!
Haru tidak lagi merasakan sakit kala tubuhnya dilempar ke guci. Dia menyilangkan lengan ketika tendangan mendadak datang. Tangannya memutar. Tubuhnya sempat dipelintir. Namun hal itu tidak cukup membuatnya tumbang hingga sang pria membantu dengan menembaki kakinya dua kali.
DOR! DOR! DOR!
Mereka berdua mengumpat dengan Bahasa Persia yang sangat kental. Teheran, ada di Iran, dan Bahasa mereka adalah Persia. Haru memproses setiap informasi yang dia peroleh ketika memegangi kepalanya yang pening. Dunia berputar-putar tanpa ampun saat tembakan berikutnya melubangi dua bahunya juga.
Darah mengalir. Lantai banjir. Namun Haru sadar, ketika peluru-peluru yang lain tidak menembus bagian vital tubuhnya, mereka berdua tidak akan membiarkannya mati mudah begitu saja dalam waktu dekat. "Arggh…" Rintihannya menghasilkan lelehan-lelehan keringat di kening. Kedua matanya berkunang-kunang ketika dua pasang kaki itu menendanginya bersamaan. Dia terhampar di depan pintu layaknya ikan yang menggelepar dari akuarium. Dia mengeluh dengan berbagai makian sakit, namun wanita itu sudah melangkahi tubuhnya untuk mencari Sheila.
"Aku Richard, dan dia adalah Aleysha," kata Richard sambil menjambak rambut Haru. "Kau harus ingat dua nama ini baik-baik saat melaporkan kami ke polisi. Bilang… kami menembakimu hingga hampir mati tanpa takut. Dan kemudian kami akan menjebloskanmu ke penjara karena tuduhan penculikan anak sebelum kau kabur dari rumahmu di Tokyo."
Mulanya Haru ingin menjerit, tapi setelah merasakan hidungnya mengalirkan darah, dia pun tertawa kecil hingga membuat Richard muak jika tak menendanginya lagi. "Kalian benar-benar sesuatu," Dia manatap langit-langit rumah minimalis itu dengan senyuman tipis. "Kalian memperkosa istriku, memalsukan DNA, merusak rumah tangga orang, menipuku seumur hidup, dan sekarang aku dituduh menjadi pelakunya."
"Kau tidak pernah mempedulikan Rose selama dia menikah denganmu," balas Richard. Pistol di tangannya ditodongkan lagi ketika tubuhnya menjulang tinggi di depan pintu itu. "Lalu kenapa? Kau bisa menyiksanya dan aku tidak bisa menyiksamu? Kau pantas mendapatkan lebih dari ini jika saja kami tak punya belas kasihan."
"Haha… Haha…" tawa Haru. Dia merasakan ngilu bahkan sebelum dadanya benar-benar jadi sarang butiran selongsong mesiu Richard. "Kalian benar-benar bukan orang Jepang…" katanya. "Kami tidak menggunakan benda itu untuk menyiksa seseorang. Tapi karena kau— wah… Wah… Aku sangat beruntung bisa mencicipi peluru dalam seumur hidup konyolku ini."
"Aku tidak keberatan memberikan beberapa lagi jika kau masih menginginkannya," Richard tidak main-main. Dia mengeluarkan isi peluru baru dari dalam jaketnya dan memasangnya ulang ke dalam mesin pelatuk. CLAK! "Jadi mau berapa? Kau menantangku, maka aku pun harus memberikannya."
"Bisa kau berikan saja putri-putriku?" tanya Haru. "Kau bisa pergi dengan istrimu, atau Rose. Miliki saja semuanya. Tapi aku—uhokh!" Tendangan menukik tajam pada dada Haru.
"Aku apa?!" teriak Richard. Tak terhitung berapa kali dia menendang hingga Haru terbaring kembali tiap kali akan bangun. "Cepat katakan aku apa?! Mereka anak-anakku! Mau aku apakan tentu saja terserahku! Bedebah busuk!"